Adanya Kasta dimulai sejak jamannya Max Muller, menterjemahkan Catur Warna sama dengan empat colour/ras. Bukti kesalahan Muller: Bagawan Wiyasa ( jawa disebut Abiyoso) berkulit hitam,hidung lebar,bibir tebal, mata mellotot, jelas bukan ras Arya yang berkulit terang, hidung mancung, mata biru. Kasta tidak pernah ada di India contohnya: Bambang ekalaya seorang rakyat biasa bisa menjadi ksatrya, Radeya anak kusir kereta bisa menjadi adipati/ ksatrya, Govinda anak gembala sapi bisa menjadi raja, Narada anak pelayan (Babu) bisa menjadi Brahmana. Di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit seorang perampok Ken Arok, bisa menjadi Raja, seorang pengangon kuda, Damar Wulan bisa menjadi Raja Majapahit dengan gelar Brawijaya.
Di Bali kasta mulai ada semenjak runtuhnya majapahit. Setelah kedatangan pendeta suci Danghyang Nirarta yang pindah ke bali akibat terdesak kerajaan Islam dan kemudian diangkat jadi penasehat Raja Gelgel. Danghyang Nirarta tiba di Bali sekitar abad 15, hamper bersamaan dengan kedatangan Portugis di India (kerajaan Goa India jatuh ketangan Portugis th. 1511 ) dan Istilah kasta mulai diperkenalkan di India.
Kasta dibali dimulai ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran Hindu, Catur Warna. Lama-lama orang Bali pun bingung, yang mana kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalah-pahaman itu terus berkembang karena memang sengaja dibuat rancu oleh mereka yang terlanjur “berkasta tinggi”.
Pada masyarakat Hindu di Bali, terjadi polemik ( Pro dan Kontra ) dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan.
Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.
Dalam (Bhagawad Gita XVIII.14) dikatakan bahwa:
”Oh, Arjuna tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat dan watak kelahirannya sebagai halnya Brahmana, Ksatrya, Vaisya, dan juga Sudra”.
Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.
Masing – masing bagian dari catur warna ataupun Kasta adalah:
- Brahmana-orang-orang yang menekuni kehidupan spiritual dan ketuhanan, para cendikiawan serta intelektual yang bertugas untuk memberikan pembinaan mental dan rohani serta spiritual. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai rohaniawan.
- Ksatria-orang orang yang bekerja / bergelut di bidang pertahanan dan keamanan/pemerintahan yang bertugas untuk mengatur negara dan pemerintahan serta rakyatnya. Atau seseorang yang memilih fungsi sosial menjalankan kerajaan: raja, patih, dan staf – stafnya. Jika dipakai ukuran masa kini, mereka itu adalah kepala pemerintahan, para pegawai negeri, polisi, tentara dan sebagainya.
- Waisya-orang yang bergerak dibidang ekonomi, yang bertugas untuk mengatur perekonomian atau seseorang yang memilih fungsi sosial menggerakkan perekonomian. Dalam hal ini adalah pengusaha, pedagang, investor dan usahawan (Profesionalis) yang dimiliki Bisnis / usaha sendiri sehingga mampu mandiri dan mungkin memerlukan karyawan untuk membantunya dalam mengembangkan usaha / bisnisnya.
- Sudra-orang yang bekerja mengandalkan tenaga/jasmani, yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan menjadi pelayan atau pembantu orang lain atau seseorang yang memilih fungsi sosial sebagai pelayan, bekerja dengan mengandalkan tenaga. seperti: karyawan, para pegawai swasta dan semua orang yang bekerja kepada Waisya untuk menyambung hidupnya termasuk semua orang yang belum termasuk ke Tri Warna diatas.
Dari sana dapat dilihat bahwa setiap orang yang lahir ke dunia sudah dibekali dengan kelebihan dan keahliannya masing-masing dalam rangka mencapai tujuan dari catur purusha artha yaitu dharma ,artha , kama, dan moksa.
Namun dalam implementasinya dalam kehidupan nyata, masih banyak orang yang merasa enggan memakai golongan diatas sesuai dengan pekerjaan dan keahlian yang mereka punya. Hampir sebagaian besar dari mereka yang telah memiliki garis keturunan lebih tinggi masih memangu jabatan leluhurnya, padahal terang – terangan terlihat bahwa orang tersebut memiliki bakat dan kemampuan dalam bidang yang berbeda dari leluhur sebelumnya. Banyak alasan yang menjadi dalih untuk menghindari hal tersebut.
Nama Orang Bali
Nama orang Bali pada umumnya memiliki kaitan erat dengan kasta, karena pada nama orang Bali biasanya akan terlihat apa kastanya. Imbuhan kasta ini akan terlihat di bagian awal nama misalkan memakai : Gusti, Anak Agung, Cokorde, Dayu, Desak, dsb..
Di Bali umumnya seorang anak kastanya harus sama dengan orang tuanya. Jadi seorang anak tidak boleh diberi nama dengan awalan “Anak Agung” di depannya kalau orang tuanya bukan dari kasta tersebut.
Pernikahan
Di Bali umumnya pernikahan bersifat patrilineal. Jadi seorang perempuan setelah menikah dan menjadi istri akan bergabung dengan keluarga suaminya. Nah, dalam pernikahan beda kasta, seorang perempuan dari kasta yang lebih rendah sudah biasa jika dijadikan istri oleh lelaki dari kasta yang lebih tinggi. Bahkan pihak keluarga perempuan kadang ada rasa bangga.
Lalu bagaimana jika seorang perempuan berkasta menikah dengan lelaki tidak berkasta atau dengan lelaki yang kastanya lebih rendah?
Ini istilahnya “nyerod” atau turun kasta. Pernikahan seperti sangat dihindari dan kalaupun terjadi biasanya dengan sistem “ngemaling” yaitu menikah dengan sembunyi-sembunyi. Karena pernikahan “nyerod” seperti ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga besar pihak perempuan.
Oya, sistem patrilineal ini juga menyebabkan orang Bali secara tidak langsung lebih menginginkan anak laki-laki daripada anak perempuan. Ya walaupun tidak semua orang tua seperti itu.
Bagaimana jika tidak memiliki anak laki-laki? Ada juga sistem pernikahan matrilineal. Yaitu pihak lelaki yang akan bergabung dengan keluarga perempuan. Istilahnya “nyentana” atau “nyeburin”, saat ini juga cukup lumrah terjadi.
Kalau pernikahan “nyeburin” atau “nyentana” ini terjadi dalam satu tingkatan kasta yang sama, biasanya tidak akan ada masalah. Tapi bagaimana kalau beda kasta? Pernikahan “nyentana” dengan kasta berbeda sangat jarang terjadi, karena baik “naik kasta” atau pun “turun kasta” akan terlihat aneh di masyarakat.
Misalnya saja si Wayan yang “nyentana” yaitu menikah pihak perempuan yang berkasta, ini sangat sulit. Pertama, pihak keluara perempuan biasanya tidak akan menerima. Masyarakat di sekitar juga nanti bingung, apakah si Wayan akan naik kasta menjadi berkasta seperti istrinya atau tetap tidak berkasta. Lalu ketika mereka punya anak, apa kastanya? Ah, ribet.
Itu yang “naik kasta”, lalu bagaimana dengan turun kasta? Misalnya seorang lelaki berkasta menikah “nyentana” ke perempuan yang tidak berkasta. Berarti lelaki tersebut akan kehilangan kastanya. Hal ini biasanya tidak akan diijinkan oleh keluarga pihak lelaki. Jadi, berkaitan dengan kasta, pernikahan model “nyentana” akan ribet kalau terjadi dengan berbeda kasta.
CATUR WARNA apa KASTA ?
Kekacauan Sisitim kemasyarakatan antara KASTA dan WARNA ini lama-lama menjadi kesalah-pahaman. Konsep kasta sangat bertentangan dengan konsep warna dalam ajaran agama hindu. Perbedaan persepsi dan pemahaman tentang kasta serta warna masih saja terjadi dan terus berlangsung hingga sekarang ini. Misalnya, yang paling umum adalah yang berhak menjadi rohaniawan (pendeta Hindu) hanyalah mereka yang keturunan Brahmana versi kasta, yang nama depannya biasanya Ida Bagus. Mereka yang tak punya nama depan Ida Bagus disebut bukan keturunan Brahmana, jadi tak bisa menjadi Pendeta (Pedanda).
Jika terjadi kesalahpahaman yang berkelanjutan maka tidak tertutup kemungkinan akan terjadi konflik, perpecahan, dan kekacauan di masa yang akan datang.
Setelah majelis agama Hindu (Parisada Hindu Dharma Indonesia) berdiri pada 1959. Jauh sebelumnya, yakni pada 1951, DPRD Bali sudah menghapus larangan perkawinan “antar-kasta” yang merugikan “Kasta” bawah seperti Sudra.
Era modernisasi ikut mengubur perjalanan kasta di Bali. Banyak orang yang tidak memakai nama depan yang “berbau kasta”, dan nama itu hanya dipakai untuk kaitan upacara di lingkungan keluarga saja. Apalagi nama-nama orang Bali modern sudah kebarat-baratan atau ke india-indiaan. Juga faktor pekerjaan di mana orang yang dulu disebut berkasta Sudra, misalnya, kini memegang posisi penting, sementara yang berkasta di atasnya menjadi staf. Dengan demikian hormat-menghormati sudah tidak lagi berkaitan dengan “Kasta” yang feodal itu.
Ajaran Catur Warna dalam Hindu adalah menempatkan fungsi sosial seseorang dalam kehidupan di masyarakat. Orang boleh memilih fungsi apa saja sesuai dengan kemampuannya. Fungsi sosial ini bisa berubah-ubah. Pada awalnya semua akan lahir sebagai Sudra. Setelah memperoleh ilmu yang sesuai dengan minatnya, dia bisa meningkatkan diri sebagai pedagang, bekerja di pemerintahan, atau menjadi rohaniawan. Fungsi sosial ini tidak bisa diwariskan dan hanya melekat pada diri orang itu saja. Kalau orangtuanya Brahmana, anaknya bisa Sudra atau Kesatria atau Wesya. Begitu pula kalau orangtuanya Sudra, anaknya bisa saja Brahmana. Itulah ajaran Catur Warna dalam Hindu.