- 11. Nanceb
- 22. Ngadegang Sri
- 33. Nunas ke Pura Dalem
- 44. Ngulapin
- 55. Maktiang Tapakan
- 66. Melaspas Kajang
- 77. Melaspas Pondok dan Bale Gumi
- 88. Ngeringkes dan Ngunggahang Tumpang Salu
- 99. Melaspas Pangiriman
- 1010. Ngaskara
- 1111. Narpana
- 1212. Melaspas Padma dan Macan Selem
- 13Puncak Upacara Ngaben
- 14Rangkaian kegiatan setelah pembakaran
- 15Masesapuh
- 16Nuntun dan Maajar-ajar
e) Ngirim (nganyut)
Setelah selesai pamralina yang diakhiri dengan sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim (nganyut). Berdasarkan pada rangkaian upacara ngaben diatas, pada umumnya umat Hindu di Bali, setiap melaksanakan upacara keagamaan selalu dilandasi dengan petunjuk sastra. Dalam setiap upacara baik yang dilaksanakan secara pribadi maupun melibatkan masyarakat sangat perlu ditekankan pada landasan kesusilaan.
Sebab semakin besar suatu yadnya yang dipersembahkan, semakin berat pula pengendalian diri yang patut dilakukan, sebagaimana dijelaskan dalam lontar Dewa Tattwa sebagai berikut:
Om Awighnamastu,
Anakku sang para empu danghyang sang mahyun twa ajanma, luputing sangsara papa, kramanya sang kuminkin akarya sanista, madya utama, manah lega dadi ayu, aywa ngalem drwya, mwang kamugutan kaliliraning wwang atwa, aywa mangambekang kroda mwang ujar gangsul, ujar menak. juga kawedar deffira, mangkana kramaning sang ngarepang karya, aywa simpangi ng budi, mwang kroda. Yan kadya mangkana palu pagawenya sawidhi-widhananya, lekeng ataledanya, mwang ring sasayutnya maraga dewa sami, lekeng wawangunan sami.
Terjemahannya:
Semoga tiada halangan,
Anakku sang para Empu Dang Hyang (orang suci), demikian pula mereka yang berkedudukan sebagai orang tua, lepas dari duka dan nestapa, sikap dan prilakunya mereka yang hendak melaksanakan upacara nista (kecil), madya menengah), utama (besar), jadikanlah pikiran itu senang dan baik janganlah menyayangi (terikat) pada harta milik serta patut mengikuti kewajiban orang tua, janganlah menampilkan kemarahan, serta berkata-kata yang kasar, kata-kata yang baik dan halus juga yang patut disampaikan. Demikianlah perilakunya mereka yang melaksanakan yadnya. Janganlah menyimpang dari budi pakerti. Bila yang demikian dapat dilaksanakan, segala persembahannya hingga pada taledan (alas sesajen) serta sesayutnya berwujud dewa, demikian pula semua bangunannya (lembar 1a milik I.B. Parwata)
Apabila sikap dan perilaku sudah benar dalam melaksanakan upacara yadnya, maka semua sarana dan prasarana upacara merupakan wujud Dewata (manifestasi Tuhan). Bermaknanya suatu upacara yadnya bukan ditentukan oleh kuantitas (besar kecilnya atau banyak sedikitnya sarana dan prasarana), akan tetapi sangat dipengaruhi oleh kualitas (bobot) kesuciannya. Yadnya yang utama ditentukan oleh etika prilaku bagi yang melaksanakan, yang membuat sesajen maupun orang yang memimpin jalannya upacara.
Lontar Indik Panca Wali Krama di sebutkan sebagai berikut:
Kayatnakena, aywa saulah-ulah lumaku, ngulah subal, yan tan hana bener anul linging haji, nirgawe pwaranya. kawalik purih nyaika, amrih ayu, yakta atet, ahan ala, mangkana wenang ika kapratyaksa de sang amangun adi karya, makadi sang anukangi, mwang sang andiksani ika katiga wnang atunggala. Panglaksananira among saraja karya aywa kasingsal, apan ring yadnya tan wenang kacacaban kacampuran manah weci, ambek branta, sabda parasya. Ikang manah stitijati nirmalajuga makasidhaning karya, marganing amanggih sadya rahayu, kasidaning pamuju mangkana kangetakna estuphalanya.
Terjemahannya:
Berhati-hatilah dan sadari selalu, janganlah asal berbuat, sombong/ kaku, bila tidak ada benamya menurut petunjuk sastra, sia-sialah hasilnya. TerbalikIah permohonannya yang demikian, mohon kerahayuan sudah jelas dan pasti akan berakibat buruk. Demikianlah sepatutnya diwaspadai oleh mereka yang berkehendak melaksanakan upacara, termasuk mereka yang berperan sebagai tukang serta pendeta yang memimpin, mereka bertiga sewajamya supaya menyatu dalam pelaksanaan upacara. Janganlah berselisih paham, sebab dalam setiap yadnya tidak boleh temodai oleh pikiran kotor, pritaku marah, ucapan kasar. Perasaan yang stiti bhakti (tulus ikhlas tanpa pamerih) dan suci nirmala (tanpa keletehan/kekotoran) yang dapat menyelesaikan upacara yadnya dengan baik dan benar, sebagai dasar perantara mengantarkan pada suatu keberhasilan yang menyebabkan dengan selamat sampai pada tujuan (lembar 5a milik I.B. Parwata).
Dalam lontar Yadnya Prakerti lembar 8a (milik Jero Mangku Alit) menyebutkan:
Kunang arep pwa sira amangguhang swakarya a yadnya – yadnya puja prakerti, salwir nikang pinuja krama, aywa tan pangambek suci, dinuluri idepta rahayu, sabda menak, ika juga maka dasar ing swa yadnya, aja angangen prabeya, den liliwarana ikang manah, aywa pepeka, aywa tan suksara ring sang Brahmana Pandita, kumwa kadi lingkwa nguni, den prayatna pwa sira, apan akweh mahabaya pamancaniya, agung pakeweh nira, ri pangadun ing bhuta kala karep ira amignani, angulati ladahaniya. Ika ta kayatnakena, apan sira yan sampun apageh polah ira kukuh ring kasusilan, ring kapatutan, makadi ring kadhannan, tinuta ring warah sastragama, mawasta trak ikang sarwa bhuta kala sasab merana, tan wani ya lumincak mara maring manusa pada, pada sinimpen kinurung de bhatara dhanna, tan wineh sira kumarasah anusup-nusup, pati baksabaksani. (lembar 8a)
Terjemahannya:
Apabila anda mengharapkan mendapatkan korban suci, doa keselamatan segala yang akan didoakan, janganlah tanpa perbuatan suci, disertai pikiran suci, ucapan baik, itulah dasar dalam melaksanakan Yajna, janganlah memikirkan biaya, dengan pikiran suci, janganlah berpikiran kotor, menyerahkan segala sesuatunya kepada sang Brahmana Pandita/sulinggih, begitulah dari dahulu kala, janganlah tidak hati-hati, sebab banyak mara bahaya yang mengancam, besar kendalanya, laporan bhuta kala kepadaku, menjadi makananya, itu berhati-hatilah akan tetapi kalau dia sudah kukuh/teguh pendiriannya dan perbuatan yang susila, menjalankan kebenaran, seperti kebenaran dharma, sesuai dengan ajaran sastra agama, bernama terhadap segala bhuta kala, segala macam penyakit, tidak berani dia mengganggu terhadap manusia, karena semuanya dikurung oleh Bhatara Dharma dan tidak diperbolekan memasiki jiwa manusia.
Beranjak dari isi kutipan di atas, dengan jelas menekankan bahwa kesuksesan dari pada yadnya sangat ditentukan oleb sikap dan prilaku dari tiga unsur penting (Tri Manggalaning Yadnya) yaitu orang yang melaksanakan yadnya, orang yang membuat sesajen dan orang yang memimpin jalannya upacara yadnya. Ketiga unsur itu harus dapat bekeda sama secara sinergis. Demikian halnya pada masyarakat umat Hindu dalam melaksanakan upacara yadnya khususnya pitra yadnya tidak lepas dari ke tiga unsur itu dan sudah merupakan suatu tradisi sejak dulu, namun dilihat dari teknis pelaksanaan ada beberapa perbedaan.
Umat Hindu di Bali dalam menuangkan rasa bhakti kepada Tuhan, leluhur dan sebagainya, tidak akan puas hanya sembahyang tanpa ada wujud bhaktinya untuk mengungkapkan perasaannya. Segala persaan bhaktinya diwujudkan dalam berbagai bentuk, salah satunya menggunakan sarana, sarana tersebut juga merupakan simbol curahan bhakti yang terdalam bagi mendiang.