Mewujudkan kesejahteraan lahir batin atau Jagadhita dan moksha merupakan tujuan agama Hindu. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, umat Hindu wajib mewujudkan empat tujuan hidup yang disebut Catur Purusartha atau Catur Warga yaitu dharma, artha, kama dan moksha.
Empat tujuan hidup ini telah dijelaskan dalam Brahma Sutra, 228, 45 dan Sarasamuscaya 135. Menurut agama, tujuan hidup dapat diwujudkan berdasarkan yajña. Tuhan (Prajapati), manusia (praja) dan alam (kamadhuk) adalah tiga unsur yang selalu berhubungan berdasarkan yajña.
Hal ini tersirat dalam makna Bhagavadgita III, 10: manusia harus beryajña kepada Tuhan, kepada alam lingkungan dan beryajña kepada sesama.
Tawur kesanga menurut petunjuk lontar Sang-hyang Aji Swamandala adalah termasuk upacara Butha Yajña. Yajña ini dilangsungkan manusia dengan tujuan membuat kesejahteraan alam lingkungan.
Dalam Bhagavadgita III, 14 disebutkan,
karena makanan, makhluk hidup menjelma, karena hujan tumbuhlah makanan, karena persembahan (yajña) turunlah hujan, dan yajña lahir karena kerja.
Dalam kenyataannya, kita bisa melihat sendiri, binatang hidup dari tumbuh-tumbuhan, manusia mendapatkan makanan dari tumbuh-tumbuhan dan binatang.
Dengan demikian jelaslah, tujuan Butha Yajña melestarikan lingkungan hidup, yaitu Panca Maha Butha dan sarwaprani.
Upacara Butha Yajña pada tilem kasanga bertujuan memotivasi umat Hindu secara ritual untuk senantiasa melestarikan alam lingkungan. Pada saat upacara Tawur Kesanga, upacara dipimpin oleh tiga pendeta yang disebut Tri Sadaka. Beliau menyucikan secara spiritual tiga alam ini: Bhur Loka, Bhuwah Loka dan Swah Loka. Sebelum dilaksanakan Tawur Kesanga, dilangsungkanlah upacara Melasti atau Melis.
Pelaksanaan Hari Raya Nyepi
Upacara Melasti dilakukan antara empat atau tiga hari sebelum Nyepi. Di Bali umat Hindu melaksanakan upacara Melasti dengan mengusung pralingga atau pratima Ida Bhatara dan segala perlengkapannya dengan hati tulus ikhlas, tertib dan hidmat menuju samudra atau mata air lainnya yang dianggap suci.
Upacara dilaksanakan dengan melakukan persembahyangan bersama menghadap laut. Setelah upacara Melasti usai dilakukan, pratima dan segala perlengkapannya diusung ke Balai Agung di Pura Desa.
Sebelum Ngrupuk atau mabuu-buu, dilakukan nyejer dan selama itu umat melakukan persembahyangan. Upacara Melasti ini jika diperhatikan identik dengan upacara Nagasankirtan di India.
Dalam upacara Melasti, pratima yang merupakan lambang wahana Ida Bhatara, diusung keliling desa menuju laut dengan tujuan agar kesucian pratima itu dapat menyucikan desa. Sedang upacara Nagasankirtan di India, umat Hindu berkeliling desa, mengidungkan nama-nama Tuhan (Namas-maranam) untuk menyucikan desa yang dilaluinya.
Tujuan Upacara Melasti
Tujuan dari upacara ini adalah untuk penyucian diri. Dalam upacara Melasti menurut Lontar Sunarigama dan Sang Hyang Aji Swamandala ada empat hal yang dipesankan dalam upacara Melasti tersebut.
- Pertama untuk mengingatkan umat agar meningkatkan terus baktinya kepada Tuhan (ngiring parwatek dewata).
- Kedua peningkatan bakti itu untuk membangun kepedulian agar dengan aktif melakukan pengentasan penderitaan hidup bersama dalam masyarakat (anganyutaken laraning jagat).
- Ketiga untuk membangun sikap hidup yang peduli dengan penderitaan hidup bersama itu harus melakukan upaya untuk menguatkan diri dengan membersihkan kekotoran rohani diri sendiri (anganyut aken papa klesa).
- Keempat dengan bersama-sama menjaga kelestarian alam ini (anganyut aken letuhan bhuwana).
Dengan melakukan empat hal itu barulah manusia berhak mendapatkan sari-sari kehidupan di bumi ini (amet sarining amerta ring telenging segara). Kalau eksistensi cuaca teratur sesuai dengan hukum Rta maka laut akan senantiasa berproses menciptakan mendung. Dari mendung itulah akan turun hujan. Hujan yang turun itu kalau disambut di muka bumi ini oleh ibu pertiwi dengan hutannya yang memadai maka kebutuhan air untuk berbagai keperluan hidup akan senantiasa teratur keberadaannya. Dalam Bhagawad Gita III.14 dinyatakan bahwa air hujan itu adalah Yadnya alam kepada semua makhluk penghuni bumi ini.
Dalam rangkaian Nyepi di Bali, upacara yang dilakukan berda-sarkan wilayah adalah sebagai berikut:
Di ibukota provinsi dilaku-kan upacara tawur. Di tingkat kabupaten dilakukan upacara Panca Kelud. Di tingkat kecamatan dilakukan upacara Panca Sanak. Di tingkat desa dilakukan upacara Panca Sata. Dan di tingkat banjar dilakukan upacara Ekasata.
Sedangkan di masing-masing rumah tangga, upacara dilakukan di natar merajan (sanggah). Di situ umat menghaturkan segehan Panca Warna 9 tanding, segehan nasi sasah 100 tanding.
Sedangkan di pintu masuk halaman rumah, dipancangkanlah sanggah cucuk (terbuat dari bambu) dan di situ umat menghaturkan banten daksina, ajuman, peras, dandanan, tumpeng ketan sesayut, penyeneng jangan-jangan serta perlengkapannya. Pada sanggah cucuk digantungkan ketipat kelan (ketupat 6 buah), sujang berisi arak tuak.
Di bawah sanggah cucuk umat menghaturkan segehan agung asoroh, segehan manca warna 9 tanding dengan olahan ayam burumbun dan tetabuhan arak, berem, tuak dan air tawar. Setelah usai menghaturkan pecaruan, semua anggota keluarga, kecuali yang belum tanggal gigi atau semasih bayi, melakukan upacara byakala prayascita dan natab sesayut pamyakala lara malaradan di halaman rumah.
Upacara Bhuta Yajña di tingkat provinsi, kabupaten dan kecamatan, dilaksanakan pada tengah hari sekitar pukul 11.00 – 12.00 (kala tepet). Sedangkan di tingkat desa, banjar dan rumah tangga dilaksanakan pada saat sandhyakala (sore hari). Upacara di tingkat rumah angga, yaitu melakukan upacara mecaru.
Setelah mecaru dilanjutkan dengan ngrupuk pada saat sandhyakala, lalu mengelilingi rumah membawa obor, menaburkan nasi tawur. Sedangkan untuk di tingkat desa dan banjar, umat mengelilingi wilayah desa atau banjar tiga kali dengan membawa obor dan alat bunyi-bunyian.
Sejak tahun 1980-an, umat mengusung ogoh-ogoh yaitu patung raksasa. Ogoh-ogoh yang dibiayai dengan uang iuran warga itu kemudian dibakar. Pembakaran ogoh-ogoh ini meru-pakan lambang nyomia atau menetralisir Bhuta Kala, yaitu unsur-unsur kekuatan jahat.
Ogoh-ogoh sebetulnya tidak memiliki hubungan langsung dengan upacara Hari Raya Nyepi. Patung yang dibuat dengan bam-bu, kertas, kain dan benda-benda yang sederhana itu merupakan kreativitas dan spontanitas masyrakat yang murni sebagai cetusan rasa semarak untuk memeriahkan upacara ngrupuk.
Karena tidak ada hubungannya secara langsung dengan Hari Raya Nyepi, maka jelaslah ogoh-ogoh itu tidak mutlak ada dalam upacara tersebut. Namun benda itu tetap boleh dibuat sebagai pelengkap kemeriahan upacara dan bentuknya agar disesuaikan, misalnya berupa raksasa yang melambangkan Bhuta Kala. Karena bukan sarana upacara, ogoh-ogoh itu diarak setelah upacara pokok selesai serta tidak mengganggu ketertiban dan kea-manan. Karya seni itu dibuat agar memiliki tujuan yang jelas dan pasti, yaitu memeriahkan atau mengagungkan upacara.
Rangkaian Hari Raya Nyepi di luar Bali dilaksanakan berdasarkan desa, kala, patra dengan tetap memperhatikan tujuan utama.
Brata penyepian telah dirumuskan kembali oleh Parisada menjadi Catur Barata Penyepian yaitu:
1. Amati Geni
Amati geni mempunyai makna ganda yaitu tidak melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan menghidupkan api. Disamping itu juga merupakan upaya mengendalikan sikap prilaku agar tidak dipengaruhi oleh api amarah (kroda) dan loba (serakah). Menurut Tattwa Hindu (filsafat) yang memaknai simbol Geni tidak disimbolkan sebagai kekuatan dewa Brahma yang sebagai pencipta. Penciptaan yang terkait dengan hasil pemikiran seseorang disini perlunya diadakan perenungan, apakah kita sudah menghasilkan pemikiran untuk kebaikan umat ataukah sebaliknya. Pernyataan tersebut terungkap dalam berbagai Pustaka Suci Hindu yang mengatakan bahwa “Keunggulan manusia sebagai mahiuk ciptaan Tuhan, terletak pada proses pemikiran seseorang yang dapat membedakan sikap prilaku yang baik dan buruk (Sarasamuscaya : sloka 82). Alat kendali proses berpikir yang paling utama menurut ajaran Hindu adalah keyakinan terhadap karma phala (Sarasamuscaya, sloka 74). Mengacu pada etika Berata Penyepian di atas sudah nampakpelaksanaan amati Geni merupakan suatu simbol pengendalian diri seseorang dalam bersikap dan berprilaku.
2. Amati Lelanguan
Amati Lelanguan yang dimaksud merupakan kegiatan seseorang untuk mulat sarira atau rnawas diri terhadap kegiatan yang berkaitan dengan wacika. Wacika adalah perkataan yang benar yang dalam beriteraksi dengan sesamanya maupun dengan Tuhan sudah dilaksanakan atau belum. Menurut tattwa Hindu dalam pustaka suci yang terungkap dalam Sarasamuscaya dan Kekawin nitisastra mengajarkan sebagai berikut :
(1) kata-kata menyebabkan sukses dalam hidup;
(2) kata-kata menyebabkan orang gagal dalam hidup;
(3) kata-kata menyebabkan orang mendapat hasil sebagai sumbu kehidupan; dan
(4) kata-kata menyebabkan orang memiliki relasi. Mengacu pada pemikiran diatas manusia Hindu telah diajarkan agar tetap melaksanakan wacika yang diparisudha yang antinya:
(a) proses interaksi sosial (komunikasi) tidak boleh berkata kasar,
(b) mencaci maki dan juga tidak boleh menyebabkan orang tersinggung dan menderita (Sarasamuscaya; Sloka 75),
Uraian di atas memberikan kita suatu pelajaran bahwa perkataan (wacika) yang diparisudha itulah yang patut dipahami dan menata sikap prilaku seseorang agar hidup ini aman dan bahagia.
3. Amati Karya
Amati Karya sebagai etika Nyepi yang bermaknakan sebagai evoluasi diri dalam kaitan dengan karya (kerja) merenung hasil kerja dalam setahun dan sebelumnya sudahkah bermanfaat bagi kehidupan manusia. Aktualisasi amati karya dalam konteks hari raya merupakan perenungan pikiran yang religius yang mengajarkan umat Hindu dalam evaluasi hasil kerja sebagai berikut, yaitu sisihkan hasil kerja untuk yadnya,
- untuk Hyang Widhi,
- untuk Resi,
- untuk Leluhur maupun
- untuk budhi.
Hal tersebut tertera dalam pustaka suci Atharwa weda III.24. 5 dan Sarasamuscaya Sloka 262, yadnya itu juga merupakan implementasi dari ajaran Tri Rna. Diajarkan pula melalui yadnya dapat terjadi proses penyucian diri manusia baik secara rohani maupun jasmani.
Amati karya bermakna ganda yang artinya tidak bekerja dan dimaknai sebagai kesempatan untuk mengevaluasi kerja kita apakah aktivitas kerja itu sudah berlandaskan dharma atau sebaliknya. Kerja yang baik (subha karma) dapat menolong manusia untuk menolong dirinya dari penderitaan. Kerja juga menyebabkan terjadinya Jagadhita dan merupakan tabungan moral bagi umat Hindu agar bekerja lebih gigih, tekun dan produktif. Berdasarkan uraian diatas ajaran suci Hindu memandang bahwa kerja sebagai yadnya dan titah Hyang Widhi; kerja dapat menolong diri sendiri dan kerja dapat menentukan identitasnya Aku bekerja, maka aku ada demikianlah yang diamanatkan oleh umat Hindu.
4. Amati Lelungaan
Amati lelungaan merupakan salah satu dari empat berata Penyepian yang berfungsi sebagai evaluasi diri dan sebagai sumber pengendalian diri. Amati lelungaan berarti menghentikan bepergian ke luar rumah, maka pada saat hari raya Nyepi, jalan raya sangat sepi. Dalam konteks yang lebih luas hal itu berarti suatu evaluasi diri. Evaluasi kerja hubungan dengan Tuhan; evaluasi kerja hubungan dengan sesama dan hubungan kerja dengan alam sekitar apakah hubungan tersebut sudah baik atau belum, sehingga kita dapat menilai hasil kerja kita se-obyektif mungkin. Mutu meningkat untuk kebaikan atau merosot, langkah selanjutnya bisa menentukan sikap. Diharapkan agar lebih memantapkan kualitas kerja untuk kualitas hidup manusia.
Pada prinsipnya, saat Nyepi, panca indria kita diredakan dengan kekuatan manah dan budhi. Meredakan nafsu indria itu dapat menumbuhkan kebahagiaan yang dinamis sehingga kualitas hidup kita semakin meningkat.
Bagi umat yang memiliki kemampuan yang khusus, mereka melakukan tapa yoga brata samadhi pada saat Nyepi itu. Yang terpenting, Nyepi dirayakan dengan kembali melihat diri dengan pandangan yang jernih dan daya nalar yang tiggi.
Hal tersebut akan dapat melahirkan sikap untuk mengoreksi diri dengan melepaskan segala sesuatu yang tidak baik dan memulai hidup suci, hening menuju jalan yang benar atau dharma. Untuk melak-sanakan Nyepi yang benar-benar spritual, yaitu dengan melakukan upawasa, mona, dhyana dan arcana.
Upawasa artinya dengan niat suci melakukan puasa, tidak makan dan minum selama 24 jam agar menjadi suci. Kata upawasa dalam Bahasa Sanskerta artinya kembali suci. Mona artinya berdiam diri, tidak bicara sama sekali selama 24 jam. Dhyana, yaitu melakukan pemusatan pikiran pada nama Tuhan untuk mencapai keheningan. Arcana, yaitu melakukan persembahyangan seperti biasa di tempat suci atau tempat pemujaan keluarga di rumah.
Pelaksanaan Nyepi seperti itu tentunya harus dilaksana-kan dengan niat yang kuat, tulus ikhlas dan tidak didorong oleh ambisi-ambisi tertentu. Jangan sampai dipaksa atau ada perasaan terpaksa. Tujuan mencapai kebebesan rohani itu memang juga suatu ikatan. Namun ikatan itu dilakukan dengan penuh keikh-lasan.