Pagi itu udara cerah. Burung-burung berkicau dengan sangat merdu. Matahari mulai tampak kemerah-merahan dan bersinar m nerangi pegunungan. Dari kejauhan tampak dua orang berjalan beriringan menuruni perbukitan. Yang satu bernama I Cupak dan yang satunya lagi bernama I Grantang. I Cupak berbadan gemuk, edangkan I Grantang berbadan kurus. Mereka adalah kakak beradik.
Kedua orang bersaudara itu terpaksa meninggalkan desa karena kedua orang tuanya telah tiada. Ketika orang tuanya masih ada, mereka hidup berbahagia. Hampir semua kebutuhannya selalu dipenuhi. Namun, ketika ayahnya meninggal, perangai I Cupak mulai tidak baik. Setiap hari ibunya dibuat jengkel. Karena terlalu memikirkan I Cupak itulah, akibat ibunya sakit dan kemudian meninggal dunia. Para tabib di desa itu telah berusaha untuk mengobatinya, tetapi jiwa ibunya tetap tidak tertolong.
“Adik, kita akan ke mana?” tanya I Cupak kepada adiknya. “Kita akan ke Kota Raja,” jawab I Grantang pelan.
“Saya sudah lelah, perutku sudah lapar!”
“Saya juga lelah dan lapar. Tapi, saya tidak mengeluh!”
“Coba kalau lbu masih bidup, aku tidak akan kelaparan seperti ini,” lanjut l Cupak.
I Grantang tidak menjawab. Ia tahu, ibunya meninggal karena memikirkan kakaknya. Bila ia mengingat hal itu, hatinya sedih.
“Kapan saya akan makan!” bentak kakaknya.
“Sebentar lagi kita akan sampai di kampung. Nanti kita bisa membeli makanan di sana,” jawab I Grantang.
Benar juga dugaan I Grantang, tak berapa lama kemudian ia melihat suatu perkampungan.
“Lihat itu, Kak. Di sebelah sana ada perkampungan!” teriak I Grantang kegirangan.
“Mana?” tanya I Cupak tidak percaya.
“ltu,” jawab I Grantang sambil menunjuk kampung yang telah dilihatnya. Setelah melihat perkampungan itu, I Cupak mulai bergembira. Rasa lapar di perutnya semakin terasa. Kedua kakak beradik itu segera mencari kedai. Ketika kedai telah ditemukan, I Cupak dan I Grantang segera memesan makanan. I Cupak makan dengan sangat lahap. Beberapa bakul berisi nasi telah disantapnya. Ia tidak peduli kalau diperhatikan banyak orang. I Grantang malu hatinya melihat kakaknya yang sangat rakus.
Setelah I Grantang membayar semuanya, mereka kemudian melanjutkan perjalanan. I Cupak dan I Grantang sering tidur di alam terbuka. Mereka sering tidur di tengah hutan dan di atas pohon. Babi hutan, harimau, ataupun ular berbisa tidak berani mengganggunya sebab I Cupak kalau tidur mendengkur. Suara dengkurannya menakutkan binatangbinatang yang akan mengganggunya.
Pada suatu hari sampailah I Cupak dan I Grantang di sebuah desa. Desa itu sangat sepi. Ketika I Cupak dan I Grantang memasuki desa itu, sebagian besar penduduk sedang bersedih.
“Maaf Pak, kami ingin bertanya,” sapa I Grantang ramah.
Orang yang disapa itu tidak segera menjawab. Ia malah memperhatikan I Cupak dari ujung kaki sampai ke ujung rambut dengan penuh curiga.
“Oh … desis I Grantang pelan, “Ia kakak saya, Pak. Namanya I Cupak,” lanjut I Grantang menjelaskan.
“E … maaf, Nak. Kami penduduk Daha sedang bersedih,” jawab Pak Tua itu terbata-bata.
“Bersedih? mengapa penduduk bersedih?” tanya I Grantang.
“Sebulan yang lalu putri raja diculik seorang raksasa.”
“Raksasa?” tanya I Cupak menyela. “Benar, nak.”
“Mengapa tidak dibebaskan?
“Para kesatria tidak ada yang dapat mengalahkan raksasa itu. Kesaktiannya sangat luar biasa.”
“Mana sekarang raksasanya?” tanya I Cupak menyombongkan diri. “Kalau aku bertemu raksasa itu, akan aku hajar dia sampai mati. Perutnya akan aku sobek. Kepalanya akan aku pecahkan dengan tangan ini,” lanjut I Cupak sambil memukulkan tangannya ke udara.
Tanpa djsadari, ucapan I Cupak didengarkan oleh punggawa kerajaan. Punggawa itu sedang menyamar, seperti rakyat biasa. la memperbatikan I Cupak dan I Grantang. la percaya apa yang diucapkan I Cupak. Setelah mengamati I Cupak dan I Grantang, punggawa itu segera meninggalkan tempat itu.
Keesokan harinya, dari jauh terlibat enam orang beriringan menaiki kuda. Semakin lama derap kuda itu terdengar semakin jelas. Pada saat itu I Cupak dan I Grantang sedang bergegas meninggalkan desa. Ketika sampai di pengjujung desa, I Cupak dan I Grantang berpapasan dengan iringiringan prajurit kerajaan.
”Berhenti!” teriak prajurit yang paling depan memberikan isyarat kepada rekan-rekannya.
Seketika itu para punggawa menghentikan kudanya. Kemudian, mereka turun dari punggung kuda dan menghampiri I Cupak dan I Grantang. I Cupak merasa takut ketika didekati para punggawa, sedangkan I Grantang biasa-biasa saja sikapnya.
“Maaf anak muda, bukankah kernarin kalian menyanggupi akan membunuh raksasa dan membebaskan putri baginda?” tanya punggawa itu balus.
“Kemarin?” tanya I Grantang sambil mengingat-ingat.
“Iya, Ketika kalian bercakap-cakap dengan pak tua kemarin.”
“Iya.” jawab I Cupak. Rasa takutnya mulai hilang. “Aku akan membunuh raksasa itu dan aku akan membebaskan putri baginda raja.”
“Apakah kalian mempunyai kesaktian?” tanya salah seorang punggawa menyelidik.
“Raksasa itu pasti takut melihat aku,” jawab I Cupak menyombongkan diri.
Para punggawa yang mendengarkan itu diam saja. Di dalam hati para punggawa, ada yang tidak percaya kalau anak muda yang gembrot itu dapat mengalahkan raksasa. I Cupak dan I Grantang akhimya menurut ketika hendak dihadapkan kepada baginda raja.
Dalam perjalanan menuju kota raja, I Cupak selalu bertingkah aneh. Jalannya dibuat-buat agar kelihatan gagah. Bahu agak diangkat agar dadanya kelihatan Iebar. Kepala selalu menoleh ke kiri dan ke kanan. Orang-orang yang berpapasan dengan I Cupak ada yang ketakutan dan ada pula yang menertawakan.
I Grantang malu melibat perangai kakaknya. Ia berjalan sambil menundukkan kepalanya. Ia berharap mudah-mudahan baginda raja tidak murka melibat kelakuan kakaknya. Dalam perjalanan menuju Kota Raja itu, I Grantang selalu berdoa kepada Dewata. Setelah sampai di Kota Raja, I Cupak dan I Grantang segera dibawa menghadap sang raja.
“Hamba menghadap, Baginda, kata salah seorang punggawa sambil menyembah.
“Siapakah dua orang anak muda itu?” tanya baginda berwibawa.
“Dia adalah dua orang yang hamba ceritakan dua hari yang lalu, Baginda. Dua bersaudara yang hendak membebaskan putri Baginda.”
“O … , ya… ya… ya. Selamat datang anak muda. Siapa namamu?” tanya baginda ramah.
“Saya, I Grantang, Baginda. Ini I Cupak, kakak hamba, Baginda,” jawab I Grantang halus.
“Benarkah kamu akan membebaskan anakku?” “Hamba akan mencobanya, Baginda.”
“Baiklah, bila dapat membebaskan putriku, kamu akan kuangkat menjadi menantuku,” sabda baginda kepada I Grantang.
“Kalau saya yang membebaskan putri Baginda?” tanya I Cupak menyela pembicaraan.
“Kamu akan kuangkat menjadi Mantri Anom di istana ini.”
Pertemuan itu diakhiri dengan perjamuan makan. Baginda raja memerintahkan kepada para pelayan agar menghidangkan makanan yang enak-enak, buah-buahan, dan minuman yang segar. Ketika melihat hidangan yang melimpah ruah itu, kegembiraan hati I Cupak tidak dapat ditahan lagi.
Semua hidangan yang disajikan habis dimakan I Cupak. Hanya tulang-tulang saja yang tersisa. I Grantang sangat malu melihat kerakusan kakaknya. Untung, baginda sangat baik. Ia tidak murka melihat perangai I Cupak. “Pelayan, sediakan makanan lagi,” perintah baginda sambil tertawatawa. Baginda merasa geli melihat I Cupak makan. Kedua tangan I Cupak silih berganti memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Sekali-sekali tangao kirinya meogusap keringat di keningnya.
“Maafkanlah kakak saya, Baginda,” I Grantang memohon ampun kepada baginda.
“Tidak usah takut I Grantang. Mengapa kamu tidak makan, seperti kakakmu itu?” tanya Baginda.
“Saya sudah makan, Baginda.”
Di dalam hati baginda bertanya-tanya, “Mengapa dua orang kakak beradik ini tingkah lakunya berbeda?” Bahkan, wajahnya pun lain pula. I Grantang halus budi bahasanya dan tampan wajahnya, sedangkan, I Cupak kasar budi bahasanya dan jelek wajahnya.
“I Grantang, siapakah nama orang tuamu?”
“Orang tua bamba bernama I Made Tantre, Baginda.” “Dari mana?”
“Dari lereng Gunung Agung, Baginda.”
“Mengapa kalian meninggalkan desa?”
“Kedua orang tua bamba telah meninggal. Kami berniat mengembara agar dapat bertaban bidup. Kami tidak mempunyai sanak saudara lagi, Baginda.”
Mendengar jawaban itu bati baginda merasa iba. Apalagi setelah I Grantang menceritakan riwayat bidup keluarganya. Bapak I Grantang meningga] karena diteluh orang, sedangkan ibunya meninggal karena sakit yang tidak dapat tertolong.
Diam-diam baginda mulai ertarik kepada I Grantang. Putri-putri baginda pun ternyata ikut mendengarkan cerita I Grantang. Sekali-sekali putri-putri baginda ada yang memandang wajah I Grantang dengan tajam. Di dalam hatin ia memuji kehalusan budi I Grantang dan ketampanan wajahnya.
Melihat hal itu, baginda raja pura-pura tidak mengetahuinya.
“Grantang, perlukah senjata untuk mengalahkan raksasa yang menawan putriku itu?” tanya Baginda.
“Tidak, Baginda. Saya telah dibekali bermacam-macam ilmu dan saya pun mempunyai senjata peninggalan orang tua,” jawab I Grantang jujur.
“Senjata apa, I Grantang?”
“Ikat kepala ini, Baginda,” jawab I Grantang sambil melepas ikat kepalanya.
Baginda mengangguk-anggukkan kepala. Hatinya semakin yakin kalau anak muda ini pasti sakti luar biasa.
“Baginda, siapakah nama raksasa yang menculik tuan putri?” tanya I Grantang pelan.
“Raksasa itu benama I Manaru. Ia tinggal di Padang Werasa,” jawab baginda.
“Di mana letak Padang Werasa, Baginda?” tanya I Cupak menyela pembicaraan.
“Di sebelah Gunung Batur. Perjalanan dari Kota Raja ke sana memerlukan waktu sekitar lima belas hari.”
“Kalau begitu, saya perlu persediaan yang cukup, Baginda.”
“Tidak usah khawatir, akan kusiapkan perbekalanmu. Senjata apa yang kamu butuhkan, I Cupak?” tanya baginda sambil tersenyum.
“Parang yang sangat besar, tombak yang panjang, dan panah yang banyak, Baginda.”
“Baiklah, besok segala keperluanmu akan disiapkan oleh para pengawalku. Sekarang beristirahatlah.”
I Cupak dan I Grantang dipersilakan istirahat di tempat yang telah disediakan. Karena kekenyangan, I Cupak cepat tertidur. Tak lama kemudian, I Cupak pun mendengkur.
Sementara itu, I Grantang tidak segera tertidur. Ia menatap langit-langit sambil mengingat-ingat kejadian di siang tadi. Ia tidak menyangka kalau dapat bertemu dengan baginda. “Dapatkah saya membebaskan putri baginda dari tangan sang raksasa ?” Pertanyaan itu selalu menggoda pikiran dan hatinya. Kemudian, ia duduk bersila dan menata pernafasannya. Setelah pikirannya tenang, barulah I Grantang merebahkan badannya.