- 1Komplek Pura di Besakih
- 1.1Jenis Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Pura Gelap
- 1.1.14. Pura Penataran Agung
- 1.1.25. Pura Peninjoan
- 1.1.16. Pura Pengubengan
- 1.1.17. Bentuk Pura Tirtha
- 1.1Fungsi Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Fungsi Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Fungsi Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Fungsi Pura Gelap
- 1.1.14. Fungsi Pura Penataran Agung Besakih
- 1.1.15. Fungsi Pura Peninjoan
- 1.1.16. Fungsi Pura Pengubengan
- 1.1.17. Fungsi Pura Tirtha
- 1.1Makna Pura Yang Berada Di Luhuring Ambal-Ambal Pada Komplek Pura Besakih
- 1.1.11. Makna Pura Kiduling Kreteg
- 1.1.12. Makna Pura Batu Madeg
- 1.1.13. Makna Pura Gelap
- 1.1.14. Makna Pura Penataran Agung Besakih
- 1.1.15. Makna Pura Peninjoan
- 1.1.16. Makna Pura Tirtha
2. Makna Pura Batu Madeg
Pura Batu Madeg merupakan salah satu bagian Pura Luhuring Ambal-Ambal sebagai linggih atau sthana dari Dewa Wisnu. Sama seperti keberadaan Pura Kiduling Kreteg, Pura Batu Madeg juga memiliki beragam makna. Bangunan fisik pura, kemudian sarana upakara yang digunakan pada saat pujawali, demikian pula Devata yang dilinggihkan di Pura Batu Madeg dapat dimaknai dari berbgai sudut pandang pemaknaan.
Uraian sebelumnya juga menyebutkan bahwa Pura Batu Madeg adalah pura sebagai linggih dari Dewa Wisnu. Dari dewa yang dipuja, sebenarnya sudah dapat pemaknaan secara teologis, bahwa Pura Batu Madeg merupakan sthana Dewa Wisnu sebagai pelihara alam semesta. Korelasi teologis antara pura dengan obyek pemujaan di Pura Batu Madeg memiliki koherenitas dengan konsep teologi Tri Murti dalam Hindu, kemudian diberi sentuhan kembali melalui teologis Siwaistik atau Siwa Sidhanta. Dewa Wisnu sendiri dalam konsep Tri Murti adalah dewa sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya, dan Harsananda Swami (2007: 21), menyatakan bahwa Dewsa Wisnu dikenal pula dengan dengan nama Mahawisnu, merupakan devata kedua dari tri murti Hindu; yang menyatakan satvaguna dan merupakan kekuatan atau gaya sentripetal yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan, perlindungan, dan merawat alam semesta yang diciptakan ini. Kata Wisnu sendiri berarti yang meresapi dan meliputi segalannya.
Pemujaan Dewa Wisnu di pura Batu Madeg sendiri memiliki historis teologis antara beberapa paham atau sekte tertentu. Menurut Wiana (2009: 146), meskipun yang dominan sistem Siwa Sidhanta Paksa, akan tetapi Paksa Siwa Pasupata tetap juga dilanjutkan bahkan dipadukan dalam suatau tempat pemujaan. Antar sekte tersebut tidak terjadi pertentangan, sehingga Pura Batu Madeg masih tetap dijadikan tempat pemujaan Dewa Wisnu lengkap dengan atribut. Sesugguhnya paham sekte tersebut di atas merupakan paham keagamaan yang saling melengkapi. Sekte Siwa Pasupata lebih menekankan pada arah beragama ke dalam diri atau Niwrti Marga, sedangkan paham Siwa Sidhanta lebih menekankan pada arah beragama ke luar diri atau Prawrti Marga. Semua jalan tersebut sebenarnya untuk menuju Tuhan yang satu.
Dewa Wisnu sendiri dalam dimensi teologis merupakan personifikasi Tuhan, kemudian mengambil wujud (Sagunam), dan memiliki atribut. Dewa Wisnu adalah disimbolisasikan sebagai dewa air, sesuai dengan nama Wisnu yang berarti meresapi. Air secara maknawi dapat dikatan sebagai pembawa kehidupan bagi semua makhkluk. Tumbuhan tidak akan dapat hidup tanpa air, demikian pula manusia dan makhluk hidup lainnya. Oleh karena air demikian pentingnya, maka Hindu meyakini air adalah Dewa Wisnu sendiri sebagai pemelihara alam semesta dengan segala isinya. Air sumber kehidupan dan sumber tanaga, sehingga alam dan beserta isinya dapat hidup, dan hal tersebut diungkap dalam sloka berikut:
Annad bhavanti bhutani parjanyad anna-sambhavah, Yajnad bhavati parjanyo yajnah karma-samudbhavah.
(Bhagavadgita. III.14)
Terjemahan:
Dari makananlah munculnya makhluk hidup ini, dan makanan muncul dari air hujan; dan air hujan terjadi karena adanya pengorbanan dan pengorbanan datangnya dari kegiatan kerja (Maswinara, 1999: 213).
Merujuk pada sloka dalam Bhagavadgita tersebut di atas, menyiratkan bahwa ada sebuah sinergisme tentang makanan, air hujan dan pengorbanan. Jadi, keberadaan Pura Gelap dapat mensinergikan hal tersebut, sehingga keteraturan even kosmik dapat terwujud. Dewa Wisnu dipuja dengan pengorbanan, sehingga kesuburan terjadi, dan kesuburan terwujud jika air hujan turun.
Teologis Siwaistik atau Siwa Sidhanta di Bali menempatkan Dewa Wisnu dalam konsep Dewata Nawa Sanga, yaitu pada arah utara dan penjaga Bhuwana Agung bagian utara. Secara implisit teologis Siwaistik Hindu di Bali menempatkan para dewa pada seluruh arah mata angin. Para dewa memiliki atribut masing-masing, dan setiap dewa memberikan perlindungan pada seluruh alam semesta. Sebagai sumbu atau titik center, yaitu Dewa Siwa sebagai dewa yang utama. Dewa Siwa termanifes menjadi sarwa dewata untuk menjaga keseimbangan kosmik dari berbagai arah, dengan kata lain semua adalah Siwa dan Siwa semua itu. Konsep tersebut menyiratkan bahwa Tuhan atau Sang Hyang Siwa adalah meliputi segalanya, dan ada dimana-mana. Veda meyatakan hal tersebut dengan indah dalam bait mantram berikut:
Yas tisthati carati yasca vancati yo nilayam carati yah prantakam,
Dvau samnisadya yanmantrayate raja tad veda varunas trtiyah.
(Atharvaveda. IV. 16. 2)
Terjemahan:
Mereka berdiri atau berjalan atau bergerak secara rahasia, yang mau tidur dan hendak bangun; Apa yang sedang dibisikan oleh dua orang yang sedang duduk bersama; semua itu Tuhan, sang Raja, ketahuilah: Ia adalah sebagai orang ketiga yang hadir di sana (Bose,2000: 126).
Bait mantram dalam Atharvaveda di atas di kutip oleh Sri Arubindho dengan pernyataan bahwa Tuhan adalah berada dimana-mana. Saat berdua Tuhan ketiga, saat sendiri Tuhan yang kedua dan saat tidak ada sesuatu apapun, Tuhan yang ada. Pemujaan terhadap Dewa Wisnu di Pura Batu Madeg hendaknya dapat memunculkan spirit dalam diri guna membangkitkan sifat ketuhanan dalam diri umat, demikian pula sebagai media yang inspiratif untuk menumbuhkan kesadaran umat Hindu akan Tuhan yang meliputi segalanya.
Pura Batu Madeg selain dapat dimaknai dari perspektif teologi, pura Batu Madeg dapat pula dimaknai dari sisi sosial, estetika dan makna lainnya. Makna sosial dari Pura Batu Madeg sendiri tidak dapat dipisahkan dari perkembangan teologis historis yang mewarnai dua paham atau sekte, yaitu Siwa Sidhanta dengan Siwa Pasupata. Menurut penuturan Jero Mangku Darma (Wawancara, 8 Oktober 2012), menguraikan bahwa dua paham ini seiring perkembangannya tidak pernah terjadi benturan atau pertentangan, dan dua paksa atau paham tersebut berasimilasi, sehingga saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Hal tersebut dapat dijadikan sebuah renungan oleh umat Hindu dewasa ini. Begitu bijaksananya leluhur terdahulu menghormati perbedaan, dan spirit ini hendaknya dapat memberikan insfirasi bagi umat Hindu untuk saling menghormati keberagaman. Eksistensi dari pura Batu Madeg ini seyogyanya dapat memberikan kesan kepada umat Hindu untuk dapat meningkatkan rasa kekeluargaan dan solidaritas sosial yang berlandaskan pada nilai ajaran agama Hindu.
Makna estetika atau keindahan Pura Batu Madeg terletak pada struktur bangunan fisik pura. Bangunan fisik dihiasi dengan ragam ornamen khas Bali yang memunculkan makna estetik kelas tinggi. Makna estetika tidak saja dapat dimaknai sebagai keindahan dalam wujud imanensi, akan tetapi dapat dimaknai dari sisi transenden (Narayana, 2010: 9). Dari wujud imanen, sudah tentu bangunan fisik pura menawarkan keindahan, akan tetapi dari sisi transenden, keindahan tersebut dapat memunculkan spirit kedewataan. Spirit kedewataan ini akan dapat mentransformasi diri untuk dapat dapat menjadi lebih baik. Berada di areal Pura Batu Madeg spirit tersebut dapat dirasakan, dan vibarsi positif sudah muncul, sehingga makna estetika dari sisi tarancenden akan dapat membangun benteng rohani dalam diri.