- 1Perlindungan Beringin dalam Teks-Teks Prasasti Bali Kuno
- 2Fungsi Beringin dalam Upacara Yadnya
- 2.1Fungsi Beringin sebagai Sarana Pengobatan
- 2.1.1A. Sulur (Bangsing)
- 2.1.1B. Daun
- 2.1.2C. Buah
- 3Makna Simbolis Pohon Beringin
- 4Tuah Sakti Pohon Beringin dan Ancak
- 5Mengantar Doa ke Khayangan
- 6Pohon Beringin, Symbolisme Tri Tunggal
Pohon beringin sering dikatakan sebagai tumbuhan sorga. Bijinya yang kecil dapat tumbuh menjadi tumbuhan besar yang memberikan kesejukan sekaligus peneduh bagi yang berteduh dibawahnya. Akarnya yang kuat melambangkan kekokohan yang tak kan tergoyahkan. Di balik semua itu pohon beringin bagi masyarakat Hindu mempunyai arti penting, sama halnya seperti pohon Kurma bagi umat muslim, atau pohon bodi bagi umat Bhuda. Pentingnya pohon beringin bagi umat Hindu karena daunnya sering digunakan sebagai sarana upacara. Daun beringin secara filsafati bagi umat Hindu sebagai lambang kesucian, baik dalam upacara Dewa Yajna, Pitra Yajna, maupun pelaksanaan yajna yang lain.
Kepercayaan terhadap pohon Beringin merupakan suatu implementasi dari aliran Animisme dan Dinamisme di daerah Bali. Kata animisme berasal dari bahasa Latin “anima” yang berarti “roh”. Animisme adalah suatu kepercayaan terhadap makhluk halus dan roh, serta keyakinan seperti ini sudah banyak dianut oleh bangsa-bangsa yang belum bersentuhan ataupun belum pernah menerima ajaran yang berdasarkan daripada agama samawi (wahyu). Istilah dinamisme berasal dari bahasa Yunani, yaitu dunamos. Dalam bahasa Inggris disebut dynamic, artinya adalah kekuatan, daya, kekuatan atau khasiat. Dalam hal ini, dinamisme adalah kepercayaan terhadap benda-benda di sekitar manusia karena diyakini memiliki kekuatan yang gaib. Dengan kata lain, dinamisme adalah keyakinan terhadap kekuatan yang berada dalam zat suatu benda dan diyakini mampu memberikan suatu manfaat dan marabahaya.
Keyakinan masyarakat Hindu tersebut bukanlah suatu hal yang tidak beralaskan tanpa landasan sastra yang jelas, lantas dituding sebagai penyembah berhala atau penyembah pepohonan. Secara mitologi, pohon beringin merupakan salah satu pohon yang telah mendapatkan penugrahan. Halini dikisahkan dalam Siwa Gama ketika perjalanan Bhagawan Salukat. Dalam rangkaian tirthayatra beliau mengantarkannya tiba di pesisir Negara Daha, beliau menemukan sebatang pohon waringin pandak (beringin).
Pohon beringin itu bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat. “Yang mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang tumbuh di tempat sunyi, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan hewan,” kata pohon beringin dengan kerendahan hati kepada Bhagawan Salukat.
Bhagawa Salukat yang sudah mengerti akan hakikat hidup , serta dengan kemurahan hati dianugrahilah pohon beringin tersebut. “ ih kamu pohon beringin ,kini wajib kamu menjadi pendamai ( membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,“ kata Bhagawan Salukat memberikan anugrah kepada pohon beringin.
Selanjutnya pohon beringin disebut juga sebagai pohon Siwa-Durga. Dengan kemultifungsian dari pohon beringin bagi umat Hindu khususnya di Bali. Pohon beringin dikatakan pula sebagai pohon surgawi, karena pohon beringin ini sebagai tempat rekreasi atau anjangsana para pitara-pitari yang sudah diaben. Sesuai dengan konsep ajaran Siwa di Bali, pohon beringin dikatakan sebagai pohonnya para Dewa, khususnya Dewa Siwa. Tidak saja pitara-pitari saja yang menyenangi pohon beringin, mahluk lain juga menyukai pohon beringin karena memang memiliki kekuatan energy yang sangat besar. Secara fungsional dalam konsep Siwa di Bali, pohon beringin adalah tempat Dewa Siwa dan dewi Durga beranjang sana yang ditemani para widyadara-widyadari termasuk di dalamnya para pitara tersebut.
Berkat anugrah Bhagawan Salukat serta adanya keyakinan masyarakat atas kekuatan-kekuatan gaib yang bersemayam pada pohon beringin, lebih-lebih yang tumbuh pada areal seperti pura atau kuburan, kini membuat pohon beringin, dengan kekokohan akarnya serta rindangnya dedaunan diharapkan senantiasa selalu memberikan kesejukan dan kesejahteraan bagi umat.
Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam khususnya tumbuhan disebut dengan Tumpek Wariga atau Tumpek Panguduh.
Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengan tumbuhan karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian bahkan urip ‘jiwa’ dari tumbuhan. Bagian-bagian tumbuhan itulah yang selanjutnya digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan), pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya.
Salah satu unsur alam khususnya pohon yang fungsional dalam berbagai dimensi kehidupan masyarakat Bali adalah beringin (Ficus Benjamina). Beringin yang dalam pustaka lontar Dasa Nama1 disebut dengan istilah waringin, wandira, grodha agung, murcitabra, gugro, dan tandaka dijaga kelangsungan hidupnya hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali. Pohon beringin tersebut secara umum memang tumbuh di kawasan-kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian oleh masyarakat Bali seperti lingkungan pura dan kuburan. Karena tumbuh di lingkungan seperti itu, pohon beringin juga identik dengan pohon yang sakral. Tidak sembarang orang dapat menebang pohon beringin, terlebih pada hari-hari yang tidak sesuai dengan dewasa ayu atau hari baik serta sarana upacara yang tertentu pula.
Sementara itu, untuk mendalami fungsi pohon beringin sebagai sarana upacara dan pengobatan digunakan sejumlah pustaka lontar Usada seperti Sundarigama (makna filosofis pelaksanaan upacara di Bali), Dasa Nama (sejenis kamus sinonim), Usada Taru Pramana (sistem pengetahuan tentang pengobatan berbasis tanaman obat), Dharma Usada (sistem pengetahuan tentang berbagai cara mengobati penyakit termasuk etika seorang pengobat tradisional), Usada Cukil Daki (sistem pengetahuan tentang penyakit dalam), Usada Kacacar (sistem pengetahuan tentang cara mengobati sakit kecacar), dan Usada Rare (sistem pengetahuan tentang jenis penyakit yang diderita anak-anak dan cara mengobatinya).