Bali menyimpan kekayaan budaya yang tiada dua, di antaranya seni lukis mazab Ubud dan Batuan yang menyimpan rahasia ulung tradisi dan semesta alamnya yang cantik. Lukisannya detail dan berlapis, memiliki nilai filosofi kehidupan bersahaja, seirama dengan ketekunan, setangguh akan keyakinan, indah dan puitis. Pokoknya unik dan menjadikan Bali kian romantik. Hal ini tentu menjadikan Bali sebagai salah satu pilar seni rupa Indonesia. Bahkan saat ini Kabupaten Gianyar, ditetapkan sebagai Kota Kerajinan Dunia oleh World Craft Council Asia Facific Region.
Warisan kekayaan budaya Bali yang tidak akan mampu terkalahkan oleh seni-seni terbaru. Tidak hanya seni rupa tetapi juga seni tari, seni musik dan nilai-nilai apapun yang menjadikan kita nyaman dan rindu akan anugerah keindahan.
Menjadi individu yang seutuhnya bukan harus kemudian menjauhkan dan membuat jarak sosial dengan yang lain, dan kolektivitas tidak serta merta membunuh karakter personal. Intinya menjadi manusia modern dan masa kini bukan berarti harus melupakan masa lalu.
Berdasarkan konsep kosmologi, seni rupa Bali telah memiliki alur perkembangan yang evolutif yang jejak-jejak genetika estetiknya dapat dilacak berasal dari tradisi Rerajahan, Sastra Modre, ikonik-Wayang dan Ornamen (ukiran). Tradisi rerajahan membawa kesadaran garis yang kuat, seniman Bali terbiasa dengan garis, gurat, sejak lahir bahkan masih dalam kandungan manusia Bali telah dirajah. Rajah tidak hanya mewujud fisik, tetapi juga kekuatan garis dan aksara yang mewujud dalam banten, mantra dan alunan suara kidung dan dentingan Genta Pinara.
Sehingga kesadaran itu telah mengendap jauh ke dalam menuju ketaksadaran dan kemudian menjadi otomatisme, inilah yang menjadikan seniman Bali ketika dia yakin maka goresan bentuk apapun dapat segera terwujud.
Rarajahan dan sastra seperti modre sejatinya juga adalah sarana untuk mengejawantahkan energi alam. Modre seperti hanya kaligrafi Jepang dan Cina, yang pada dasarnya adalah mengekspresikan kesadaran diri dalam merasakan alam, merasakan energi-energi kosmis. Rasa itulah yang kemudian diwujudkan melalui goresan. Garis adalah satu-satunya elemen dasariah yang menjadi penyebab lahirnya wujud. Tanpa garis niscaya tidak akan ada wujud, karena itulah garis dalam tradisi Bali menjadi elemen penting. Bukankah perumusan seni rupa secara modern akademis juga kemudian meletakkan garis menjadi elemen utama dasariah eksplorasi dan inovasi perwujudan seni rupa. Hal ini terbukti dengan diajarkannya Nirmana dan Drawing sebagai bagian dari kurikulum internasional pembelajaran seni rupa di pendidikan seni di seluruh dunia. Dalam pelajaran nirmana, siswa atau mahasiswa diajarkan memperkuat kesadaran garis dengan mengulang-ulang hingga menjadi otomatis.
Sementara wayang mendasari kesadaran naratif, atau pola bertutur pada seni rupa Bali. Sehingga seabstrak apapun karya seni lukis seniman modern Bali, kecenderungan naratif tidak pernah bisa ditanggalkan. Dalam tataran minimalis, narasi hadir dalam tatanan simbol dan ikon. Jadi menimbang posisi wayang sebagai dasar, seharusnya jangan dilihat dari ketradisionalan wujudnya semata, tetapi konsepsi dasar yang ada pada seni wayang seperti telah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Jika di Barat ornamen pernah ditentang oleh seniman modern bahkan dituduhkan sebagai prilaku primitif, barbar dan picisan sehingga muncul kredo “ornament is a crime” di Prancis. Namun pada kenyataannya kehidupan manusia sejatinya tak dapat dilepaskan dari kecenderungan menghias, adalah istilah “ornament of life” untuk menggambarkan bunga-bunga kehidupan. Di Bali sendiri ornamen dan seni menghias menjadi keniscayaan kehidupan religiositas dan kebudayaan, orang Bali tak pernah kuasa untuk tidak menghias hal-hal sekecil apapun. Bahkan sering kali berlebihan, lihatlah yadnya semua elemennya penuh dengan hiasan dari yang terkecil sampai yang gigantik. Begitu juga bangunan arsitektural penuh dengan ornamen, bangunan dan patung yang sudah penuh dengan hiasan misalnya pada hari-hari piodalan malah dihias lagi diisikan wastra dari kain. Kecenderungan menghias sudah mendarah daging di Bali, tapi bukankah itu adalah potensi, karena di sanalah kreativitas selalu bergulir tiada henti seperti lingkaran samsara.
Aspek-aspek itulah potensi seni rupa Bali, mendasari kreativitas namun karena begitu terbiasanya dan telah mendarah daging seniman Bali sering taksadar. Tidak menyadari dengan baik kekuatan dasarnya, dan terbawa arus yang tak menentu. Bagaikan terbawa arus gelombang air, sering kali baru sadar saat membentur sesuatu atau saat hampir tenggelam. Bukankah potensi dasar itulah yang menjadikan Bali unik dan menjadi stigma, namun stigma seringkali menghanyutkan membuat lupa. Sebagai insan kreatif, seniman adalah motor penggerak kebudayaan. Dengan kekhusukannya pada waktu, seniman harusnya dapat melihat kenyataan secara lebih jernih. Potensi kebudayaan Bali terutama dalam keseniannya inilah yang menjadi spirit dalam acara akbar ini, mengajak segenap insan kreatif menggali dan mengetengahkannya kehadapan masyarakat umum. Menyadarkan bahwa inilah kekayaan kebudayaan yang kita miliki bersama, dengan kekuatan inilah kita dapat membangun kesadaran dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan.