Dalam gaguritan Brayut diceritakan keluarga Brayut adalah seorang penganut Budha. Di saat perayaan Galungan Pan Brayut membuat berbagai bentuk makanan olahan daging babi untuk dipersembahkan sebagai sesaji. Sementara istrinya masih tertidur lelap karena kelelahan mengurusi anaknya yang berjumlah 18 termasuk yang masih dalam kandun gan. Berbagai polah anak-anaknya yang membuat si ibu menjadi sangat terkuras tenaganya sehingga tidak sempat membantu suaminya menyiapkan upacara.
Ketika terbangun dari tidumya si ibu langsung ke dapur untuk makan berbagai jenis makanan yang tadinya sudah dipersembahkan sebagai sesaji. Berbagai jenis olahan daging dimakannya dengan lahap, tanpa mempedulikan anak-anaknya yang menangis.
Tiba-tiba suaminya datang dan memarahinya. Terjadi perdebatan antara keduanya terkait banyaknya anak-anak yang lahir. Si suami menyalahkan istrinya, sedangkan si istri membela diri dengan menyatakan bahwa anak-anak mereka lahir akibat si suami tidak mampu mengendalikan nafsu birahinya. Setiap ada kesempatan si suami selalu mengajak istrinya untuk melakukan hubungan seks.
Selanjutnya dikisahkan Brayut mulai belajar ilmu ketuhanan pada seorang Guru bijak bemama Pangeran Jembong yang sangat menguasai ilmu tentang ajaran agama Budha. Setelah mendapatkan banyak pelajaran Pan Brayut kemudian melakukan tapa semadi di pohon kepuh besar yang bagian bawahnya berlubang di sebuah kuburan yang angker. Atas karunia Tuhan akhimya ilmu Pan Brayut disempumakan.
Ringkas cerita setelah anak-anaknya dewasa dan menikah, Pan Brayut dan Men Brayut akhirnya memutuskan untuk meninggalkan anak dan menantunya untuk pergi mengasingkan diri dengan membuat sebuah pasraman. Sebuah pesta besar dibuat oleh anak-anaknya, berbagai makanan olahan daging disajikan dalam pesta tersebut, dan tak ketinggalan berbagai jenis minuman berupa tuak, arak, berem. Setelah pesta usai Pan Brayut dan istri diantar anak-anak dan warga menuju tempat yang telah dipersiapkan untuk melanjutkan hidupnya sebagai penekun kerohanian.
Pengaruh Tantrayana, Hindu India ke Indonesia (Bali)
Muncullah berbagai pandangan para ahli yang menyatakan tentang peran budaya lokal khususnya di kepulauan Indonesia dalam menerima pengaruh Hindu India yang disebutnya dengan istilah local genius. seperti halnya Wales menyatakan bahwa local genius ini bersifat sentral, karena merupakan kekuatan yang mampu bertahan terhadap unsur-unsur yang datang dari luar dan yang mampu pula berkembang untuk masa-masa mendatang. Sementara itu Bosch dalam menganalisis tentang local genius lebih menitik beratkan perhatiannya pada peran aktor pelaku penerima kebudayaan itu. Oleh karena itu, masuknya unsur India sebaiknya dianggap sebagai zat penyubur yang menumbuhkan agama Hindu Indonesia yang tetap memperlihatkan kekhasannya (Bosch,1983:7).
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa local genius ini, baik budaya maupun aktor lokal memang bersifat sentral dalam hubungannya dengan persebaran Hinduisme di Indonesia. Hilangnya atau musnahnya local genius, berarti pula memudarnya kepribadian suatu masyarakat, sedangkan kuatnya local genius untuk bertahan dan berkembang menunjukkan pula kepribadian masyarakat.
Masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia menyebabkan terjadinya proses kontestasi antara bentuk-bentuk kepercayaan Indonesia dengan agama Hindu yang datang dari India. Proses interaksi terjadi secara akulturatif, dimana unsur-unsur asing diolah ke dalam kebudayaan lokal tanpa hilangnya kepribadian dasar kebudayaan lokal. Pandangan-pandangan ini mengindikasikan bahwa kebudayaan Indonesia (Bali) ketika terjadinya proses akulturasi dengan kebudayaan India (Hindu) telah berada dalam posisi yang cukup kuat sehingga terjadilah proses dialektis dan tidak terjadi dominasi (Utama,2005:42).
Masuknya pengaruh Hindu ke Bali tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu, tidak hanya datang langsung dari India, namun juga dari Jawa. Mitos yang berkembang dalam masyarakat Bali menyebutkan bahwa upaya-upaya menghindujawakan masyarakat Bali yang dilakukan oleh tokoh-tokoh agama dari Jawa seperti Markandeya, Kuturan, dan juga Dang Hyang Dwijendra menyebabkan terjadinya kontestasi keagamaan pada masyarakat Bali.
Markandeya dipandang sebagai seorang Rsi yang pertama kali berusaha menanamkan pengaruh Hindu Jawa di Bali melalui dua kali missi yang dilakukannya dengan membawa ratusan orang dari Jawa ke Bali, meskipun kisah ini masih sangat berbau mitos tetapi jelas bahwa langkah-langkah yang dilakukan merangsang terjadinya tranformasi agama di Bali (Ginarsa,1987).
Kisah perjalanan tokoh-tokoh agama ini di Bali dalam upaya menyebarkan ajaran agama Hindu, sangat diyakini oleh beberapa kalangan di Bali meskipun bukti-bukti artefak belum ditemukan. Penelusuran masa lalu menggunakan cerita atau mitos kiranya masih dimungkinkan (Berg,1985:3).
Menurut Sartono Kartodirdjo salah seorang sejarawan Indonesia (dalam Susanto dkk (eds), 2003:148-149) bahwa kelemahan penulisan sejarah selama ini karena seringkali hanya menghandalkan sumber-sumber dokumen atau arsip (artefact), belum banyak meng gunakan sumber mentifact (fakta mental) maupun sumber socifact (fakta sosial). Fakta mental yang dimaksud dalam hal ini dianggap dekat dengan ingatan (memory) sosial kemasyarakatan yang diteliti. Generalisasi fakta mental masyarakat biasanya terdiri atas ide, gagasan, pandangan, orien tasi nilai, mitos dan segala macam struktur kesadaran dalam masyarakat.
Masuknya pengaruh Hindu ke Bali, juga bukan berasal dari suatu mazab tersendiri, namun bersumber dari berbagai mazab atau sekte. Penelitian yang pemah dilakukan Goris menunjukkan bahwa paling tidak di Bali pemah berkembang 9 sekte yaitu Siwa-Siddhanta, Pasupata, Bhairawa, Wesnawa, Boddha atau Sogata, Brahmana, Rsi, Sora, dan Ganapatya (Goris, 1974: 12). Meskipun data tentang eksistensi dari masing-masing sekte itu masih sangat minim, tapi dapat disimpulkan bahwa pergulatan keagamaan pada masyarakat Bali sejak zaman pemerintahan raja-raja Bali Kuno sudah sangat tinggi. Proses itu berlangsung terus dan bahkan tidak tertutup kemungkinan telah terjadi konflik-konflik antarsekte sehingga mengharuskan Mpu Kuturan seorang rohaniwan dari Jawa Timur yang menduduki jabatan penting dalam masa pemerintahan Raja Marakata (anak Raja Dharma Udayana) melakukan langkah-langkah untuk menata kehidupan keagamaan melalui konsep tata ruang pada tingkat desa dengan menetapkan konsep Kahyangan Tiga sebagai tempat pemujaan Tri Murti (Pemda Bali,1982/1983:143).