Astungkara yang sudah semakin akrab di telinga umat Hindu, adalah doa pengharapan sekaligus pemanis pembicaraan agar ada vibrasi spiritual Ketuhanan dalam ajaran Hindu. Ucapan itu adalah suatu cara untuk membuat diri manusia berada dalam vibrasi ketuhanan. Tak bisa dipungkiri bahwa ucapan suci muncul dalam bentuk doa, yang mengkaitkan antara vibrasi diri dengan vibrasi ilahi, diantaranya dapat dalam bentuk salam, Om Swastyastu, selamat sore, dan doa pengharapan Astungkara, untuk menjadikan semua karya dan karsa menjadi milik Tuhan.
Secara teoritis ucapan itu telah tertuang dalam Weda, yaitu dalam Atarwa Veda (9.4 ) (Zoemulder, Kamus Jawa Kuna, 1995). Kata astu artinya semoga terjadi . Pada umumnya kata-kata dalam Atarwa Weda menjadi ispirasi para resi ketika menerima wahyu. Itu sebabnya, bagi seseorang yang sering mengucapkan Astungkara merupakan sabda suci, dengan mengaitkan bayu, sabda dan idep. Konsep pengucapan astungkara adalah untuk menghadirkan kekuasaan Tuhan yang tidak terhingga dan tak terbatas dalam setiap keanekaragaman sangat besar yang kita saksikan bila memandang jagat raya ini, hal yang sama juga terjadi pada kata Swastyastu, namaste dan parama shanti.
Ketika percaturan makna spirit dan politik identitas dibutuhkan tentang sesuatu yang perlu menguatkan kasanah kebinekaan dan keyakinan akan agama, maka beragama dengan benar sesuai dengan kitab suci itu perlu direvitalisasi.
Penguatan salam khas Hindu, bagi umat Hindu menjadi keharusan, karena budaya globalisasi membutuhkan penguatan identitas kelompok agar bisa ikut mewarnai keanekaragaman global. Pengucapan Astungkara akan memperkuat ideologi multikulturalisme, yang merupakan suatu kebijakan dan pendekatan budaya yang berorientasi pada prinsip-prinsip pelestarian budaya dan saling menghormati di antara kelompok-kelompok budaya dalam suatu masyarakat.