Seperti yang kita ketahui bahwa Rerainan (Hari) Kajeng Kliwon di Bali begitu dikeramatkan. Upacara Kajeng Keliwon dilaksanakan setiap 15 hari kalender. Upacara dan upakara-upakara yang wajîb dilakukan pada hari Kajeng Kliwon hampir sama dengan upacara dan upakara Kliwon lainnya.
Para leluhur zaman dahulu, sudah menetapkan bahwa cara yang cocok untuk menerapkan ajaran suci tersebut adalah dalam bentuk yajna seperti yang kita lakoni selama ini. Yaitu menghaturkan segehan blabaran setiap rahinan Kajeng kliwon yang datangnya setiap 15 hari sekali.
Pada hari Kajeng Kliwon umumnya dipergunakan untuk berbuat ugig (sejenis Pengeleakan, Teluh dan Sebagainya) oleh orang yang menekuni ilmu Pengeleakan di Bali. Di Bali Penestian atau pengeleakan dihidupkan atau dilakukan pada waktu rerainan Kajeng Kliwon. Karena pada saat itulah bangkitnya para Bhuta Kala (Bhebutan).
Anggapati yang menghuni tubuh manusia dan mahluk lainnya. Sebagai makanannya maka dia boleh memangsa atau mengganggu manusia apabila keadaannya sedang melemah atau dikuasai oleh nafsu angkara murka. Maka tidaklah mengherankan apabila ada orang sampai gelap mata membunuh saudara, teman, ibu, bapak, anak dan yang lainnya. Karena pada saat itu ia dikuasai oleh nafsu angkara murka. Dalam keadaan itu dia dikendalikan oleh Bhuta Kala.
Untuk menetralisir hal tesebut maka umat hindu dianjurkan untuk melakukan pengendalian diri berupa meditasi dan tapa brata, yoga dan samadhi. Banten segehan/ blabaran adalah salah satu sarana untuk menetralisir kekuatan negatif. Disamping itu tentunya dengan mendalami ajaran- ajaran agama dan menerapkan dalam kehidupan sehari- hari.
Mrajapati merupakan penghuni kuburan dan perempatan agung. Sebagai makanannya maka ia berhak memangsa bangkai mayat yang ditanam melanggar waktu (hari- hari yang dilarang oleh Kala) dan kecaping aksara/ Padewasaan.Dia juga boleh memakan, mengaganggu orang yang memberi hari/padewasaan yang bertentangan dengan ketentuan melanggar serta melakukan upacaranya.
Banaspati merupakan penghuni sungai- sungai dan Batu- batu besar. Sebagai makanannya adalah orang yang lewat atau berjalan ataupun tidur pada waktu-waktu yang terlarang oleh Kala. Misalnya pada waktu tengah hari/ sandikala.
Sedangkan Banaspati Raja merupakan penghuni kayu- kayu besar. Misalnya; Pohon Kepuh, randu, dan pohon kayu yang dianggap angker. Dia punya kuasa mengganggu/ memangsa orang yang menebang kayu atau naik pohon pada waktu yang terlarang oleh Kala Kecaping Aksara(Dewasa).
Menurut lontar kanda Pat Bhuta, keempat Bhuta tersebut adalah perwujudan dari “Sang Catur Sanak”, yaitu ketika seorang anak / Bayi dilahirkan didunia dia disertai oleh 4 saudara berupa “Nyama sekala” dalam wujud; Yeh Nyom dan Ari-ari. “Nyama sekala” tersebut bernama; i Jelahir, I Mekahir, I Selabir, dan I Mokahir, I Jelahir berada dibarat, I Mekahir berada di timur, I Selabir ada di Selatan, dan i Mokahir berada di utara.
Setelah dewasa “Nyama Niskala itupun berubah namanya”; I Jelahar menjadi Anggapati, I mekahir menjadi Prajapati, i Selabir menjadi Bhanaspati, dan I Mokahir menjadi Bhanaspati Raja.
Pemurtian atau penjelmaannya ; Anggapati memurti menjadi pertiwi (zat padat), Mrajapati memurti menjadi Apah (zat cair), Bhanaspati mamurti menjadi Teja (cahaya sinar panas), Bhanaspati Raja memurti menjadi bayu(Waha, angin) sedangkan sang anak manusia itu sendiri menjadi Akasa (Ether, Kosong, Hampa, Sunya) inilah yang disebut “sang panca maha Bhuta” .
Para wiku / orang wikan senantiasa menganjurkan agar seorang jangan sampai melupakan saudara empatnya karena jika hal ini dilalaikan maka kekuatan dari saudara empat itu akan dimanfaatkan oleh orang jahat untuk menyakiti dirinya.
Pada zaman dulu ada kepercayaan masyarakat Bali untuk menetralisir suatu penyakit pada hari Kajeng kliwon. Maksudnya jika ada orang yang menderita sakit menahun seperti; Koreng, Gondongan, Bisul, yang tidak sembuh- sembuh. Maka sakit itu bisa dibuang. dengan cara menghaturkan segehan/ blabaran di penataran agung atau di pertigaan agung, lengkap dengan banten yang telah ditentukan. Bisanya dipilih pada hari kajeng kliwon pamelestali (5 hari sebelum piodalan Sang Hyang Haji Saraswati) , yang disebut Watu Gunung Runtuh. Pada dasarnya hari Kajeng Kliwon merupakan hari yang sangat keramat karena kekuatan negatif dari dalam diri maupun dari luar manusia amat mudah muncul dan mengganggu kehidupan manusia.
Hari kajeng kliwon jatuh pada perhitungan Tri Wara yakni Kajeng, kemudian Panca Waranya yakni Kliwon. Dengan demikian, maka hari ini adalah sebuah hari dimana pertemuan antara Kajeng dengan Kliwon diyakini sebagai saat energy alam semesta yang memiliki unsur dualitas bertemu satu sama lainnya. Energy dalam alam semesta yang ada di Bhuwana Agung semuanya terealisasi dalam Bhuwana Alit atau tubuh manusia itu sendiri.
Rerainan Kajeng Kliwon yang datangnya setiap 15 hari sekali, dan terbagi menjadi 3 jenis yaitu;
1. Kajeng Kliwon Uwudan ()
2. Kajeng Kliwon Enyitan ()
3. Kajeng Kliwon Pamelastali (Watugunung Runtuh,yang datang setiap 6 bulan sekali )
Dengan demikian maka secara langsung keadaan dan situasi yang ada di Bhuwana Agung akan mempengaruhi perkembangan, pikiran, perasaan, emosi, rasa, tindakan, serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusia sehari-hari. Lalu energy yang ada ini, jika selaras akan menyebabkan suatu keharmonisan dalam diri manusia, dan jika sebaliknya, energy yang terdapat di alam semesta tidak bersinergi dengan badan manusia, yang cenderung menarik semua lapisan elemen alam, maka disinilah tercipta adanya sebuah keharmonisan Bhuwana Alit.
Energi itu ada yang baik dan buruk. Bagaimana caranya agar yang buruk ini tidak berpengaruh maksimal dalam kehidupan manusia, maka disinilah kita perlu melakukan sebuah upaya Nyomia. Atau dengan kata lain menetralisirnya, bukan menghilangkannya. Sebab dalam kehidupan ini dua kutub energy harus selalu ada dan senantiasa berdampingan satu sama lainnya.
Secara spesifik dalam hari Kajeng Kliwon inilah, penguasa energy positif dan negative yang dalam Hindu disebut sebagai Prawerti dan Niwerti melakukam sebuah Pemurtian, dan dari sana beliau juga akan menganugrahi manusia keselamatan. Untuk menyeimbangkan hal tersebutlah, maka di hari Kajeng Kliwon, kita harus melakukan Bhuta Yadnya yang terkecil, yakni menghaturkan Segehan.
BENTUK UPACARA KAJENG KLIWON
Pada saat Kajeng kliwon, Umat Hindu biasanya menghaturkan blabaran/segehan dan tipat dampulan di tempat-tempat tertentu. Seperti di dipelinggih Taksu, Ratu Ngurah dan di Penuun karang, sumur, di pemedalan dan bale peyadnyan. Banten tipat dampulan di haturkan di atas (pelinggih) baru kemudian menghaturkan segehan dibawah. Banten tipat dampulan di haturkan di atas (pelinggih) ditujukan kepada alam atas, alam semesta, alam Bhatara-Bhatari, alam para dewa (Ida Sang hyang Widhi Wasa).
Banten Segehan/Blabaran di haturkan di bawah, di tujukan kepada penghuni alam bawah, baik manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun para gumatat-gumitit, para bebhutan Bhuta kala yang kasat mata.
- Tipat Dampulan yang biasa dipersembahkan.
Tipat Dampulan alasnya memakai sebuah ceper atau tamas, di atasnya di letakkan sebuah ketupat dampulan, rarasmen, dilengkapi ulam telur mateng, raka-raka dan sebuah sampian plaus atau kepet-kepetan berisi plawa, porosan, uras sari, bunga, rampai dan boreh miyik. Tipat dampulan yang terbuat dari janur. Setelah lengkap, barulah tipat dampulan tersebut diletakkan dan siap untuk dihaturkan.
- Segehan Kajeng Kliwon
Kata segehan, berasal kata “Sega” berarti nasi (bahasa Jawa: sego). Oleh sebab itu, banten segehan ini isinya didominasi oleh nasi dalam berbagai bentuknya. Bentuk nasinya ada berbentuk nasi cacahan (nasi tanpa diapa-apakan), kepelan (nasi dikepal), tumpeng (nasi dibentuk kerucut) kecil-kecil atau dananan. Wujud banten segehan berupa alas taledan (daun pisang atau janur), diisi nasi, beserta lauk pauknya yang sangat sederhana seperti “bawang merah, jahe, garam” dan lain-lainnya. dipergunakan juga api takep (dari dua buah sabut kelapa yang dicakupkan menyilang, sehingga membentuk tanda + atau swastika), bukan api dupa, disertai beras dan tatabuhan air, tuak, arak serta berem.
Segehan yang biasanya di gunakan saat kajeng kliwon adalah:
- Segehan Cacah. Segehan ini adalah segehan dengan nasi putih yang dibuat sedemikian rupa dengan 5 tanding dengan ulamnya adalah irisan bawang dan jahe, kemudian diberi sedikit garam.
- Segehan Panca Warna, yakni segehan yang tatacaranya sama persis yang terdapat dalam Segehan Cacah, namun warna nasinya lima macam dan di tanding dengan lima tempat yang berbeda.
Segehan tersebut dihaturkan di tiga tempat yang berbeda yakni:
- Halaman Sanggah atau Mrajan, atau di depan pelinggih pengaruman, dan ini di tujukan pada Sang Bhuta Bhucari.
- Kemudian di halaman rumah atau pekarangan rumah tempat tinggal, dan ini ditujukan kepada Sang Kala Bhucari
- Kemudian yang terakhir adalah dihaturkan di depan pintu gerbang pekarangan rumah atau di lua pintu rumah yang terluar, ini ditujukan kepada Sang Durgha Bhucari.
FUNGSI BANTEN ATAU UPAKARA HARI KAJENG KLIWON
Fungsi banten Segehan
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatif dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Bhuta Kala dari kaca spiritual tercipta dari akumulasi limbah pikiran, perkataan dan perbuatan manusia, yang dipelihara oleh kosmologi semesta ini. Jadi segehan yang dihaturkan di Rumah bertujuan untuk mengharoniskan kembali kondisi rumah terutama dari sisi niskalanya, yang selama ini terkontaminasi oleh limbah yang kita buat. Jadi Caru yang paling baik adalah bagaimana kita dapat menjadikan rumah bukan hanya sebagai tempat untuk tidur dan beristirahat, tapi harus dapat dimaknai bahwa rumah tak ubanya seperti badan kita ini.
Fungsi BantenTipat Dampulan
Tipat dampulan dilambangkan dengan kura-kura atau penyu bertelur. Pada umumnya penyu bertelur didarat, setelah dia menggali lubang di pasir, ditetaskanlah telur-telurnya. Selanjutnya pasir kembali di uruk oleh sang kura-kura, kemudian ditinggalkannnya kembali ke laut. Setelah tiba waktunya, menetaslah telur penyu itu tanpa di tunggui atau dierami oleh induknya. Setelah menetas anak penyu tersebut lari kesana-kemari, mencari makan sendiri. Baik di darat maupun di laut, berjuang sendiri mengatasi segala rintangan hidupnya. Setelah dewasa dia kembali ke laut dan berusaha mencari induknya.
Fungsi dari menghaturkan tipat dampulan adalah mengingatkan kepada umat manusia bahwa jiwa seseorang yang digodok dengan berbagai pengalaman hidup, baik itu yang baik, suka maupun duka, manis maupun pahit, bahagia, bahkan sengsara akan mematangkan jiwanya. Kematangan jiwa ini disimbolkan dengan sifat-sifat kedewasaan.
MAKNA DAN UNSUR DARI BANTEN YANG DIHATURKAN PADA HARI KAJENG KLIWON
Adapun Makna Dari Beberapa Unsur-Unsur Banten Yang Di Persembahkan Pada Hari Kajeng Kliwon Adalah:
- Banten tipat dampulan ini melambangkan jiwa seseorang yang digodok dengan berbagai pengalaman hidup. Baik itu yang baik, suka maupun duka, manis maupun pahit, bahagia, bahkan sengsara. Sehingga jiwanya menjadi matang. Kematangan jiwa ini disimbolkan dengan sifat-sifat kedewasaan. Sifat-sifat kedewasaan seorang manusia disimbolkan dengan banten tipat dampulan dimana menunjukkan bahwa seseorang sudah meningkat kedewasaan jiwanya. Apapun yang dialaminya dalam hidup ini diterimanya dengan lapang dada.
- Plawa adalah daun – daunan. Telah disebutkan dalam Lontar Yadnya Prakerti bahwa plawa merupakan lambang tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, sehingga dapat menangkal pengaruh busuk dari nafsu duniawi.
- Porosan adalah dari pinang dan kapur yang dibungkus daun sirih. Dalam Lontar Yadnya Prakerti disebutkan pinang, sirih dan kapur adalah lambang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasinya sebagai Sang Hyang Tri Murti. Pinang lambang pemujaan pada Dewa Brahma, kapur lambang pemujaan pada Dewa Siwa, sirih lambang pemujaan pada Dewa Wisnu.
- Urasari adalah jejahitan, reringgitan, dan tetuwasan sebagai lambang ketepatan dan kelanggengan pikiran dan lambang permohonan pada Tuhan yang maha esa agar alam lingkungan hidup kita selaras dan seimbang.
- Bunga adalah lambang keikhlasan. Apapun yang mengikat diri kita di dunia ini harus kita ikhlaskan sebab cepat / lambat dunia inipun akan kita tinggalkan.
- Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
- Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)
- Canang mengandung arti dan makna perjuangan hidup manusia dengan selalu memohon bantuan dan perlindungan Tuhan Yang Maha Esa, untuk dapat menciptakan, memelihara dan meniadakan yang patut diciptakan, dipelihara, dan ditiadakan demi suksesnya cita – cita hidup manusia yakni kebahagiaan.
Makna Dari Banten Segehan Yang Dipersembahkan Yaitu Terdiri Dari;
- Segehan sebagai wujud prebawa Ida Sang Hyang Widhi Wasa yaitu Panca Maha Bhuta. Panca Maha Bhuta di alam semesta ini terdiri dari Perthiwi (zat Padat), Apah (zat cair), Teja (cahaya), Bayu (gas), Ether (kosong/hampa, Sunya). Sedangkan di dalam tubuh manusia atau makhluk lainnya zat-zat Panca Maha Bhuta itu adalah Pertiwi terdapat pada kulit, daging, tulang. Apah terdapat pada darah, keringat, empedu, air seni, lendir yang keluar dari hidung dan air mata. Teja atau cahaya berupa suhu badan, panas suhu tubuh. Bayu atau gas berupa angin yang keluar masuk melalui pernapasan baik melalui hidung maupun mulut. Ether juga terdapat pada tubuh manusia maupun makhluk lainnya seperti pada rongga-rongga tubuh.
- Jahe, secara ilmiah memiliki sifat panas. Semangat dibutuhkan oleh manusia tapi tidak boleh emosional.
- Bawang, memiliki sifat dingin. Manusia harus menggunakan kepala yang dingin dalam berbuat tapi tidak boleh bersifat dingin terhadap masalah-masalah sosial (cuek)
- Garam, memiliki PH-0 artinya bersifat netral, garam adalah sarana yang mujarab untuk menetralisir berbagai energi yang merugikan manusia (tasik pinaka panelah sahananing ngaletehin).
- Tetabuhan Arak, Berem, Tuak, adalah sejenis alkhohol, dimana alkhohol secara ilmiah sangat efektif dapat dipakai untuk membunuh berbagai kuman/bakteri yang merugikan. Oleh kedokteran dipakai untuk mensteril alat-alat kedokteran. Metabuh pada saat masegeh adalah agar semua bakteri, Virus, kuman yang merugikan yang ada di sekitar tempat itu menjadi hilang/mati.
Budaya dan tradisi semacam inilah yang diwariskan secara turun- temurun hingga saat ini. Diharapkan para generasi muda mampu menjaga nilai- nilai fitsafat yang terkandung didalamnya dan keajegan tradisi leluhur kita yang telah diwariskan. Nilai- nilai luhur itu dibungkus melalui simbul- simbul yang memiliki makna- makna tertentu. Seperti pada banten segehan yang kita haturkan setiap 15 hari sekali ini, begitu terlihat sederhana. Dengan diketahuinya nilai- filsafat yang ada dalam yajna kecil ini, diharapkan generasi muda menjadi bersemangat melakoni serta menerapkan ajaran- ajaran kesucian lewat simbol- simbol tertentu. Namun mengandung nilai filsat yang tinggi dan mendalam. Tetapi fenomena yang ada dilapangan tidak semua orang mengetahui terlebih- lebih memahami isi dan makna dari sebuah yajna yang dilakukan. Masyarakat cendrung meniru suatu hal yang dianggap mudah, unik, logika dan praktis.
Maka dari itu mari kita lestarikan Adat, Tridisi, dan kebudayaan Bali. Khususnya selaku pemuda hindu terlebih- lebih menyandang sarjana Hindu, jangan sampai melupakan kebudayaan bali yang penuh dengan nilai- nilai keharmonisan, kehiklasan dan ritual. Diharapkan dalam melaksanakn suatu yajna hendaknya kita melaksanakannya dengan sungguh- sungguh dan mampu memahami maksud dan tujuan dari yajna tersebut.