Barong Landung adalah salah satu jenis kesenian barong dari banyak seni sakral di Bali, merupakan kesenian yang dipentaskan pada saat pelaksanaan suatu yadnya, dan disesuaikan dengan keperluannya. Pementasan seni sakral ini sangat disucikan dan dikeramatkan oleh masyarakat Bali, dengan tujuan terciptanya dan tetap terjaganya keharmonisan alam semesta ini.
Fungsi Barong Landung sampai sekarang adalah upacara penolak bala. Biasanya apabila di masyarakat terjadi suatu serangan wabah penyakit, maka dengan didahului proses permohonan spiritual oleh masyarakat kepada Ida Bhatara Dalem Sakti (Jero Gede) dan Jero Luh supaya berkenan turun ke dalam lambang berbentuk Barong Landung untuk mengusir para roh jahat yang mengganggu masyarakat desa. Setelah dilaksanakan permohonan maka Barong Landung diarak keliling kampung dan menari di depan setiap pintu gerbang pekarangan rumah (lawangan) yang satu ke lawangan rumah yang lain.
Karena itulah maka prosesi ini disebut dengan Ngelawang, biasanya dilakukan cukup lama, sampai beberapa hari untuk dapat memenuhi seluruh permohonan seluruh warga desa (mencapai seluruh lawangan rumah penduduk desa). Pada waktu menari di depan lawangan setiap penduduk, masyarakat pemilik lawangan menghaturkan sesajen canangsari (penguntap/permohonan) berisi dua biji uang kepeng dan segehan (upah kepada pengiring niskala-nya), dipersembahkan sebagai permohonan anugerah kesembuhan, keselamatan, kedamaian (nunas tamba), dibimbing pemangku Barong Landung.
Sebaliknya masyarakat bersangkutan mendapat air suci (tamba atau obat) dari Jero Gede dan Jero Luh untuk diperciki pada setiap anggota keluarga, bangunan, binatang peliharaan dan pekarangan, agar terhindar dari wabah penyakit. Penggunaan uang kepeng pada sesajen, sekarang oleh kebanyakan warga masyarakat sering dikelirukan maknanya, sehingga diganti dengan uang rupiah saja, yang seolah artinya membeli air suci. Padahal, pemakaian uang kepeng harus tetap sebagai sesari dari syarat canangsari (bentuk sesajen paling sederhana), walaupun berisi uang rupiah yang nilainya jauh lebih besar.
Pada beberapa tempat atau kasus, nunas tamba tidak hanya dilakukan pada saat prosesi ngelawang, enam bulan sekali (dalam hitungan kalender Bali, satu bulan 35 hari), tetapi juga dapat dilakukan setiap hari atau pada hari-hari yang telah ditentukan, bertempat di pura tempat Barong Landung distanakan. Pada umumnya sarana upakara (sesajen) yang dipakai atau dibawa adalah lebih lengkap dari pada waktu Barong Landung ngelawang, yaitu banten pejati ditambah canang sari dan segehan serta sarana lain yang diperlukan untuk membuat tamba (biasanya bungkak kelapa hijau atau gading/kuning dan tiga pucuk daun dapdap/taru sakti) atau cukup canang sari saja bila keadaan tidak memungkinkan, mendesak, insidental.
Perlu diketahui bahwa, tidak semua Barong Landung di semua tempat melakukan nambanin (mengobati) setiap hari. Tergantung kehendak yang di atas sana, Ida Bhatara Sesuhunan (Beliau yang dipuja sebagai pemberi perlindungan), sesuai dengan wangsit yang diterima oleh orang yang menjadi juru sapuh (pemangku) Barong Landung di tempat tersebut.
Berbagai Versi Kisah Lahirnya Barong Landung
Dari hasil kajian pustaka terhadap kisah lahirnya Barong Landung di Bali, ternyata terdapat banyak versi, yang semua maksudnya mengarah pada satu artefak yang sama. Adanya perbedaan versi kisah ini, juga disertai dengan sedikit perbedaan ciri-ciri penampilan fisik dan penokohan dari masing-masing versi, disesuaikan dengan keperluan kisah yang akan ditonjolkan dalam pementasan atau seni pertunjukannya dan makna simboliknya.
Versi Pertama
Dari Gegitan – Geguritan Dalem Balingkang yang dikenal luas di Bali saat ini.
Di Bali pada masa lampau pernah berkuasa seorang raja bijaksana bernama Jaya Pangus, yang diberi gelar Dalem Balingkang, dengan pusat pemerintahannya di Panarajon, di perkirakan berada di sekitar wilayah Puncak Penulisan, yang sekarang masih ditemukan pamerajan-Nya disebut Pura Tegeh Koripan dengan puncaknya adalah Pura Puncak Panarajon.
Kisah lahirnya Barong Landung dan penggunaaan uang kepeng di Bali adalah bermula dari perkawinan Raja Jaya Pangus dengan Kang Cing Wei (seorang putri Subandar Tionghoa dari hasil perkawinannya dengan jangir/gadis Bali).
Awal kisah, dimulai pertemuan Raja Jaya Pangus dengan seorang saudagar Tionghoa atau Tiongkok yang bernama I Subandar. Kisah lengkapnya adalah sebagai berikut.
I Subandar ingin sekali berdagang di wilayah kekuasaan terutama di kota kerajaan Dalem Balingkang. Untuk memuluskan semua tujuannya sebagai saudagar di Balingkang, I Subandar memanfaatkan kemolekan tubuh putri semata wayangnya Kang Cing Wei untuk merayu Raja Jaya Pangus.
Raja pun jatuh cinta setengah mati dengan Kang Cing Wei, dan ingin mengawininya sebagai permaisuri keduanya. Keinginan raja tidak mendapat restu dari banyak pihak, terutama dari ketua penasehat raja, yaitu Mpu Siwagandu. Alasannya, karena raja sudah mempunyai permaisuri yang cantik jelita dan bijaksana.
Tetapi karena raja telah kesemsem dengan Kang Cing Wei, akhirnya beliau memutuskan sendiri untuk mengawini putri saudagar Tiongkok tersebut. Pada saat upacara perkawinan besar itu I Subandar memberi Kang Cing Wei dua buah uang kepeng sebagai simbol bekal mengabdi kepada raja.
Selanjutnya setiap tahun I Subandar selalu mengirim uang kepeng ke kerajaan Balingkang untuk membangun perekonomian rakyat Bali. Cara mewujudkan kesetiaan oleh I Subandar kepada raja, itu kemudian diikuti oleh rakyat Bali dengan memberi sesari dua buah uang kepeng pada setiap persembahannya kepada raja ataupun para dewa.
Mpu Siwagandu tidak merestui perkawinan itu, juga disebabkan oleh karena berdasarkan penglihatan batinnya, perkawinan itu diprediksi akan dapat mendatangkan bencana di kerajaan, dan akan membuat kepercayaan rakyat terhadap raja memudar. Kekecewaaan penasehat kerajaan ini diikuti dengan keluarnya Mpu Siwagandu dari Balingkang, menuju suatu tempat untuk melakukan tapa, memohon turunnya hujan lebat selama satu bulan tujuh hari (42 hari), agar kerajaan hancur diserang banjir.
Permohonan Mpu Siwagandu terkabul, beberapa bulan setelah selesai perayaan upacara pernikahan besar raja Balingkang, turun hujan lebat terus-menerus, diikuti angin puting beliung yang merobohkan segala bangunan dan pohon. Hujan juga disertai gemuruh bersahutan serta petir yang menyambar-nyambar, menyebabkan hancurnya kerajaan Balingkang diterjang air bah dan longsor yang menelan banyak korban jiwa rakyat dan pembesar kerajaan serta harta benda yang tak terhitung nilainya. Akhirnya, yang tersisa hanya pamerajan kerajaan yang sekarang disebut Pura Puncak Panarajon atau Puncak Panulisan.
Raja dan permaisurinya selamat, dan dengan para pembesar kerajaan dan rakyat yang masih selamat, beliau memerintahkan segera pindah ke tempat yang lebih aman untuk membangun istana baru. Tempat yang dituju adalah lembah yang cukup aman secara geografis dan tanahnya subur bernama Jong Les, sekarang termasuk ke dalam wilayah Banjar Paketan, desa Pinggan, kecamatan Kintamani, Bangli, dan bekas kerajaan barunya ini sekarang dikenal dengan sebutan Pura Dalem Balingkang.
Kemudian, dikisahkan pasangan suami istri ini telah lama tidak mendapatkan keturunan, akhirnya raja Jaya Pangus atas restu Kang Cing Wei memutuskan berangkat ke Gunung Batur membangun yoga Samadhi, untuk memohon keturunan kepada Bhatara Batur.
Dalam perjalanannya Jaya Pangus kemudian bertemu puteri cantik jelita di sebuah gua yang merupakan alam sekalanya Dewi Danu puteri dari Bhatara Batur (versi lain ada menyebut Dewi Danu adalah Sri Danda Dewi putri dari Mpu/Bhagawan Daksa yang juga sedang membangun Yoga Samadhi di sebuah goa di lereng bukit tepi danau Batur).
Raja terpikat dengan kecantikan putri ini dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Jaya Pangus membohongi Dewi Danu mengaku sebagai perjaka agar mau menikah dengannya, sehingga lahirlah putera beliau yang diberi nama Mayadanawa (artinya putra Dewi Danu).
Kebohongan raja Jaya Pangus akhirnya terbongkar, saat Kang Cing Wei mencari suaminya yang telah lama pergi ke Gunung Batur tetapi tak kunjung pulang. Kang Cing Wei diiringi oleh para pembesar kerajaan dan rakyatnya.
Diceritakan Kang Cing Wei menemukan suaminya dan raja pun tanpa sadar memanggilnya dengan kata “istriku” kepada Kang Cing Wei. Tanpa sengaja percakapan itu didengar oleh Dewi Danu (Sri Danda Dewi), yang menyebabkan ia murka karena merasa telah ditipu mentah-mentah oleh Raja Jaya Pangus.
Akhirnya tanpa bisa dikendalikan, dengan kekuatan sakti yang pernah dianugerahkan oleh ayahnya Bhatara Batur (versi lain, Bhagawan Daksa) Dewi Danu ngeseng (membakar) tubuh Raja Jaya Pangus dan Kang Cing Wie (pasangan raja Bali suami istri) ini sampai hangus.
Kemudian para pembesar kerajaan dan rakyat kerajaan Balingkang, menjadi berduka karena menyaksikan raja dan permaisurinya telah berubah menjadi arang. Namun, kesetiaan pembesar kerajaan dan rakyat Balingkang terhadap rajanya tetap tidak berubah, dengan mengupacarai layaknya upacara ngaben untuk seorang raja besar, dilanjutkan dengan pendharmaan dengan membuat patung suami isteri sebagai objek pemujaan, yang kini dapat ditemukan di Pura Puncak Panarajon.
Patung suami istri yang wanita oleh masyarakat Tionghoa Kintamani disebut Dewi Cung Kang. Sedangkan masyarakat di bawah kekuasaan Dalem Balingkang di daerah Bali Dataran mewujudkan kesetiaannya dengan membuat simbol pemujaan berwujud Barong Landung.