Berbagai Jenis Ulap Ulap Pelinggih dan Bangunan Bali


Ulap-ulap merupakan media dan simbol sakral yang ada dalam kebudayaan Hindu di Bali. Ulap-ulap terbuat dari secarik kain putih dengan berisikan tulisan Aksara Suci (Aksara Modre), gambar dewa-dewi dan juga gambar sejata yang diyakini memiliki kekuatan magis. Ini memberikan pemahaman bahwa dewa/dewi yang bersangkutan memiliki otoritas terhadap bangunan yang sedang dibangun.
Dari sudut pandang religi, upakara dan simbol-simbol diyakini sebagai media mencapai keseimbangan antara dimensi sakral (niskala) dan profan (sekala). Demi tercapainya tujuan tersebut, umat Hindu di Bali senantiasa mengupayakan berbagai upaya untuk menjaga keseimbangan dikedua dimensi tersebut.
Dengan dipasangnya ulap-ulap serta dengan upacara pemlaspasan pada suatu bangunan merupakan pertanda bahwa bangunan tersebut telah layak dimanfaatkan sebagaimana mestinya.

Penciptaan simbol merupakan suatu respons manusia terhadap suatu hal atau keadaan yang merupakan pengantar pemahaman subjek terhadap objek. Dalam makna tertentu, simbol acap kali memiliki makna mendalam, yaitu suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan suatu masyarakat bahwa Brahman, alam dan manusia merupakan variable yang saling berkaitan dalam keseimbangan ekosistem. Korelasi ini terjadi secara alamiah dan terbentuk secara simultan. Berkaitan dengan ini, ulap-ulap merupakan simbol dan media yang sarat akan makna teologis.

Secara etimologi kata ulap-ulap berasal dari bahasa Bali yang berarti “lambai”. melambai/memanggil dengan tangan (ngaukin aji lima). Ini berarti memanggil suatu kekuatan tertentu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa untuk memberikan ‘ jiwa ‘ suatu bangunan. Dalam arti bangunan suci seperti sanggah dan pura, agar para dewa-dewi bersedia berstana disana. Jika jenis bangunannya adalah rumah, maka diharapkan agar kekuatan yang bersifat negatif yang terdapat pada bangunan tersebut, seperti : bekas tapak tukang, dan roh-roh jahat menjadi hilang sehingga orang dengan aman dan damai menempatinya.

 

Pembuatan Ulap-Ulap

Sebelum  suatu  bangunan  dipakai sesuai dengan  fungsinya, baik itu bangunan untuk parhyangan, pomahan maupun prasarana lainnya, maka terlebih dahulu haruslah diupacarai dengan   menggunakan sarana upacara-upacara sebagaimana mestinya.   Adapun   rangkaian upacara    yang    biasa    dilakukan    yakni    memakuh    dan    mlaspas/
malaspas.

Upacara tersebut secara niskala mempunyai makna painrayascita (penyucian  dan  pembersihan dari segala kotoran yang diakibatkan        dalam        proses        pembangunan),        pangurip-urip (menghidupkan   sekaligus   mohon   kekuatan   suci   Ida   Sang   Hyang Widhi sebagai  pelindung  bagi setiap orang yang akan menggunakan bangunan-bangunan tersebut.

Proses pembuatan ulap-ulap mulai dari mempersipkan bahan-bahan :

  1. Kain putih (Kasa), dengan ukuran yang bebas (disesuiakan dengan besar kecilnya pelinggih), atau 20 Cm x 30 Cm yang merupakan alasnya.
  2. Pensil dan Tinta/pulpen untuk melukis.
  3. Dupa, Tetabuhan, dan Canang.

Sebelum melukis jenis ulap-ulap yang akan dibuat terlebih dahulu alat-alat tersebut disucikan, seperti:

Untuk Dupa :

Om dhipastra ya namah swaha.

Untuk Tetabuhan (arak berem), yang merupakan lambang sebagai alat penetral, dengan mantramnya :

Om kang sari pawitram tinggala sari pawitram.

Untuk Canang :

Om puspa-puspaning dewa utama, puspa-puspaning para dewa dewaya, ya namah swaha.

Selanjutnya barulah mengerjakan proses dengan pengurip-uripan yang dilakukan oleh Pendeta atau Pemangku, dengan mantra :

Om idep Aku Sang Hyang Tunggal, Urip Sang Hyang Wisesa lawan urip Sang Hyang Tunggal, Urip Sang Hyang Tapa, teka utip, urip, urip. 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 




Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga