Bagaimana ketakutan manusia, alam, akan pemurtian Sang Hyang widhi dalam bentuk krodaNya menjadi bhuta, maka dapat disimak seperti dikatakan dalam lotar Purwabhumikamulan (dalam Pedanda Bajing dkk (1990), sebagai berikut : Untuk jelasnya penggambaran mitologi dewa-dewa Panca dewata menjadi Bhutakala isinya secara ringkas :
”Demikianlah sesudah Dewi Uma berubah menjadi Dewi Durga, Bhatara Siwa menjadi Bhatara Kala, Sang Catur Dewata , yaitu Iswara menjadi Bhuta petak, Brahma menjadi bhuta Abang, Mahadewa menjadi bhuta Kuning, Wisnu menjadi bhuta Ireng (Hitam), beliau berlomba loba menciptakan Bhuta-bhuti, Kala-Kali,
Pisaca-Pisaci, Yaksa-Yaksi,, Raksasa-Raksasi, dan lain lain yang serba jahat (Sarwa hala), sehingga hampir semua tempat menjadi tempat tinggalnya, semua mahluk menjadi mangsanya, terutama manusia. Dewi Durga dan Bhatara kala menjadi semakin ganas, manusia menjadi ketakutan, lalu memohon belas kasihan dan perlindungan kehadapan Yang Maha Kuasa.Tuhanpun mengetahui hal tersebut, lalu beliau turun kedunia mengambil wujud menjadi Pendeta Sakti, dan selanjutnya memberi bimbingan kepada umat manusia agar terhidar dari bencana itu. Dibuatnya sanggar pemujaan, bhakti banten, nasi dan ikan /lauk pauk, palabungkah palagantung, kaladasa dan daun, terasi dan gula, seluruhnya berwadah periuk, bunga harum, sekar ura, puja. Dan yang memujanya adalah pandeta , Rsi Bhujangga.
Semua upacara itu bertujuan untuk mengembalikan (angruat), bhuta-bhuti, kala-kali raksasa-raksasi, Pisaca-pisaci,yaksa-yaksi, dan lain menjadi Somya dalam wujud Dewata, menyucikan kekuatan negatif dari pohon pohon kayu,tanah , air, udara, api/cahaya,akasa,perumahan, mimpi buruk dan lain lain yang serba menakutkan. Kemudian terdengarlah nyanyi-nyanyian suci, puja, mantra mendengung diangkasa silih berganti, bau asap semerbak memenuhi angkasa , demikian hujan bunga dari langit tidak henti hentinya, Bhatara kala, Dewi Durga dengan iringannya bhuta-bhuti mendengar, melihat serta mengamati, namun keinginannya untuk menerkan Manusia tidak dapat dilenyapkan. Segera pendeta memercikan Tirta (air suci) menaburkan kembang harum , mempersembahkan dan mengikatkan daun ilalang (Sirowista) dan mempersembahan sesajen (Caru), serta merta menjadi Somya kembali kepada wujud asalnya dan semua kembali ke Khayangan. Demikian pula bhuta petak menjadi Dewa Iswara, bhuta anang menjadi Dewa Brahma, bhuta kuning menjadi Dewa Mahadewa, Bhuta ireng menjadi Dewa Wisnu dan Bhuta brumbun menjadi Dewa Siwa, para iringan bhuta-bhuti dan lainya berubah wujud menjadi widyadara-widyadari,Gandarwa, Kinara-kinari dan sebagainya.Setelah upacara Caru atau Tawur Bhutayajna itu diselengarakan, maka kembalilah alam semesta ini tenang, tentram, memberikan kemakmuran dan kebahagiaan kepada umat manusia.
Berdasarkan atas petunjuk tersebut, tawur Panca Balikrama dilaksanakan secara berkala dan secara berkesinambungan.
Dalam hubungan dengan Pura Besakih, Pedanda Sakti Wawurawuh , sebagai seorang pandeta yang mempunyai peran besar dalam perkembangan Pura ini , dan yadnya yang dilaksanakan di pura tersebut, berdasarkan petunjuk Niti Sastra Pedanda Sakti Wawurauh.
Lebih jauh tentang Panca Balikrama, menurut lontar Widhi Sastra, Niti Pedanda Sakti Wahurawuh sebagai berikut : (dalam Pedanda Bajing, dkk (1990) :
Kalinganga ri tatkalaning Kali Sangarabhumi, heweh ikang rat, gering makweh tan papagatan, perang sumelur, sasab marana,sabhumi, asing tinandur rusak sinigiting tikus,mwang walang sangit corah dusta dan papagatan, wyahara sari- sari humeng ikang rat, salwiring weda mantra tan mandi mur hyang Saraswati.
Yan katekaning mangkana, halaning jagat ika, wenang sang andita mwang sang ratu handewa ring sang hyang ning hyang, kang kawenang sasembahan sang Brahma, sasembahan Ksatriya Ratu, ri kalaning we rahayu, ring purnama mwang tilem, mwah asurya sewana, angabhakti ring bhatara surya.Haywa kewala angulah bhawa wiku, putusaken jati, suksmaning wiku mangkde tan sanghara ikang rat. Mangkana juga sang ratu, yan sang ratu pati purug-purugan, yatika mangdadi sanghara ikang rat. Kadi wus kawistara nguni, dadinya rahayu ikang bhuwana. Lumekas ta ang wiku minahayu bhumi, amuja dewa, angastawa widhi, mahananing hyang huripan jagat. Hinarcana dewa sang ratu mwang pandita asadhana huti, angelaraken puja mantra pangastawa ayata Giripati, Brahmastawa, Mahadewastawa, Wisnustawa, Sambhustawa, Basukistawa, Druharsi, Bayustawa,Tejastawa, Barunastawa, Anantabhogastawa, saksalwirning wedastawa gelaraken tingkahing kadi Pancawalikrama, 5 desa panditaamuja. Wangunan karya padewahara, ring hyang, genahakena ring lebuh kahyangan agung, mapagungan 5, mapaselang, matitimamah kebo, mangkana tingkah sang ratu mahayu bhumi, hamituhu ri adeg ira dalem wawurawuh.
Mwah karya menang linaksanan rikalaning hanemu pasalin tenggek, winangun ring panataranagung, ring gunung agung besakih, wus rika , ring bancingah agung, tuwin ring pasar Agung wekasan ring penangguning desa kanista, madhya, uttama.
Kayeki pidharthanya, Nihan kramaning andabhuwana, tatkalaning bhumi katibaning tiksna laminya satahun kaya mageng, taru-taru, mwang jadma, meweh ikang rat,lara, marana werdhi, tikus, amangan salwiring tinandur, kagering wong akweh, kebo, sapi, akweh pejahkramanya hana salah wetu. Tatkala masa asuji, metu ketug saking purwa, mwang mercu, yadnyan ring daksina, pascima, uttara, mwang ring sor, luhur yeka mangadak mangkana. Mwah sasih kasanga metu ketug ring purwa, daksina, sadulur mercu, mwang sasihasadha metu ketug ring neriti, ghneya, andaru humpek ring akasa, yeka chihnaning bhumi wenang gelaran Tawur Pancawalikrama, angadegaken sangar tawang rong tiga, mwah munggah suci laksana 6 soroh, saha catur, wedya, gana, byulalung, peji, uduh, sang tiga wenang ngarajenging lwirnya : Siwa, Buddha, Bhujangga, lukaten dening hormatraya. Papitu sang Brahmana pandita amuja, kalinganya, ring madya 3, nyatus desa 4, wwolu katekaning pandita Buddha ring paselang, mwang sengguhu 5, nyaturdea mwang ring tengah.
(Hakikatnya pada saat zaman kaliyuga, susah di dunia ini, penyakit banyak dan tiada hentinya, perang tiada akhirnya, wabah penyakit (hama), seluruh dunia, setiap ditanam rusak, dimakan tikus dan belalng sangit, pencurian dan kejahatan tiada akhirnya, setiap hari terjadi perkara-perkara yang memenuhi masyarakat. Seluruh puja mantra tiada berkasiat, lenyap rahmat dewi Saraswati.
Bila hal ini terjadi, tercemarnya dunia pada masa itu, patutlah para pendeta dan raja/pemeritah, memohon kepada Sang Hyang Widhi, pada pura yang patut dipuja oleh para pendeta dan para raja/pemimmpin pemerintahan, pada saat hari baik, pada hari purnama dan tilem, dan menyelenggarakan Surya sewana, memuja dewa surya. Janganlah hanya mementingkan kewibawaan seorang pendeta, adakanlah pertemuan untuk memutuskan dari pendeta ahli, supaya jangan sengsara masyarakat. Demikian raja/pemerintah, bila raja/pemerintah sembarangan, hal itu menjadikan penderitaan masyarakat, seperti telah umum diketahui dimasa lalu, mengakibatkan kesengsaraan dunia. Segeralah sang pendeta mensejahtrakan masyarakat, memuja Tuhan, memuja Sang Hyang Widhi, sebagai yang menghidupkan dunia. Dilakukanlah pemujaan kepada Tuhan oleh Raja/pemerintah dan para pendeta dengan sarana huti (caru), mempersembahakan puja mantra, stawa kepada Giripati (Sang Hyang Siwa 0, Brahmastawa, Mahadewastawa, Wisnu Stawa, Sambustawa, Waukistawa, Druharsi, Bayustawa,Barunastawa, Anantabhogastawa, selengkapnya puja dalam menyelenggarakan upacara Panca Balikrama, lima penjuru pendeta memuja, buatkalah panggung tempat upakara/sthanaNya di tempat suci, tempatnya di pura besar, memakai panggung tempat sesaji lima buah, adakan upacara Mapeselang, memakai titimamah kerbau, demikian hendaknya raja/pemerintah mewujudkan kerahayuan jagat (dunia), mengikuti pendirian/pelaksananaan yang ditunjukan oleh pendeta Wawurawuh.
Waktu upacara hendaknya diselenggarakan pada saat pergantian nilai puluhan, diadakan di penataran agung, di lereng gunung agung, di pura Besakih, setelahnya di Bancingah Agung , juga dipasar Agung, akhirnya juga di batas desa dalam tingkatan yang kecil, menengah dan utama.
Beginilah penjelasannya : Demikianlah keadaan bumi, pada saat dunia tertimpa bencana, lamanya setahun dan besar, pohon-pohon dan manusia, susah masyarakat, menderita,hama berkembang, tikus memakan segala yang ditanam,masyarakat banyak ditimpa penyakit, kerbau sapi banyak yang mati, halnya ada juga yang lahir tidak normal. Pada saat bulan Asuji (Katiga) muncul petir dari Timur, juga mercu juga di Selatan, Barat ,Utara, juga dibawah dan diatas secara mendadak. Pada bulan Kasanga muncul petir di Timur, Selatan, diikuti oleh mercu ? juga pada bulan Asadha muncul petir di Barat laut, Tenggara, meteor penuh di angkasa, itu pertada di dunia ini patut diselenggarakan upacara tawur Panca Balikrama, bangunlah sanggar tawang rong tiga, dan dipersembahkan suci laksana 6 paket, beserta catur, wedya, gana, byulalung, peji, uduh, tiga orang pendeta hendaknya yang memimpin upacara yaitu : pandeta Siwa, Buddha dan Rsi Bhujangga sucikalah dengan upacara homa tiga. Seluruhnya ada tujuh ( 7 ) pendeta yang memuja, penjelasannya, ditengah tiga (3) orang, ditempat penjuru empat (4) orang, delapan ( 8 ) dengan seorang pedeta Buddha memuja di Bale
Paselang, dan Sengguhu lima ( 5), di tempat penjuru dan ditengah). Dari petikan diatas, jelaslah bahwa upacara Tawur Panca Balikrama berupa persembahan Huti, Caru atau Tawur yang diperembahkan kepada Sang Hyang Widhi dalam manifestasiNya sebagai Siwa Giripati dengan muti Panca DewataNya. ( Padanda Bajing, dkk : 72)