Buku Ageman Pemangku (Puja Stawa Mantra)

Yajamana Pemangku Rp. 290.000

Penyusun:Komang Putra
Tahun:2025
Konten:A5 • 422 pages Warna
Bahasa:Kawi • Bali • Indonesia
Cover:Hard Cover
Kertas:Book Paper Cream

TOKOPEDIA WEB ORDER

Klik Gambar untuk Lihat Daftar Isi

Buku Yajamana Pemangku
Ageman Pemangku Lengkap Puja Mantra, Tata Cara Nganteb Upacara

Pemangku atau sering juga disebut Pinandita, adalah seorang rohaniwan atau orang suci dalam kepercayaan Hindu di Bali. Mereka merupakan bagian dari kelompok ekajati (lahir sekali) yang disucikan melalui sebuah upacara penyucian yang disebut Pawintenan. Tingkatan kesuciannya berada di bawah Sulinggih atau Ida Pedanda (dwijati atau lahir dua kali).

Fungsi dan posisi yajña adalah sebagai ungkapan terima kasih kepada Hyang Widhi yang telah memberikan limpahan waranugraha kepada umat manusia, baik berupa kesehatan maupun kehidupan yang tentram, sejahtera dan damai. Dalam penyelenggaraan upacara yajña dilengkapi pula dengan banten atau sesaji, merupakan arti simbolis keagamaan sesuai dengan fungsinya.

Pemangku memiliki peran sentral, terutama dalam konteks pura (tempat ibadah) dan upacara keagamaan sehari-hari. Tugas utama mereka mencerminkan makna kata “pangku,” yang berarti menyangga, memikul beban, atau melayani.

  1. Memimpin Ritual Upacara: Pemangku berwenang untuk memimpin ritual upacara keagamaan Hindu, terutama yang skalanya sampai pada tingkat Padudusan Alit (upacara pembersihan tertentu). Mereka bertugas nganteb (mengiringi) atau muput (menyelesaikan) upacara Yadnya di pura yang mereka emong (rawat/pimpin).

  2. Pelayan Umat dan Pura: Mereka bertanggung jawab penuh terhadap pura. Ini meliputi menjaga kesucian pura, memastikan kebersihan prasarana, melayani umat yang bersembahyang, serta menghaturkan sesajen (persembahan) rutin.

  3. Perantara Spiritual: Dalam konsep Hindu Bali, Pemangku diposisikan sebagai “Jan Banggul,” yang secara filosofis diibaratkan sebagai tangga penghubung antara umat manusia dengan Tuhan. Mereka memohon tirta (air suci) —seperti tirta panglukatan (pembersihan) atau tirta pabersihan— yang kemudian dibagikan kepada umat.

  4. Bimbingan Keagamaan: Selain sebagai pemuput upacara, Pemangku diharapkan mampu memberikan pemahaman dan bimbingan spiritual kepada umat mengenai ajaran dan makna di balik setiap ritual.

Dalam lontar Raja Purana Gama, jenis Pemangku dibedakan berdasarkan swadharma (kewajiban) dan tempat tugasnya, meliputi:

  • Pemangku Pura: Bertugas di Pura Kahyangan (seperti Kahyangan Jagat, Sad Kahyangan, atau Kahyangan Tiga), sering disebut Pemangku Gede (besar) atau Pemangku Pemucuk (pimpinan).

  • Pemangku Pamongmong/Jan Banggul: Sering disebut Mangku Alit (kecil) atau Jro Bayan, bertugas membantu tugas Pemangku Gede.

  • Pemangku Nilarta: Bertugas di Pura Kawitan (pura leluhur atau keluarga).

  • Pemangku Pandita: Bertugas layaknya pandita, biasanya karena tradisi daerah tidak memperkenankan penggunaan Pandita untuk upacara tertentu.

  • Jenis lainnya termasuk Pemangku Cungkub, Pemangku Balian, Pemangku Dalang, dan lain-lain.

Untuk menjaga kesucian, seorang Pemangku terikat pada Sesana Kepemangkuan (etika dan aturan). Kewajiban utama mereka adalah menjaga kesucian lahir dan batin (dengan rutin mapeningan atau pembersihan diri) dan berpakaian sesuai sesana (seperti pakaian serba putih dan destar putih saat memimpin upacara).

Ada beberapa pantangan ketat yang harus dipatuhi, antara lain:

  • Tidak dibenarkan mengambil milik orang lain, terutama milik pura (sesari).

  • Umumnya dilarang makan daging sapi, dan beberapa daerah melarang daging babi.

  • Dilarang berada di arena sabung ayam atau berjudi.

  • Dilarang melayat ke rumah duka, kecuali dalam kondisi sangat dekat dan dengan tata cara khusus (misalnya, harus mebersih atau penyucian kembali setelahnya).

  • Tidak boleh melanggar Tri Kaya Parisudha (tiga perbuatan yang disucikan: berpikir, berkata, dan berbuat baik).

Singkatnya, Pemangku di Bali adalah figur spiritual yang memikul tanggung jawab besar dalam menjalankan roda ritual keagamaan dan menjaga kesucian pura, menjadikan mereka pilar tak terpisahkan dari kehidupan adat dan spiritual Hindu Bali.Upakara dan Upacara Yajña akan membawa alam pikiran kita pada suasana keagamaan yang murni, mengandung simbol­simbol yang penuh makna.

Dalam Buku Yajamana Pemangku ini penulis mencoba merangkum secara lengkap berbagai Puja Mantra, tata cara Nganteb upacara, agar dapat dipergunakan sebagai acuan bagi para Pemangku sebagai sang Yajamāna atau manggala upacara yaitu sebagai pelaksana yajña.
Tujuannya agar para Pinandita/ Pemangku memiliki acuan dasar dalam pelaksanaan Muput / Nganteb Upakara, dengan selalu memperhatikan Desa, Kala, Patra dan kesucian.
Seorang Pemangku yang disucikan sebagai garda terdepan di masyarakat menyangkut tugas, kewajiban, peran, serta kiprahnya dalam keseharian menuntun umat.

Buku Panduan Lengkap Untuk Pemangku

Yajamana Pemangku Ini adalah jenis buku pemangku yang paling sering dicari dan digunakan sehari-hari. Buku-buku ini berisi kumpulan puja (doa), mantra, dan tata cara (dudonan) yang digunakan Pemangku saat memimpin berbagai jenis upacara (Yadnya), berisikan panduan praktis untuk nganteb (menghaturkan/memimpin) sesajen dan upacara sesuai jenis dan tingkatannya serta untuk digunakan pada berbagai ritual, mulai dari Dewa Yadnya, Manusa Yadnya, hingga Bhuta Yadnya.

Secara umum, pedoman utama bagi seorang Pemangku adalah lontar (naskah lontar kuno) yang memuat ajaran spiritual dan aturan disiplin.

Pedoman Teori (Dasar Kepemangkuan)

Buku Pemangku ini merujuk pada berbagai literatur, lontar, atau buku panduan modern yang digunakan sebagai pedoman spiritual dan praktis bagi seorang Pinandita (Pemangku) di Bali. Buku Pemangku ini sangat penting karena memuat tata cara upacara, kumpulan mantra, dan etika yang harus dipatuhi.

Buku ini juga membahas aspek filosofis dan aturan dasar menjadi Pemangku. Tujuannya adalah memberikan pemahaman mendalam tentang peran Pemangku, mulai dari sebelum hingga sesudah Pawintenan (upacara penyucian).

Meskipun buku-buku panduan modern sangat membantu, Pemangku sejati harus selalu berpedoman pada ajaran Lontar dan Dresta (adat tradisi) di pura atau desa adat tempatnya bertugas, karena praktik Kepemangkuan bisa berbeda di setiap wilayah Bali.