Dalam kehidupan ini kita semua memiliki masalah-masalah. Ada banyak sekali ragam dan jenis masalah-masalah yang kita hadapi dalam perjalanan kehidupan. Tujuan utama setiap manusia terlahir ke alam marcapada ini adalah untuk belajar, berjuang dan berproses untuk menyempurnakan kembali kesadaran Atman.
Menyadari semua bentuk kebahagiaan dari luar seperti itulah yang menjadi bahan perenungan bagi kita semua, untuk belajar menemukan kedamaian sejati yang tersedia berlimpah di dalam diri.
Intisari terdalam semua mahluk adalah kesadaran Atman. Sayangnya, ketidaktahuan dan kebodohan [avidya] membuat nyaris semua mahluk mengidentikkan dirinya dengan lapisan-lapisan pembungkus luar Atman yaitu tubuh fisik, pikiran dan perasaan. Melalui pelaksanaan sadhana spiritual. Kita sedang diajak membuka lapisan-lapisan pembungkus luar Atman yaitu tubuh fisik, pikiran dan perasaan, untuk kemudian menyadari intisari sejati semua mahluk yaitu kesadaran Atman.
Di dalam berbagai lapisan-lapisan tubuh, yang merupakan wahana bagi Atman di dalam mengarungi siklus samsara [siklus kelahiran kembali yang berulang-ulang]. Ini berarti bahwa sesungguhnya keberadaan diri kita sebagai manusia ini sangatlah kompleks, tidak hanya sebatas tubuh fisik, pikiran dan perasaan. Tidak sesederhana apa yang hanya bisa dilihat oleh mata biasa. Tidak sebatas apa yang bisa dicerap oleh indriya dan pikiran.
Jika kita menjalani kehidupan, tanpa disertai dengan upaya belajar, berjuang dan berproses untuk menyempurnakan kembali kesadaran Atman, maka akibatnya hidup kita akan menjadi tanpa arah, kesadaran kita akan terus meredup dalam kesengsaraan, serta ada kemungkinan kita akan mengalami kejatuhan spiritual.
Lautan kesengsaraan siklus samsara tiada terduga tidak bertepi. Jika kita manusia menyadari bahwa hidup itu sangat singkat, penuh ancaman bahaya dan kesengsaraan, kemudian bersedia bertobat dan bertekad untuk melatih diri di jalan dharma, dengan cara tekun melaksanakan Sadhana Spiritual, maka semua akan dapat mencapai kedamaian sejati dan kesempurnaan.
SADHANA SPIRITUAL
Melaksanakan sadhana berarti melaksanakan segala jenis upaya-upaya spiritual untuk meredakan kesinambungan pikiran-perasaan kita yang dicengkeram oleh sad ripu [enam kegelapan pikiran] dan ego [ahamkara], serta untuk mengembangkan sifat belas kasih dan penuh kebaikan. Melaksanakan segala jenis upaya-upaya spiritual dengan tujuan utama untuk membangunkan kembali kekuatan kesadaran Atman di dalam diri [pikiran-perasaan yang tidak lagi dicengkeram sadripu dan ahamkara, serta mekarnya kekuatan belas kasih dan kebaikan tidak terbatas].
Secara garis besar setidaknya ada 4 [empat] tujuan untuk melaksanakan sadhana, yaitu :
- Agar kita dapat selamat dari kejatuhan dalam kesengsaraan dan kegelapan pada siklus samsara.
- Agar kita dapat membangunkan kedamaian sejati di dalam diri.
- Agar kita dapat menciptakan kebaikan, keberkahan dan kedamaian bagi semua mahluk di alam semesta [Jagadhita].
- Agar kita dapat mencapai tujuan utama dari samsara, yaitu mencapai Moksha [kemanunggalan kosmik] dan terbebaskan dari siklus samsara.
Perjalanan spiritual merupakan sebuah perjuangan yang panjang. Jika kita sudah terus-menerus dan tekun melaksanakan praktek Shadana akan terdapat tanda-tanda mengenai sudah seberapa jauh tingkat kemajuan dan kemurnian kesadaran kita.
[ads]
Dimana untuk memudahkan pengertian, secara garis besar kita dapat membaginya menjadi 3 tingkatan.
Pertanda tingkat pertama [1]
Bahwa kemurnian kesadaran kita sudah mencapai tingkat pertama [1] adalah secara alami kita memiliki moralitas yang baik. Artinya, sekalipun pikiran-pikiran buruk kadang-kadang muncul, tapi secara alami dari dalam diri kita tidak tertarik untuk melakukan pelanggaran moral seperti selingkuh, menipu, korupsi, mencuri, memakai narkoba, membunuh, dsb-nya, bahkan sekalipun muncul godaan yang besar. Disini bedakan makna antara tidak tertarik dengan takut, karena berbeda. Takut itu karena takut masuk neraka, takut kena karma buruk, takut ditangkap polisi, takut dikucilkan masyarakat, dsb-nya. Sedangkan tidak tertarik itu berarti secara sangat alami dari dalam diri kita memang tidak tertarik. Selain itu, pertanda “dalam” lainnya adalah kita semakin berkurang melakukan penghakiman, baik kepada orang lain maupun kepada diri sendiri. Kita juga tidak lagi punya rasa iri hati atau sentimen, serta kita semakin jarang marah dan tidak puas, kalaupun masih muncul jangka waktunya tidak lama. Kita mudah memaafkan dan punya rasa pengertian.
Pertanda tingkat kedua [2]
Selain kita memiliki pertanda dalam pada tingkat pertama [1], kita juga secara alami kita penuh belas kasih dan kebaikan. Kita tidak mementingkan diri sendiri dan lebih mementingkan orang lain. Setiap kali bertemu orang selalu memikirkan apa penderitaan orang ini dan apa yang saya bisa lakukan untuk membantunya. Kita bahagia melihat orang lain bahagia. Serta kita memiliki kepekaan rasa dan keterhubungan. Artinya dalam perkataan dan perbuatan kita tidak hanya melihat dari sudut pandang diri kita sendiri saja, tapi kita juga memiliki pengertian dalam memahami sudut pandang orang lain. Selain itu, pertanda “dalam” lainnya adalah kita memiliki pikiran yang mudah istirahat, kita dapat merasa tenang dan damai terhadap semua pikiran dan perasan yang muncul. Kita tidak hanya tenang dan damai ketika muncul perasaan bahagia, tapi kita juga tenang dan damai [istirahat, disaksikan saja] ketika muncul perasaan sedih, galau atau bad mood. Kita tidak hanya tenang dan damai ketika muncul perasaan senang, tapi kita juga tenang dan damai [istirahat, disaksikan saja] ketika muncul perasaan marah dan tidak puas. Kita tidak hanya tenang dan damai ketika muncul pikiran baik, tapi kita juga tenang dan damai [istirahat, disaksikan saja] ketika muncul pikiran buruk. Dst-nya. Kita dapat melampaui semua bentuk-bentuk pikiran dan perasaan [istirahat dalam keheningan].
Pertanda tingkat ketiga [3], tidak lain adalah pencapaian kembali sempurnanya kesadaran Atman.
Akan tetapi hendaknya disadari, bahwa perjuangan membangunkan kembali kesadaran Atman adalah perjalanan yang panjang. Walaupun cengkeraman perasaan marah, tidak-puas, gelisah, iri hati, benci, takut, malu, sedih, bingung, dsb-nya, saat ini sudah banyak diredakan oleh ketekunan kita melaksanakan Sadhya-Sadhana, tapi suatu saat hal itu akan muncul lagi, muncul lagi dan lagi. Sehingga di jalan dharma yang terpenting bukanlah agar kita dapat secepatnya mencapai puncak kesadaran Atma yang tertinggi, tapi yang terpenting adalah ketekunan kita untuk melaksanakan berbagai praktek sadhana sepanjang perjalanan kehidupan.
Ketika kehidupan terasa penuh dengan riak-riak pikiran dan perasaan marah, tidak-puas, gelisah, iri hati, benci, takut, malu, sedih, bingung, dsb-nya, sadarilah bahwa semua itu bukan kenyataan diri kita yang sejati. Itu hanyalah sebatas wahana [kendaraan] sementara yang kita pinjam selama kita ada di alam marcapada ini. Kemunculannya kita saksikan saja dengan penuh belas kasih dan tanpa penghakiman sama sekali. Kenyataan diri kita yang sejati adalah kesadaran Atman.
Dalam kitab suci ajaran Tantra Shiwa [Vijnana Bhairawa Tantra], kesadaran Atman disimbolikkan sebagai langit biru. Pikiran-perasaan disimbolikkan sebagai awan-awan yang lewat di langit biru. Pikiran dan perasaan positif adalah awan putih yang lewat, sedangkan pikiran dan perasaan negatif adalah awan hitam yang lewat. Baik awan putih maupun awan hitam selalu bergantian datang dan pergi, datang dan pergi. Hanya lewat saja. Tidak pernah kekal. Sedangkan kesadaran Atman laksana langit biru sebagai saksi abadi yang tidak pernah berubah.
Mencapai Kesadaran Atman tidak berarti yang lewat di langit biru hanya awan-awan putih saja, karena hal itu tidak mungkin. Secara alami yang lewat bergantian di langit biru pasti adalah awan putih dan awan hitam. Mencapai kesadaran Atman berarti kesadaran kita sudah menjadi langit biru. Di langit biru awan jenis apapun akan lewat, tapi langit biru tetap sebagai saksi abadi yang tidak pernah berubah.
Kesadaran yang sudah mencapai Shanti, kesadaran yang sudah di depan gerbang Kesadaran Atman, itu sesungguhnya sangat sederhana. Yaitu pikiran yang “istirahat” disaat ini seperti apa adanya. Istirahat dari segala bentuk kontradiksi di dalam diri.
[ads]
Secara alami di dalam tubuh fisik, serta di dalam tubuh pikiran dan perasaan kita terdapat banyak kontradiksi dualitas. Baik melawan buruk, benar melawan salah, suci melawan kotor, bahagia melawan sengsara, untung melawan rugi, berani melawan takut, rasa lepas melawan rasa malu, agama melawan ilmu pengetahuan, damai melawan kacau, ekspresi diri melawan norma sosial, logika melawan rasa, menyenangkan melawan menyakitkan, pendapat saya benar melawan pendapat orang lain salah, dsb-nya. Serta tentu saja masih banyak sekali ada kontradiksi-kontradiksi lainnya di dalam diri kita.
Semakin keras kesadaran kita dicengkeram oleh kontradiksi-kontradiksi ini, apalagi jika kita nilai dan hakimi sebagai buruk atau salah, berdasarkan ajaran agama, norma sosial, atau pengetahuan, maka semakin ramailah konflik pertempuran di dalam diri.
Hampir semua kekacauan mental, kejiwaan dan kesadaran, berasal dari pertempuran kontradiksi di dalam diri. Setiap manusia yang mengidentikkan dirinya dengan lapisan-lapisan pembungkus luar Atman yaitu tubuh fisik, pikiran dan perasaan, semuanya akan mengalami guncangan dan kekacauan di dalam dirinya.
Lebih jauh dari itu, kebiasaan pikiran kita yang diguncang kontradiksi dualitas inilah yang menarik perjalanan Atman untuk kembali lagi dan kembali lagi ke alam samsara yang penuh kesengsaraan ini. Selain itu juga bahwa, hukum karma bekerja lebih keras pada manusia yang kesadarannya diguncang kontradiksi dualitas.
Sekalipun kita sudah mencapai kesadaran Atman yang sempurna, kita sebagai manusia pasti masih akan tetap menyimpan banyak kontradiksi di dalam diri. Baik melawan buruk, benar melawan salah, suci melawan kotor, bahagia melawan sengsara, untung melawan rugi, berani melawan takut, rasa lepas melawan rasa malu, agama melawan ilmu pengetahuan, damai melawan kacau, ekspresi diri melawan norma sosial, logika melawan rasa, menyenangkan melawan menyakitkan, pendapat saya benar melawan pendapat orang lain salah, dsb-nya. Serta di dalam diri kita berbagai jenis pikiran-perasaan apapun akan tetap muncul [damai, gelisah, marah, kacau, benar, salah, tenang, sedih, bahagia, takut, dsb-nya], sebagai bagian utuh dari diri kita. Semata-mata karena sifat alami tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita memang penuh kontradiksi.
Jika kita tekun melaksanakan Sadhya-Sadhana spiritual, maka pikiran dualistik [pikiran tanpa penghakiman] dan emosi-emosi negatif [kemarahan, ketidakpuasan, dsb-nya] dapat hilang untuk sementara waktu, tapi nanti hal itu akan muncul lagi, muncul lagi dan lagi. Pikiran dualistik dan emosi-emosi negatif tidak akan pernah dapat hilang sepenuhnya, disebabkan karena sifat alami tubuh fisik, pikiran dan perasaan kita memang penuh kontradiksi.
Bedanya pikiran tersadarkan tidak dicengkeram oleh berbagai kontradiksi yang muncul di dalam diri. Pikiran tersadarkan “istirahat” disaat ini seperti apa adanya. Istirahat dari segala kontradiksi yang muncul di dalam diri. Apapun bentuk kontradiksi yang muncul di dalam diri hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih. Istirahat.
Kesempurnaan kesadaran Atman bukanlah keadaan lenyapnya ketidaksempurnaan.
Kesempurnaan kesadaran adalah kemampuan untuk tersenyum penuh pengertian dan belas kasih yang sama, baik terhadap kesempurnaan maupun ketidaksempurnaan.
Pikiran hanya pikiran bukan diri kita. Perasaan hanya perasaan bukan diri kita. Gagasan hanya gagasan bukan diri kita. Kemunculan pikiran, perasaan dan gagasan hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih. Kemunculan segala kontradiksi-kontradiksi di dalam diri hanya disaksikan saja dengan senyuman penuh belas kasih. Istirahat.
Salah satu pertanda penting kesadaran yang sudah mencapai kedamaian, kesadaran yang sudah di depan gerbang Kesadaran Atman, adalah kita merasa tenang dan damai terhadap semua kontradiksi-kontradiksi yang muncul di dalam diri. Kemunculannya hanya disaksikan saja dengan tanpa penghakiman sama sekali. Pikiran yang Istirahat. Pertanda penting lainnya adalah secara alami kita memiliki hati yang penuh belas kasih. Secara alami kita penuh pengertian kepada orang lain, kita suka melakukan kebaikan dan kita suka memberikan pertolongan. Serta secara alami kita tidak tertarik untuk melakukan kejahatan dan pelanggaran dharma.
Di dalam pencapaian seperti ini, tidak berarti kita tidak melakukan apapun lagi. Justru sebaliknya. Dalam tugas-tugas kehidupan [swadharma] kita sama sekali tidak ada yang berubah, tetap mengerjakan tugas-tugas kehidupan kita seperti biasanya. Tidak ada yang berubah sama sekali. Yang berubah adalah kesadaran di dalam diri kita sendiri yang sudah terang bercahaya.
[bukusloka]