Hakekat dan Tujuan Upacara Agung Panca Bali Krama
Hakekat Panca Balikrama adalah suatu Upacara yajna sebagai pembersihan (penyucian) yang dilaksanakan, yang tergolong dalam kelompok dewa yajna, dan bhuta yajna, yang memiliki essiensi adalah sebuah persembahan kepada Tuhan (Sanghyang Widhi Wasa), sebagai Pencipta dengan manifestasinya sebagai dewa dan bhuta yang menguasai arah penjuru mata angin, yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memohon anugerah penyucian alam semesta (Bhuwana agung) dan diri manusia ( Bhuwana alit ), sekaligus memohon agar diberkati kerahayuan, kedamaian serta keharmonisan jagadraya berserta segala isinya (sarwaprani).
Sebagai dewa beliau disembah dan dipuja sebagai Panca dewata,dan dewata nawasanga, yang menguasai kiblat arah mata angin, di Timur (Purwa) sebagai dewa Iswara, di selatan (daksina) beliau dipuja sebagai dewa Brahma, dan di barat (Pascima) beliau dipuja sebagai Mahadewa, dan di Utara (uttara) dipuja sebagai dewa Wisnu, dan di Tengah (madya) beliau dipuja sebagai Siwa dengan sifat sebagai Tri purusanya.
Wujud persembahan kepada beliau dengan mendirikan Sanggartawang di arah tersebut dengan berbagai atribiut upakaranya. Tingkat utama Panca Balikrama bila dilaksanakan dengan mendirikan 5 sanggar tawang, dan madyanya dengan mendirikan 3 sangar tawang.
Sebagai bhuta beliau dipuja disomya (dimohon penetralisir), sebagai Panca mahabhuta, dilima kiblat tersebut, sebagai bhuta petak (putih) di Timur, sebagai bhuta abang (merah) di selatan, sebagai bhuta kuning di Barat, sebagai bhuta ireng (hitam) di Utara, dan sebagai bhuta brumbun (mancawarna) di tengah (madya), yang mengusai unsur panca mahabhuta, yaitu, pretiwi, apah, bayu, teja , akasa.
Secara filosofisnya, kenyatakan dapat diceritakan, ketika kondisi alam jagadraya tidak harmonis, disebabkan oleh berbagai pengaruh, jagat raya dipenuhi oleh energi buruk, maka sifat sifat unsur bhutakala yang menonjol. Jika ini terjadi, itu menunjukan bahwa terjadi perubahan wujud manifestasi Tuhan sebagai Sang bhutakala, maka semua unsur panca mahabhuta yang lebih nampak dapat dirasakan, sehingga kondisi alam ini tidak seimbang ditandai dengan berbagai ciri atau pertanda buruk seperti, gunung meletus, banjir, wabah penyakit, huru hara dan sebagainya. Saat kondisi seperti itu terjadi ketika dititik puncak bulan mati (tilem Caitra) ke bulan purnama, saat menuju peralihan waktu itulah sebenarnya ada pada titik 0 ketika tahun saka berakhir dengan 0 (disebut rah windu). Waktu itu ketika peralihan sasih kesanga ke Tahun baru Isaka, maka pada saat itu setepatnya dilakukan pemujaan oleh umat manusia kepada Tuhan (Ida sanghyang widhi Wasa) bermanifestasi sebagai Panca dewata di Pura yang dianggap paling besar yaitu di Pura Besakih. Adanya pemujaan tersebut, diharapkan sifat sifat bhuta berubah menjadi sifat dewa yang merasuki unsur panca mahabhuta, yang ada didalam bhuwana agung dan bhuwana alit, dengan mepersembahkan tawur Panca Balikrama kepada Panca mahabhuta dengan dewanya, dan persembahan upakara Catur, baik catur muka, catur niri dengan elemenya (reruntutannya), ke luhur akasa di 5 sanggartawang dengan prabawa dewanya, disertai dan diringi dengan puja oleh Sang Sulinggih.