Kakawin, Kidung dan geguritan Bali merupakan cipta sastra tradisional Bali yang dibangun dalam bentuk tembang. Kedua cipta sastra ini sangat diminati untuk dikaji dan dibicarakan dalam berbagai kesempatan dan kepentingan. Dalam bidang penelitian, ribuan karya telah lahir dari para peneliti, baik peneliti asing maupun peneliti Indonesia.
Dalam kehidupan bermasyarakat sehari-hari, di Bali, kedua karya ini sering dinyanyikan dan juga diterjemahkan, diulas dan dikomentari terlebih lagi dalam aktivitas kelompok seniman yang disebut Pesantian. Mereka asik mencari kenikmatan dalam keestetisan yang tertuang dalam karya kakawin dan geguritan. Begitu pandainya para pengawi menuangkan kejeniusannya dalam berkarya sehingga sampai sekarang masih banyak diminati dan dimaknai.
Di samping estetisitas yang dimiliki oleh sastra kakawin dan geguritan tentunya ada konsep-konsep nilai budaya luhur yang terkandung di dalamnya. “Tri Hita Karana”. Inilah penyebabnya sastra kakawin dan geguritan tidak pernah kering dan tuntas untuk dibicarakan. Konsepsi nilai budaya Bali yang terkandung dalam sastra kakawin dan geguritan, beberapa di antaranya seperti; Keesaan Tuhan, etika berbahasa, perbuatan susila, kesederhanaan dan pembelajaran diri seumur. Tuhan merupakan kebenaran tertinggi pada dasarnya bersifat Esa atau Tunggal. Setiap orang yang berbeda keyakinan akan menyebut-Nya dengan nama lain. Kenyataan ini hendaknya dipahami dan diakui bersama. Bila ini tertanam dengan baik di dalam sanubari setiap orang, tentunya toleransi beragama, sikap saling menghormati antar umat beragama akan tercipta. Pada akhirnya akan melahirkan sikap solidaritas serta bertumbuhnya paham kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara. Manusia sebagai mahluk berbudaya, dalam berkomunikasi sehari-hari menggunakan bahasa sebagai medianya. Untuk menjaga hubungan yang harmonis dengan sesamanya, terutama dalam berbahasa diperlukan etika berbahasa.
Sastra kakawin dan geguritan Bali
sangat kaya akan hal ini. Perbuatan susila, konsep kesederhanaan dan belajar seumur hidup di dalam sastra kakawin dan geguritan, merupakan ajaran yang patut diteladani. Bila ini telah tertanam dan dimaknai dengan baik oleh seluruh Bali atau pun seluruh umat manusia, lalu diamalkan dalam kehidupan nyata sehari-hari, tentu peristiwa yang berbau “sara” hanya bersifat slogan saja.
Geguritan Suddhamala berisikan nilai ajaran Tattwa, Susila dan konsep pendidikan karakter yang dapat dipakai pedoman untuk membentuk suatu karakter manusia untuk mendapatkan pendidikan dan dapat mencapai kebahagiaan diri. Penceritaan Geguritan Suddhamala merupakan kisah dikutuknya Dewi Uma oleh Dewa Siwa untuk tinggal dilingkungan kuburan dan akan memiliki wajah yang sangat menyeramkan sampai ada yang mampu ... selengkapnya
BAGIAN I
BAGIAN II
BAGIAN III
Hindu berbicara banyak tentang surga dan neraka berbeda dari penjelasan agama lain. Surga dan neraka terkait erat dan terintegrasi dengan Karma. Cerita dalam beberapa purana banyak membahas tentang eskatologi ini. Salah satu teks yang banyak membicarakan perjalanan roh / atma adalah Lontar Tutur Atma prasangsa.
Karya Geguritan Atma Prasangsa secara deskripti ... selengkapnya
BAGIAN I
BAGIAN II
BAGIAN III
BAGIAN IV
Geguritan Bhima Swarga mengisahkan perjalanan Bhima untuk menyelamatkan orang tuanya yaitu Pandu dan Dewi Madri dari alam neraka sebagai penerapan ajaran Guru Susrusa yang dalam cerita pawayangan Bali disebut Bhima ke Swargan. Bhima yang menjalankan tugasnya diiringi oleh merdah dan Tualen yang sesampainya mereka di tegal penangsaran tempat para roh ... selengkapnya
I
prihantemen dharma dumeranang sarat
saraga sang sadhu sireka tutana
tan artha tan kama pidonya tan yasa
ya sakti sang sajana dharma raksasa
II
sakanikang rat kita yan wewenang manut
manupadesa prihatah rumaksa ya
ksaya nikang papa nahan prayojana
jananuragadi tuwin kapangguha
III
guwa peteng tang mada moha kasmala
maladiyolanya magong mahawisa
wisa ta sang wruh rikanang jurang ... selengkapnya
Geguritan Cangak merupakan karya besar (alm) I Gusti Putu Windya asal Banjar Pasar, Desa Yehembang, Kecamatan Mendoyo, Jembrana dan dipopulerkan maestro Geguritan Bali, (alm) I Dewa Aji Wanten asal Desa Yehembang, Mendoyo dan I Nyoman Rede, asal Desa Yehkuning Jembrana.
Teks Geguritan Cangak
Pupuh Ginada
“Bapa jani manuturang, apang cening jwa minehin, satwannya ya I Sang Cangak, ngeka daya mapisadhu, ... selengkapnya
Geguritan Tamtam memiliki struktur, seperti Pupuh, Plot, Penokohan, Tema, dan amanat serta juga memiliki nilai-nilai pendidikan Tattwa (filsafat) dan nilai pendidikan Etika (Tata susila). Nilai pendidikan Tattwa (filsafat) menekankan pada keyakinan terhadap Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa), keyakinan terhadap atma, keyakinan terhadap Karmaphala, keyakinan terhadap Samsara atau punarbhawa, dan keyakianan te ... selengkapnya
Geguritan I Lijah-Lijah adalah karya I Nyoman Antasa dari Banyning- Singaraja. Gaguritan ini ditulis pada tanggal 20 Februari 1978.
Teks Geguritan I Lijah-Lijah
Pupuh Sinom
Awighnam mastu karepang, Majeng ida dane sami, Meled titiange ngawinang, Kandugi purun mangawi, Ngawi kidung sekar alit, Tembang sinom anggen pupuh, Nuju tanggal kaping dasa, Bulan ipun Februari,
Tahun ipun, Siyusanga kantun lint ... selengkapnya
Kakawin Nirartha Prakreta ini ditemukan satu paket dengan Kakawin Nagarakretagama yang terkenal itu dengan Sugataparwa Warnana pada tahun 1894 di Puri Cakranegara, Lombok oleh J.L.A. Brandes. Ketiganya ~Nagarakretagama, Sugataparwa Warnnana dan Nirartha Prakretha adalah karya Dang Acharya Nadendra, pejabat Darmmadhyaksa Ring Kasogatan (Pembesar Agama Buddha) di Majapahit disaat jaman Prabhu Hayam Wuruk berk ... selengkapnya