Masyarakat Bali dalam menghayati penyamabrayan mengibaratkan bahwa kehidupan sosial yang plural dalam relasinya itu ibarat sebuah pohon:
bahwa akar pohon diibaratkan adalah Tat Twam Asi (Aku adalah Kamu: manusia pada hakekatnya adalah satu),
batangnya adalah vasudewam khutumbhakam (kita semua adalah keluarga),
menyama braya adalah cabangnya, sedangkan daun, bunga dan buah adalah kerukunan.
Hanya dengan memiliki pemahaman atau pengakuan bahwa kita semua manusia pada hakekatnya adalah satu (aku adalah kamu: Tat Twam Asi), sebagai satu keluarga, saudara bersaudara akan menghasilkan kerukunan dan kedamaian. Dengan perkatan lain, hanya dengan pohon yang akar, batang, cabang dan dahannya kuat dapat memberikan kerindangan dan keindahan yang kokoh, apalagi jika buahnya lezat seperti pohon mangga, durian, atau rambutan. Di antara masyarakat Bali yang plural agama, budaya dan etnis bila saling menghargai, saling memahami, dan saling mengasihi, dan saling menolong oleh karena pada hakekatnya kita adalah satu (keluarga/saudara) pastilah akan menumbuhkan dan membuahkan integrasi, sehingga apa pun perbedaan yang ada tidak dapat menjadi alasan untuk meniadakan rasa kekeluargaan, persudaraan, dan integrasi atau sebaliknya menumbuhkan disharmoni atau disintegrasi.
Secara prinsip pemahaman masyarakat Bali dalam dinamikanya tentang menyama braya tidak pernah lekang di makan waktu dan tidak pernah usang di makan zaman. Akan tetapi seiring dengan perjalanan sang waktu dalam prakteknya menyama braya pada masyarakat Bali, telah mengalami perubahan dan penyempitan arti, misalnya dari nyama (menunjukkan kedekatan) menjadi jelema (menunjukkan kejauhan) dan digunakan untuk menyebutkan persaudaraan sesama orang Bali atau sesama Bali Hindu.
Dinamika perubahan menyama braya tidak terlepas dari perubahan karakter masyarakat Bali baik secara individu maupun kolektif.
Akibatnya telah banyak menimbulkan perubahan pada masyarakat Bali, antara lain: mata pencaharian, gaya hidup, pandangan hidup, dan bahkan juga karakter masyarakat Bali.
Perubahan mata pencaharian dari pertanian ke industry pariwisata. Gaya hidup dari produktif ke gaya hidup konsumtif (bandingkan tingkah polah masyarakat Bali khususnya dalam satu dasawarsa belakangan ini, sudah menjadi rahasia umum bahwa mereka lebih cenderung untuk “memelihara kijang, kuda, panther,” dan mobil-mobil mewah dibanding menggarap tanahnya yang produktif), dalam pandangan hidup terjadi perubahan dari kolektifisme (kebersamaan) mengarah ke individualisme (hidup kai mati iba: Hidup aku mati kamu).
Perubahan karakter dulu yang ramah tamah, santun dan bergaul kini cenderung beringas dan suka berkonflik. Bahkan masyarakat Bali tidak dapat lagi dikategorikan sebagai komunitas yang inklusif, melainkan telah dipersepsikan oleh outsider sebagai masyarakat yang tempramental, egoistik, sensitif, hedonis, materialistik, individualistik dan cenderung menjadi human ekomikus.
Pesatnya kemajuan pariwisata menjadi daya tarik tersendiri atau pendorong mobilitas para pendatang untuk datang ke Bali tidak hanya untuk melancong, tetapi juga ingin menikmati manisnya gula pariwisata.
Masyarakat Bali bingung, cemas, merasa terdesak, dan kalah karena tanah kelahiran/daerahnya didominasi oleh para pandatang.
Kondisi ini secara tidak langsung memicu terjadinya pergeseran paradigma, masyarakat Bali terhadap para pendatang. Sentimen sosial terjadi lebih karena keterdesakan masyarakat Bali bidang ekonomi.
Bergesernya “nyama” menjadi “jelema”, merupakan bentuk dari perendahan martabat kemanusiaan, sebab istilah ini mengandung pelecehan dan sub-ordinat manusia dalam relasinya.
Dalam menyama braya di samping terdapat nilai-nilai universal artinya memahami bahwa semua manusia adalah bersaudara, juga ada keterbukaan dan pengakuan akan perbedaan. Hal ini sesuai dengan pemahaman masyarakat Bali tradisional, ketika mereka mengatakan menyama braya, hal ini menunjuk pada komunitas dan kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat Bali.
Bentuk menyama braya tersebut, misalnya dalam kegiatan sosial, seperti kerja bakti membuat rumah, memperbaiki jalan atau partisipasi ketika ada upacara yadnya (upacara keagamaan). Dapat dikatakan bahwa dalam tataran ini masyarakat Bali digambarkan dalam suatu keadaan yang multi dan inklusif.
Seiring dengan perkembangan jaman, di mana hal ini dapat dipicu oleh keadaan Bali yang serba menarik dari berbagai bidang: pariwisata, ekonomi dan budaya, bahkan agama, mengakibatkan terjadinya urbanisasi masyarakat desa ke kota mencari kehidupan yang lebih baik.
Pada sisi yang lain, masyarakat di luar Pulau Bali juga tidak kalah tertariknya dengan masyarakat lokal, dengan cara menanamkan modal di berbagai bidang usaha. Secara ekonomi pertumbuhan ekonomi Bali meningkat, tetapi dalam berbagai sektor justru masyarakat pendatang yang menguasai.
Di sinilah awal terjadinya perubahan dari “nyama” menjadi “jelema”. Sebuah kesadaran kolektif yang disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dan merubah nilai-nilai keseimbangan antara makrokosmos (alam) dan mikrokosmos (manusia) orang Bali.
Proses terjadinya aksi dan reaksi dalam masyarakat yang berbeda, makin intensnya perjumpaan masyarakat dalam perbedaan dan ada hal yang membuat tidak lagi memuaskan akan membentuk terjadinya perubahan sosial.
Melalui uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perubahan menyama braya dalam dinamika masyarakat Bali itu sangat dipengaruhi dua hal:
Pertama, faktor eksternal, yaitu melalui kedatangan masyarakat dari luar Bali yang membawa identitas primordial mereka, baik budaya, bahasa, dan agama. Secara ekonomi, masyarakat Bali terdesak oleh orang-orang yang memiliki modal besar dan juga terdesak di sektor informal hal ini secara perlahan menggeser peran masyarakat lokal dalam wacana pertumbuhan Bali secara makro. Modal sosial yang dimiliki oleh nenek moyang mereka mengalami pergeseran makna yang lebih luas melalui interaksi dengan budaya dan agama kaum pendatang.
Kedua, faktor internal, dalam hal ini dapat dilihat dari dua sisi, yaitu budaya dan agama yang dianut oleh orang Bali. Masyarakat Bali yang distereotipkan sebagai masyarakat yang memiliki sifat dan karakter terbuka, ramah dan luwes, kosmologis telah menimbulkan adanya toleransi dalam berbagai bidang. Hal ini didukung oleh agama Hindu yang sifatnya lentur, dapat menyesuaikan dengan budaya setempat. Tetapi hal tersebut sesungguhnya pada masa yang akan datang justru bisa menjadi petaka bagi masyarakat Bali sendiri.
Menyama Braya sebagai model Persaudaraan dalam perbedaan
Bertolak dari pemahaman masyarakat Bali tentang menyama braya sebagai suatu cara hidup yang memahami bahwa nyama braya adalah kekayaan utama dalam hidup, jalan untuk menggapai kebahagiaan dan keharmonisan hidup (dharma santhi ), dan kearifan lokal yang dipahami dan diyakini secara luas sebagai sebuah kearifan yang cukup efektif untuk menjaga integrase masyarakat (sosial) dengan cara hidup yang memperlakukan semua manusia sebagai saudara/keluarga.
Maka menyama braya dapat dijadikan model untuk membangun persaudaraan dalam perbedaan. Memiliki pengakuan bahwa setiap manusia adalah bersaudara, itu berarti tidak dapat tidak harus diiringi oleh pengakuan bahwa semua manusia tidak terkecuali memiliki kesetaraan atau dalam hubungan yang koordinatif, bukan sub-ordinat. Setiap manusia terpanggil untuk mengimplemantasikan kehidupannya dalam peran dan tanggung jawab yang sama.
Dalam model ini, selain membuka jalan dibangunnya ruang-ruang bagi identitas yang beragam dan sekaligus jembatan yang menghubungkan ruang-ruang itu untuk sebuah integrasi, ia juga adalah sebuah kepercayaan yang menyatakan bahwa kelompok-kelompok etnik, budaya dan agama dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati liyan, sehingga tercipta sebuah konsepsi masyarakat warna-warni yang tidak saja berciri partisipatoris namun juga emansipatoris.
Dengan perkataan lain, berbeda tidak harus menjadi seseorang/kelompok bersikap eksklusif, melainkan sebaliknya, yakni inklusif dengan demikian dalam masyarakat akan tercipta kehidupan sosial dalam perbedaan yang saling mengisi dan perbedaan yang saling menguatkan. Masyarakat dalam dinamikanya tidak akan mengedepankan primordialisme, anti pluralitas, anti multikultural, melainkan dalam kesederajatan untuk saling melengkapi dan membangun keharmonisan.
Membangun persaudaraan dalam perbedaan, ia tidak sama dengan konsep hidup yang dianalogikan sebagai melting pot di mana unsur-unsurnya saling mencair/melebur yang akhirnya menuju satu kesatuan. Tidak juga seperti juice, yang dalam pembuatannya diolah sedemikian rupa melalui proses tertentu di mana hasil akhirnya adalah sebuah minuman satu rasa. Ia lebih tepat dianalogikan sebgai gadogado, yang bahan-bahannya beragam namun saling menunjang perpaduan yang harmonis keseluruhan rasa. Setiap pribadi akan tetap memiliki identitas kultural, penghormatan dan keinginan untuk memahami dan belajar tentang (dan dari) orang lain dan memiliki perasaan senang dengan perbedaan. Kenyataan ini akan dapat menghindarkan kita dari prasangka, antipati, kesalahpahaman, dan konflik ketika hidup berdampingan dengan orang yang memiliki budaya, etnis, dan agama yang berbeda.
Persaudaraan dalam perbedaan menyadarkan kita akan ada cara hidup yang berbeda di tengah konteks ke-Bali-an yang kaya dengan keragaman, dan akan dapat menjadi spirit untuk membangun kekuatan dalam keragaman sekaligus kenyataan yang memperkaya ke-Bali-an. Pada akhirnya melalui model ini, secara umum diharapkan pada setiap warga bangsa akan diantar untuk dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan untuk menghormati keberadaan orang lain. Dengan demikian ia juga menjadi sebuah otokritik bagi setiap orang/kelompok/etnis/agama/budaya untuk melakukan dekonstruksi diri dalam perjumpaannya bersama yang lain.
Menyama Braya Sebagai Model Persaudaraan Dalam Tuhan
Menyama braya tidak hanya dapat dibangun sebagai sebuah model persaudaraan dalam perbedaan, tapi juga dapat dibangun sebagai model persaudaraan dalam Tuhan. Adanya pengakuan bahwa setiap umat manusia adalah bersaudara, itu berarti harus juga diiringi oleh satu pengakuan bahwa Tuhan yang menciptakan manusia adalah satu.
Adalah keliru bila manusia mengaku bersaudara tetapi tidak mengakui penciptanya atau dalam pemahaman sub-ordinat. Pastilah Tuhan yang satu telah menciptakan manusia dalam keanekaragaman keyakinan, warna kulit, dan bahasa untuk saling mengenal, bergaul, tolong-menolong dalam kebaikan, hormat-menghormati dan ketaqwaan guna mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan dalam bumi yang satu.
Melalui model ini, kita akan berjumpa dalam inklusif transformatif (inklusif karena ada kesediaan untuk menerima keberadaan yang lain, akan tetapi melahirkan transformasi pemahaman). Dengan demikian, pluralitas agama, akan membuka pintu bagi setiap orang merasa perlu saling berbagi pengalaman hidup
Menyama braya sebagai model membangun persaudaraan di dalam Tuhan memberi peluang untuk itu, karenanya setiap agama (umat beragama) di Bali harus berani secara kritis dan terbuka melakukan transformasi pemahaman atau meredefinisikan kembali akan arti panggilan dan kehadirannya, dan juga terhadap agama lain, secara khusus di Bali dan juga dalam ruang yang lebih luas yakni Indonesia dan dunia.
Agama-agama yang ada juga harus berani mengakui kekeliruan dan kekurangannya bila selama ini eksklusif dalam memandang yang lain, demikian juga akan pemahamannya tentang inklusif dan pluralis. Ungkapan sederhana tetapi cukup menggelitik dalam kehidupan sosial masyarakat atau menyama braya di Bali:
“Berapa ada bumi: satu, berapa ada manusia: banyak, berapa ada agama: banyak, dan berapa ada Tuhan: satu”,
Ungkapan ini memiliki pengertian dan makna bahwa Tuhan yang satu menciptakan manusia dan agama yang banyak, dengan maksud agar manusia dan agama yang banyak saling melengkapi dan berjuang bersama di bumi yang satu dalam membangun keharmonisan dan kedamaian serta keadilan.
Ungkapan sederhana di atas, layak dan perlu mendapat perhatian yang lebih serius bagi setiap agama yang ada di Bali dalam menggali dasar-dasar teologis guna menjadi model persaudaraan di dalam Tuhan, tanpa harus kehilangan identitas diri.