Berbicara tentang sejarah Pura Masceti tampaknya tidak begitu mudah, oleh karena sumber-sumber tertulis terutama yang berupa prasasti, merujuk kepada sejarah pura hampir tidakada. Walaupun demikian, akan dicoba mengungkapnya dengan menggunakan sumber-sumber lain, seperti artepak yang ada di lingkungan pura, alam dan lingkungan di sekitarnya, purana, babad, tattwa, dan sumber-sumber lainnya yang menyinggung keberadaan Pura Masceti. Sumber-sumber yang dimaksud di antaranya yaitu: Purana Pura Mengening, Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul, Dwijendra Tattwa, Babad Mengwi, Raja Purana I Gusti Agung Maruti, Raja Purana Dalem Agung Pura Kawitan Sri Nararya Kresna Kepakisan, artepak yang ada di lingkungan pura, ekopak (alam lingkungan) di sekitarnya, dan sumber-sumber lain yang ada relevansinya.
Secara kronologis penyusunan sejarah berdirinya Pura Masceti dapat diawali dari keberadaan dua palinggih yang ada di dalam pura, yakni Palinggih Saptapatala dan Palinggih Batu Karang. Kemungkinan bentuk bangunan awalnya adalah sangat sederhana dan tidak seperti bentuknya saat ini, niscaya sudah mengalami beberapa kali perbaikan (renovasi).
Sumber data arkeologi yang memperkuat bahwa Desa Keramas tergolong desa tua adalah adanya penemuan sarkopa-gus dengan tidak disengaja tahun 1975, ketika pembuatan pondasi kantor desa. Keberadaan tinggalan tersebut dapat memberikan indikasi bahwa saat itu, di Keramas telah berkembang peradaban yang sangat maju. Tradisi penguburan dengan menggunakan sarkopagus, menandakan bahwa tata kehidupan sosial kemasyarakatan di Desa Keramas telah dibangun secara teratur.
Tampaknya Palinggih Tpasana di Pura Masceti merupakan bangunan palinggih hasil perkembangan lebih lanjut dari zaman pra- Hindu, yang mulanya hanya berbentuk tepas dan difungsikan sebagai tempat memuja Dewi Ibu (Dewi Kesuburan), berkembang menjadi palinggih Saptapatala, tiada lain adalah lambang dari tanah (pertiwi) atau Dewi Ibu.
Benda yang berupa Batu Karang yang disimpan dalam sebuah palinggih yang saat ini juga dijadikan pratima di Pura Masceti, kemungkinan juga sudah ada sejak zaman pra-Hindu, yang difungsikan sebagai media pemujaan untuk dewa laut (Baruna) oleh para nelayan. Ketika masuk pengaruh agama dan budaya Hindu, benda tersebut tetap dikeramatkan dan dipuja, dengan membuatkan sebuah palinggih sesuai dengan tradisi Hindu, sebagaimana tampak seperti saat ini.
Sebagaimana diketahui bahwa tradisi membangun pura di Bali telah dimulai sejak kedatangan Rsi Markandeya abad 8 M, yang diawali dengan pembangunan Pura Besukian (Besakih) dengan peletakan panca datunya. Bilamana melihat dan mengamati keberadaan palinggih-palinggih yang ada di Pura Masceti, yang berupa bangunan palinggih berbentuk Tpasana, yang difungsikan sebagai tempat memuja Sang Hyang Saptapatala, dan palinggih Batu Karang yang tiada lain adalah simbol pemujaan kepada Dewa Laut (Hyang Baruna).
Sistem pemujaan yang dianut sebelumnya dijadikan dasar untuk menerima tradisi pemujaan menurut paham yang baru. Tentu komunitas di Medahan-Keramas tidak mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan tradisi pemujaan yang baru, oleh karena dasar-dasar kepercayaan dari pembawa pengaruh budaya dan Agama Hindu (India), sama dengan dasar-dasar kebudayaan orang Indonesia, yaitu dari kebudayaan neolithikum Asia Tenggara, termasuk kebudayaan orang Bali (Medahan-Keramas).
Merujuk dari sumber Dewa Purana Bangsul disebutkan bahwa, Pura Masceti (Pura Pasisiring Segara Kidul) dibangun bersamaan dengan Pura Kentel Gumi, Pura Dasar Gelgel, Pura Goa Lawah, Pura Er Jeruk, dan lain-lainnya. Akan tetapi, menurut Raja Purana Empu Kuturan bahwa, Pura Goa Lawah, Pura Kentel Gumi, dan Pura yang berstatus Sad (Sat) Kahyangan lainnya, dibangun ketika kedatangan Mpu Kuturan di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad 11 Masehi, pada saat pemerintahan Dharmodayana Warmadewa. Beliaulah (Mpu Kuturan) yang dikenal sebagai perintis pembangunan kahyangan tiga di Bali. Dengan demikian, Pura Masceti, telah ‘direnovasi’ ketika kedatangan Mpu Kuturan di Bali sesuai dengan kebutuhan ruang dan waktu.
Sumber lainnya yaitu Purana Pura Sakenan. Di dalam Purana ada dijelaskan bahwa, sekembalinya Dang Hyang Nirartha dari Gelgel untuk melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju ke alam moksa, bahwa Pura Masceti adalah salah satu tempat suci yang dikunjunginya menjelang saatnya “moksa” tiba. Setibanya di Pura Masceti, ketika Sang Dwija (Dang Hyang Nirartha) duduk dan menyembah, tetapi Ida Bhatara Masceti tidak mengijinkannya, dengan alasan bahwa Sang Dwija sudah memiliki status sama dengan Ida Bhatara, hanya saja keberadaan-Nya yang di dunia inilah yang membedakannya. Selanjutnya beliau berdua (Ida Bhatara Masceti dan Sang Dwija) bersama-sama berangkat ke Sakenan … dan seterusnya.
Jelaslah bahwa menurut sumber ini, memberikan petunjuk bahwa, Pura Masceti memang sudah ada dan merupakan bagian penting dalam perjalanan spiritual (dharma yatra) Danghyang Nirartha.
Dua abad kemudian, tepatnya di awal abad ke 18, ada dijelaskan dalam Raja Purana I Gusti Agung Maruti, hal kisah tentang masa kekuasaannya di Gelgel selama 26 tahun. Kemudian meninggalkan Gelgel menuju ke arah barat, dan membangun sebuah tempat tinggal bersama para patihnya, yang kini disebut Desa Keramas. Sebagaimana pengalaman para pendahulunya, I Gusti Agung juga tertarik untuk mendekat ke Pura Masceti, dan juga melihat ada bayangan sinar mas yang tampak dari kejauhan. Setelah dicari sumber sinarnya ternyata situs tersebut adalah Pura Masceti. Di tempat tersebut I Gusti Agung menggelar yoga semadi. Berkat sipta yang diterima dari Ida Bhatara Masceti, ia mengadakan penyempurnaan pembangunan di Pura Masceti, serta menugaskan Bendesa Kedeh untuk menjaganya.
Dari sumber lainnya, Raja Purana Dalem Agung Pura Kawitan Sri Nararya Kresna Kepakisan maupun Babad Mengwi, dengan jelas menyebutkan bahwa pada saat I Gusti Agung membangun tempat tinggal yang diberi nama Keramas, disebutkan bahwa Pura Masceti sudah ada. Sebagai penguasa di Keramas, I Gusti Agung punya tanggung jawab moral untuk memelihara Pura Masceti.
Beranjak dari kajian sumber-sumber di atas, Pura Masceti yang tampak seperti saat sekarang ini, dari sejak awal pendiriannya sudah mengalami perkembangan baik dalam struktur mandala maupun palinggih-palinggihnya, sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Bilamana melihat dan mengamati secara seksama eksistensi palinggih-palinggihnya, bahwa ada indikasi bahwa bangunan-bangunan palinggihnya sebagai wujud perpaduan dari beberapa jaman.
Model bangunan dari awal masuknya Hindu, dicirikan dengan Tpasananya yang kemungkinan adalah perkembangan bentuk dari punden berundak dengan bentuk bangunan awal dari masuknya Hindu; pengaruh periode Mpu Kuturan, dengan bangunan merunya; dan pengaruh dari periode kehadiran Dang Hyang Nirartha, dicirikan dengan bangunan padmasananya. Kemudian, di awal abad ke 18 M, ketika I Gusti Agung Maruti mengendalikan roda pemerintahan di Keramas, tetap menjadi tanggung dalam pembangunan, pemeliharaan, maupun berbagai bentuk upacara yang dibutuhkan.