Pesan-pesan Etika Dalam Cerita Pedanda Baka
Bagian awal berisi eksposisi yang mengandung instabilitas dan konfliks, seperti dalam adegan dari cerita Pedanda Baka
“…Burung-burung beraneka macam banyak nimbrung dan bertengger disekitar telaga sambil belajar sastra yang berebut mencari
perguruan layaknya. Lain halnya burung bangau yang selau loba dan bernafsu. Para ikan ketakutan melihat burung Bangau yang ada ditepi telaga karena selalu memangsa keluarganya. Niat jahat Bangau mulai muncul untuk memperdaya si ikan dengan merubah prilaku berpura-pura bagaikan seorang yang sadu (saleh). Memakai anting putih, memakai Ganitri dan Ketu serba warna putih, layaknya seperti pendeta suci yang taat menjalankan tapa, brata, yoga, semadi, tutur katanya seputar kesucian sidhanta berubah yaitu pelan-pelan meyakinkan sebagai seorang pendeta utama. ”(Tantri Kamandaka, 2006:168)
Bagian tengah mengandung klimaks yang merupakan puncak konflik, seperti termuat dalam adegan :
“…Hampir sudah cukup lama rasanya bersahabat dengan baik, tidak punya rasa curiga, apa yang diucapkan si burung Bangau selalu dipercayai, sehingga hatinya selalu berbunga- bunga, setitik airpun tiada curiga apalagi bahaya yang akan terjadi itu tidak pernah terlintas para penghuni kolam Kumudawati . Anak istri makin banyak bersukaria dipermukaan air kolam. Hatinya si burung Bangau sungguh sangat bahagia menyaksikan para ikan demikian, dan dalam hatinya berkata daya tipuku akan berhasil. Disitulah akhirnya dengan penampilan yang sangat meyakinkan bertengger dipinggir kolam di pohon Sindura, tiba-tiba menangis terisak menangisi ikan badannya sambil bergetar”… (Tantri Kamandaka, 2006:169)
“…Ternyata diatas batu lebar tampak tulang ikan berserakan, bekas si Baka memangsa ikan; disitulah si Kepiting berfikir, “Dengan bukti seperti ini ternyata ikan dimangsa oleh si Baka seluruhnya, sungguh sahabat yang memalukan prilakunya terlalu berdosa, tipu muslihat dengan kata-kata dan prilaku yang palsu”…(Tantri Kamandaka, 2006:171)
Bagian akhir mengandung denoument (penyelesaiaan atau pemecahan masalah), seperti dalam adegan :
“…Si Baka mengikuti perintah si Kepiting. Sesampainya ditengah kolam, leher si Baka dijepit sampai putus. Begitulah pahala karma perbuatan jahat tidak lama hasilnya bisa diterima menuju kawah neraka yang dihuni. Akibat tidak setia dengan janji persahabatan…”(Tantri Kamandaka, 2006:172)
Mengeni latar (setting) Cerita Pedanda Baka, sebelumnya akan diuraikan arti latar menurut Semi (1984:38 dalam Partami, 2008:26) adalah waktu dan tempat terjadinya suatu cerita tersebut. Cerita Pedanda Baka tidak terlalu menonjolkan waktu, tetapi tempat kejadian cerita mendapat porsi yang signifikan. Dalam cerita Pedanda Baka tempat insiden terdapat di sebuah taman yang berisi telaga, pohon, puncak gunung, batu lebar mengkilat dan sebagainya. Teks yang menggambarkan latar dari cerita tersebut adalah :
“…Tersebutlah ada sebuah telaga / danau kecil yang asri, air jernih dan menyejukan. Hidup disana beraneka jenis ikan dengan damai. Ada yang bersembunyi dibawah daun tunjung warna nila yang sedang berbunga dengan berbagai macam warna, disela-sela daun bermain para ikan dengan mesra, karena bau harum kembang yang sedang mekar dikerubuti kumbang. Ada lagi yang lebat buahnya…” (Tantri Kamandaka, 2006:168)
Bagian akhirnya dapat mengakhiri petualangan si Baka penipu itu, seperti dalam penggalan ceritanya :
“…Akhirnya mereka kembali menuju taman Manasara I Cangak berkata halus dan lembut, Dewa lepaskan leher titiange, janganlah dijjepit! “Si Kepiting berkata keras dan kasar, “Bawa aku ketengah kolam!” Si Baka mengikuti perintah si Kepiting. Sesampainya ditengah kolam, leher si Baka dijepit sampai putus. Begitulah pahala karma perbuatan jahat tidak lama hasilnya bisa diterima menuju kawah neraka yang dihuni. Akibat tidak setia dengan janji persahabatan”.