Banyak tanda akan datangnya kematian seperti adanya umur tua, rambut yang sudah memutih, datangnya penyakit dan bahkan penyakit yang tak kunjung sembuh, berkurangnya gairah hidup dan sebagainya.
Untuk mengetahui tanda datangnya kematian secara mendalam sungguh sulit tetapi dalam Lontar Ganapati Tattwa sebagai pertanda akan datangnya kematian dituliskan lebih spesifik pada penginderaan seperti datangnya suara Ardhacandra Bindu Nada atau bunyi Om pada diri seseorang, dan diharapkan apabila sudah mendengar suara itu hendaknya jangan dikacaukan keadaan pikiran, tetapi segera mengambil sikap konsentrasi dan memusatkan pikiran kepada Tuhan dengan perantara mantra Triaksara yaitu Mang-Ung-Ang secara perlahan kemudian pemusatan kepada aksara Tunggal Om.
Cara melepaskan atma ketika kematian sedang menjemput dengan pertanda sudah terdengar bunyi ardhacandra bindu nada yaitu bunyi yang berdengung menguasai penginderaan, maka yang perlu dilakukan agar tercapai penyatuan dengan Paramasiwa menurut Lontar Ganapati Tattwa adalah ;
- Hilangkan kekacauan atau kebinggunggan dengan tetap ingat pada kesadaran diri.
- Ambil posisi yang enak kalau bisa duduk dengan sikap padmaasana
- Konsentrasi penuh tanpa bayangan dunia sekelilingnya, tanpa mengingat anak, istri harta dan sebagainya.
- Hati penuh kegembiraan dengan tidak memperhatikan unsur lain kecuali memusatkan pikiran pada kesatuan nafas.
- Tuntun perjalanan sang Roh dengan melalui ujung suara (sabda) meninggalkan sang diri melalui celah-celah pikiran (pikiran dipusatkan kepada sebutan aksara tunggal Om sebagai simbol Tuhan untuk mengalihkan segala kekacauan pikiran)
- Lepaskanlah kepergian sang Roh dengan tanpa pikiran lagi, antarlah roh itu dengan penuh kebahagiaan.
Langkah-langkah itulah yang paling tepat seperti yang tertuang dalam sloka berikut ini:
Mwah yan katekan ing kapatin, aja tan karasanana lunga nira, sanghyang Siwatma sah saking sarira,
aja weha dalan ana babahan sanga, ndya ta ngaran babahan sanga; ring luhur 7,
ring sor 2. kanistha dalan ika nga. Yan adalan ring siwadwara Madhya nga, kunang ikang marga uttama, dalan ira sanghyang
Siwatma, ring tungtung ing sabda, selaning hidep nga ri kaketeg, yan teka ring kalepasan, aja ngangen sarira dewek, mwang anak rabi mwah kasukhan, ikang
tiga atemah siji, ya ta tutakena marga tungtung ning sabda, selaning hidep. Iti kalepasan sang bhujanggasiwa, haywa wera rahasya dahat, tan siddha phalanya
(Ganapati Tattwa. Sloka. 51-53. bagian 5 halaman 20-21)
Terjemahan:
Jika tiba saatnya kematian, janganlah tiada dirasakan kepergian Sang Roh Yang Mempribradi tatkala terpisah dari Sang Diri. Janganlah Sang Roh diberi jalan keluar melalui 9 lubang. Mana yang disebut 9 lubang antara lain; diatas ada 7 jalan (mata = 2, telinga =2, hidung =2, mulut =1). Dibawah ada 2 jalan (kemaluan =1, dubur =1).
Kesembilan jalan itu disebut nista. Apabila sang Roh meninggalkan Sang Diri melalui Siwadwara (ubunubun) disebut jalan menengah. Sedangkan jalan utama apabila Sang Roh melalui ujung suara (sabda) meninggalkan Sang Diri yaitu melalui celah-celah pikiran. Artinya pada denyutan jantung. Apabila saat terpisahnya Sang Roh dari Sang Diri janganlah pikirkan badanmu lagi, jangan ingat anak istri dan jangan pikirkan kemewahan dunia, ketiganya (Sanghyang Siwa, Sanghyang Pramana, dan Sanghyang Jnana) pusatkan jadikan satu arah, ikutilah jalan ujung suara yaitu celah-celah pikiran itu. Inilah kebebasan Sang Roh Yang Mempribadi menuju Dia Sang Roh Yang Maha Agung Sang Bujangga dan Siwa. Janganlah hal ini disebarkan, karena sangat rahasia, karena tidak akan berhasil jadinya.
Sebelum melakukan pelepaskan perlu juga diketahui mantra pemisahnya agar tidak keliru memilih jalan kalepasan dengan menghapal secara benar Triaksara (Am-Um-Mam), mantra Triaksara itu bukan mantra kalepasan, sebab jika mantra kalepasan itu ditulis dan dibaca oleh orang maka baik yang menulis maupun yang membaca akan mengalami kalepasan pula.
Mantra triaksara itu banyak ragamnya tergantung memulainya, jika pengucapanya dimulai dengan Mang-Ung-Ang itu artinya sebagai simbol adanya kelahiran, jika diucapkan Ang-Ung-Mang sebagai simbol aktivitas kehidupan dan jika diucapkan Ung-Mang-Ang maka mantra itu berguna sebagai stiti atau pemeliharaan.
Terlepas dari hal itu jika Triaksara jika diucapkan secara bersama tanpa penggalan akan berbunyi AUM dan seterusnya menjadi OM, hal ini jika dikaitkan dengan pesan yang tertulis dalam Bhagavadgita sangat sesuai dengan sloka 13 adyaya VIII yaitu;
Om ity ekaksaram brahma
Vyaharam mam anusmaran
Yah prayati tyajan deham
Sa yati paramam gatim
Terjemahan:
Dengan mengucapkan aksara tunggal Om, yaitu Brahman, dan memikirkan selalu Aku sewaktu ajal tiba akan meninggalkan badan jasmani, ia akan berangkat mencapai tujuan tertinggi.
Sedangkan dalam Lontar Ganapati Tattwa Triaksara disebutkan sebagai mantra pemisah antara badan dan Atma seperti dipaparkan pada sloka berikut:
nadi calana margas ca punarbhava iti smrtah, marga calana nadi muktah paramakewalah.
Sina jnanatrayam jagrat tathaiva calana nadhi, Jnanatrayam susuptaye nadi calanam bhavet.
Sadasivasya yo margah nadicalana-samsmrtam Marga-calana-nadi paramasya mi samsmrtah.
Iti sanghyang sadubhranti kamoktan, sanghyang wyudbhranti kapunarbhawan,
ndan hana ta mantra pamegat ri sira, tryaksara sahita krama nira, yapwan atejeg denta lumaksana ika,
kapangguh sanghyang sadubhranti, yapwan singsal sanghyang wyudbhranti katemu. Kunang akweh
paratengeranya, tunggal pradhanaken, ndya ta lwirnya, yan mangrenggo kita sabda ning ardhacandra
bindunada, mangke tekaning patinta, haywa ta kapalan dentanggege, kanistrsnanta, saha sandhi sakramanya,
kunci ri wit ning nadi ikang ineban mwang ikang sarwa dwara, saha wayu dharana, ya pranayama nga, sikep
kanirjnananta, haywa wyapara, yapwan ahenak denta, samangkana ta sanghyang atma mesat, maka
marga sanghyang pranawa anerus tekeng dwadasangulasthana, sira ta sinangguh niskala, pada
Bhatara Paramasiwa ika, mesat pwa sira sakeng rika, ya ta kamoksan nga
(Ganapati Tattwa. Sloka. 45,46,47 halaman. 16-17)
Terjemahan:
Keberadaan Sanghyang Sadhubbranti Kalepasan, Sanghyang Wyudbhranti disuruh menjelma kedunia, kemudian ada mantra pemisahnya. Hendaknya Tri Aksara (Mang-Ung-Ang) itu
teguh dilaksanakan olehmu (pasti) dicapai Sanghyang Sadhubhranti, janganlah keliru (pasti) Sanhyang Wyudbhranti ketemu. Banyak pertandanya, tetapi satu maksudnya umpamanya: apabila engkau mendengar suara Ardhacandra Bindu Nada sekaranglah tiba saatnya kematianmu, janganlah engkau ragu-ragu, lepaskanlah segala kesetiaanmu dan hubungan dengan keluargamu lalu tutup pangkal nadi (pangkal peredaran darah), ineban (kerongkongan) dan semua lubang yang ada pada badan sambil melakukan pemusatan batin, dan pengaturan nafas artinya tutuplah pikiranmu. Janganlah berbuat sesuatu, apabila baik olehmu melaksanakan, maka Sang Roh yang bersemayam pada dirimu akan meninggalkan badanmu. Sebagai jalan
Sanghyang Pranawa (Sang Roh Yang Mempribadi=Atma) menuju Dwadasanggulasthana (tempat yang terletak jauh diatas 12 (jari) tingkatan, yang disebut tempat tak terlihat (niskala), tempat Bhatara Paramasiwa. Terbanglah ia Sang Roh Yang Mempribadi dari sana (Sang Diri) itulah yang disebut Moksa.
Yang perlu diketahui selanjutnya bahwa perjalanan Roh setelah terlepas dari badan akan terbang dari sunia yang terletak duabelasjari diatas kepala menuju Paramasiwatattwa. Sehubungan
dengan adanya alam sunia yang terletak duabelasjari diatas kepala, ada tradisi bahwa seseorang yang sudah melakukan pawintenan ataupun diksa tidak diperkenankan mesluluban atau berjalan dibawah benda atau rintangan yang jaraknya duabelas jari dari atas kepala sampai ke kepala, tetapi jika rintangan atau penghalang itu sudah berada diatas duabelas jari, maka seseorang bisa melewatinya dengan mengetahui benar penuh kesadaran, agar kesucian tetap terjaga, artinya hubungan sekala dan niskala selalu harmonis bagi orang yang sudah disucikan, karena selalu berhubungan antara badan dengan alamnya paramasiwa.
Tempat paramasiwa dalam Lontar Ganapati Tattwa seperti dijelaskan pada sloka berikut:
Dvadasangulasamsthanad vimuktah paramah Sivah,
sunyam eva parm khyatam jnatavyo moksas ca tatah.
Anantara ri huwus niran mukta sakeng
dwadasangulasthana, sayogya ta sanghyang atma matemahan
Paramasiwatattwa, mari matemahan atma, apa ta lwir
niran mangkana, sunya kawalya, ya malwi paramasunya, ya ta
matangnyan kawruhakena kramanya de sang mahyun ing kamoksan, nahan
sadhanung kapanggiha sanghyang Mahajnana.
Terjemahan:
Tak lama kemudian setelah Sang Roh Yang Mempribadi terbang dari Dwadasanggulasthana, patutlah Sang Roh Yang
Mempribadi menjadi Paramasiwatattwa, kembali sebagai Roh (Roh Yang Maha Agung), apa sebabnya demikian? Yang berasal dari Sunya akan kembali pada Paramasunya. Itulah sebabnya ketahuilah kelakuan itu oleh yang ingin mencapai kebebasan. Itulah sarananya untuk memperoleh pengetahuan Utama Perjalanan Roh ketika keluar dari diri akan menuju alam sunia yang terletak duabelas jari diatas kepala dan selanjutnya menuju Paramasiwa Tuhan yang tak berpribadi dari sunya kembali ke Paramasunya.