Globalisasi pada sektor pendidikan memang telah dan sedang berlangsung. Pembentukan aliansi perguruan tinggi nasional dengan mitra perguruan tinggi di luar negeri sudah merupakan hal biasa, dan tentang berdirinya perguruan tinggi asing di Indonesia juga bukan hal yang istimewa. Waktu berjalan terus dan tentu saja semua Fakultas di dalamnya perlu mengantisipasi adanya perubahan-perubahan mendasar di dunia pendidikan di masa mendatang. Persaingan akan semakin ketat dan sumber daya manusia Indonesia harus disiapkan sebaik-baiknya melalui pendidikan yang bermutu.
Untuk mendukung keberhasilan meraih sertifikasi ISO-9000, maka diperlukan perencanaan yang matang sehingga ketika audit dilakukan semua data rekaman sebagai bukti implementasi dari ISO, bisa ditunjukkan.
Tujuan dari sertifikat ISO-9000, yang pada intinya menekankan bahwa perolehan sertifikat tersebut mencerminkan adanya penerapan sistem mutu.
Secara umum, standard ISO-9000 dipilah menjadi tiga yaitu:
1) ISO-9001 : sistem mutu – Model untuk jaminan mutu dalam desain, pengembangan, produksi, instalasi dan pelayanan.
2) ISO-9002 : sistem mutu – Model untuk jaminan mutu dalam produksi, instalasi dan pelayanan.
3) ISO-9003 : sistem mutu – Model untuk jaminan mutu dalam inspeksi dan pengujian akhir
Lalu apakah perbedaan atau persamaan antara sertifikat ISO-9000 dan Akreditasi Nasional?
Akreditasi adalah pengakuan formal yang diberikan oleh badan akreditasi terhadap kompetensi suatu lembaga atau organisasi dalam melakukan kegiatan penilaian kesesuaian tertentu.
Sertifikasi adalah pernyataan kesesuaian dari pihak ke tiga terkait dengan produk, proses, sistem manajemen atau personal terhadap standar tertentu.
Akreditasi BAN-PT Vs Sertifikasi ISO 9001:2000
Jika sebuah Perguruan Tinggi yang mendapat hasil akreditasinya “A”, maka secara logika penalaran selayaknya mendapat Sertifikasi ISO 9001:2000. Namun, kenyataannya tidak demikian, atau sebaliknya dapat sertifikasi ISO 9001:2000 tetapi akreditasinya rendah.
Adakah yang salah? Jawabnya ya. Berarti Perguruan Tinggi tersebut menggunakan standar ganda. Jika sumber datanya sama untuk keperluan yang berbeda maka tidak selayaknya menghasilkan hasil bertentangan. Seharusnya menghasilkan keselarasan atau hubungan akreditasi dan sertifikasi adalah berkorelasi positif, bukan negatif. Jika hasilnya bertentangan berarti data yang digunakan bersumber dari data yang berbeda.
Dalam satu organisasi Perguruan Tinggi jika terdapat lebih dari satu sumber data maka dapat dipastikan bahwa data yang digunakan kevalitannya dan keakuratannya sangat rendah. Secara manajemen, hal demikian dikatakan bahwa Perguruan Tinggi tersebut menggunakan standar ganda.
Hal ini seringkali tidak disadari oleh Pimpinan Perguruan Tinggi. Karena kurang peduli dan perhatian terhadap data yang seharusnya jadi dasar pengambilan keputusan dan kebijakannya. Indikator yang tampak jelas dan sudah bukan jadi rahasia umum, mengapa ketika menyiapkan data pendukung borang akreditasi dan sertifikasi selalu ” nanggap-wayang”. Kemudian ganti tim, ganti data. Tim baru akan mengumpulkan data lagi dari awal. Bisa dibayangkan jika sudah 10 kali pergantian tim akreditasi atau tim sertifikasi, maka bisa ditemukan ada data 10 macam dari sumber data 10 macam. Dari 10 macam data tersebut, data dari tim mana yang valid dan akurat? Hal ini jelas akan merugikan Perguruan Tinggi tersebut, karena banyak sumberdaya yang dibelanjakan baik dari sisi waktu, tenaga maupun dana.
Mengapa hal ini dilakukan? Pertimbangannya sangat praktis khawatir dan takut hasil akreditasinya rendah atau dicabut, atau takut tidak tersertifikasi.
Akibatnya data dan bukti pendukungnya direkayasa dan penuh trik tipuan. Tanpa disadari tindakan ini adalah proses pembodohan terhadap Perguruan Tinggi. Akhirnya, praktek tipuan dan rekayasa ini akan jadi bumerang yang merugikan Perguruan Tinggi itu sendiri.
Apalagi dengan adanya borang implementasi sistem penjaminan mutu Perguruan Tinggi yang diedarkan di seluruh Perguruan Tinggi yang telah mengimplementasikan sistem penjaminan mutu maka Pemerintah (DIKTI) telah memiliki sumber data atau informasi. Betapa pun kecilnya Unit Penjaminan Mutu di suatu Perguruan Tinggi. Dialah, sumber data riil yang sesungguhnya sehingga bukan suatu yang sulit bagi reviewer akreditasi dan auditor sertifikasi jika ingin memperoleh data yang sesungguhnya.
Ketika reviewer akreditasi dan auditor sertifikasi visitasi dilapangan untuk membuktikan, maka pertama kali yang akan ditanya yaitu hasil laporan audit mutu internal yang telah dilakukan oleh unit penjaminan mutu Perguruan Tinggi yang direviewer. Hasil audit mutu internal ini akan di kroscek dengan data dan bukti borang akreditasi atau sertifikasi dan Perguruan Tinggi tidak bisa menolak hasilnya. Betapapun kecilnya Unit Penjaminan Mutu tetapi dialah yang sumber data yang riil dan akurat.
Manajemen SDM-Dosen dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan di Perguruan Tinggi
Dalam ISO 9001:2000, Pimpinan Perguruan Tinggi, berkewajiban untuk mengelola sumberdaya manusia yang dibutuhkan untuk mengimplementasi sistem manajemen mutu agar dapat efektif dan efisien dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Pimpinan perguruan tinggi bertanggungjawab terhadap pengelolaannya karena dosen memiliki peran yang sangat strategis dan penompang utama dalam meningkatkan mutu pendidikkan di perguruan tingginya. Peran dosen dalam meningkatkan mutu pendidikan di Perguruan Tinggi, dimulai dari keberdayaan mereka.
Paradigma tenaga pengajar (dosen) itu harus dimulai dengan melakukan orientasi pendidikan, yaitu : pertama, dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat. Kedua, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, Ketiga, merubah citra hubungan dosen – mahasiswa yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, Keempat merubah orientasi dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, Kelima mengubah orientasi dari pola konvensional menuju pola pendekatan teknologi informasi dan budaya. Dan keenam, dari penampilan tenaga pengajar (dosen) yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja (partnershif kepada institusi/ bukan subordinatif dengan institusi pendidikan),
Dengan paradigma tenaga pengajar tersebut diatas diharapkan nantinya lembaga pendidikan dapat menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif yang berimplikasi kepada munculnya comparatif advantage terhadap suatu eksistensi lembaga pendidikan di tengah-tengah masyarakat. Sebagai konsekwensinya, maka lembaga atau institusi pendidikan haruslah menyediakan dan menyelenggarakan suatu mekanisme pengelolaan sumber daya dosen yang lebih selektif.
Mekanisme pengelolaan sumber daya dosen (tenaga pengajar) tersebut dapat dilihat dalam konteks pertama, bagaimana sistem perekrutan (recruitment) tenaga pengajar. Kedua.bagaimana membentuk pola persepsi antara kualitas kognitif tenaga pengajar dengan kemampuan beradaptasi pengajar pada kultur dan sistem akademis yang diterapkan lembaga. Sebab banyak kasus terjadi, institusi pendidikan memiliki sumber daya dosen yang baik, namun dosen tersebut tidak cukup baik untuk “tunduk” pada sistem dan aturan yang sudah di tetapkan secara baku oleh institusi pendidikan.
Dosen yang bermutu dapat diukur dengan lima faktor utama, yaitu kemampuan profesional, upaya profesional, kesesuaian antara waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya, dan kesejahteraan yang memadai. Oleh karena itu, dalam upaya peningkatan mutu pendidikan tinggi, dosen seharusnya menjadi pusat perhatian saksama.
Perguruan tinggi yang tidak dapat mempertahankan mutunya akan kalah dalam berbagai persaingan. Apa pun bentuk pengelolaan perguruan tinggi, tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan mutu produktivitas yang berkelanjutan, karena tahap akhir mutu kinerja perguruan tinggi sangat ditentu-kan oleh mutu kinerja kolektif masing-masing anggota sivitas akademika, termasuk dalamnya, dosen. Dengan demikian maka pengelolaan dosen harus mempunyai sasaran utama, yaitu kenaikan mutu produktivitasnya melalui peningkatan efisiensi kerja sebagai tenaga pendidik, peneliti dalam pengabdian kepada masyarakat atau lebih tepat dalam pelayanan jasa kepada masyarakat.
Untuk memperoleh sistem pendidikan tinggi yang produktif, maka sasaran utama pengelolaan dan pemberdayaan harus diarahkan kepada dosen yang berkebudayaan wirausaha dengan ciri: (a) percaya diri, (b) berorientasi pada tugas dan hasil, (c) berani mengambil risiko demi kemajuan, (d) berjiwa kepemimpinan yang terbuka dan mudah bergaul atau bekerjasama, (e) berpikir ke arah yang asli, dan (f) orientasi ke masa depan. Pengembanganan kebudayaan kewirausahaan para dosen, dilakukan dengan melalui jalur pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat yang secara keseluruhan bernuansa kewirausahaan. Sumberdaya dosen yang berjiwa kewirausahaan akan menjaga profesionalitas dalam kariernya sesuai dengan kompetensi ilmunya. Secara terbuka akan berani mengatakan dan membela kebenaran ilmiah, dengan tetap berada pada posisinya sebagai seorang dosen.
Produktivitas dan mutu karya tulis seorang dosen mencerminkan mutunya sebagai dosen yang mampu menjalankan fungsi keilmuan, bukan sekadar mengajar. Pada gilirannya, kinerja dosen yang banyak membaca, menulis, dan meneliti, akan berbeda dengan mereka yang hanya membaca kemudian mengajar.
Dalam mengajar, tipe dosen yang pertama akan lebih kaya, karena mereka telah memperlakukan ilmu baik sebagai proses maupun sebagai produk. Mereka tidak kehilangan akal dalam mengajar atau membimbing mahasiswa, karena tersedia banyak referensi dalam pikirannya.
Di pihak lain, tipe dosen yang kedua hanya memperlakukan ilmu sebagai produk, sehingga cara mengajarnya akan kering. Kegiatan fungsi keilmuan yang dimaksud di sini meliputi salah satu atau semua dari empat kegiatan ini: (a) penelitian, (b) pengkajian, (c) pengkomunikasian hasil-hasil penelitian dan pengkajian, dan (d) aplikasi hasil-hasil penelitian dan pengkajian dalam praktik. Dalam keempat kegiatan ini terlibat kegiatan usaha memperoleh, memahami, memecahkan, dan menemukan sesuatu. Sesuatu menunjuk kepada masalah yang dipelajari. Dalam hal ini kegiatan keilmuan melibatkan kemampuan berpikir tingkat tinggi dalam rangka menjelaskan dan mencari jawaban atas masalah-masalah keilmuan.
Indikator Keberhasilan di Perguruan Tinggi
Salah satu ukuran keberhasilan implementasi Sistem Manajemen Mutu (SMM) di Perguruan Tinggi (PT), digunakannya fakta dan data sebagai dasar pengambilan keputusan ditingkat pimpinan puncak. Pada umumnya data dan fakta PT sebelum mengimplementasikan SMM kurang lengkap sehingga menyulitkan untuk mengukur keberhasilannya. Sudah menjadi fenomena umum banyak aktivitas yang telah dilakukan oleh PT, hanya sekedar melakukan. Kadang tidak terpikirkan bahwa segala aktivitas yang telah dilakukan itu juga perlu direkam apakah dalam bentuk pelaporan aktivitasnya itu sendiri dan juga produk yang dihasilkan dari aktivitas tersebut. Dalam mengukur keberhasilan implementasi SMM di PT, maka dapat dilakukan dengan membandingkan rekaman fakta dan data sebelum dan sesudah mengim-plementasikan SMM. Rekaman ini tidak hanya sangat penting ketika akan digunakan untuk mengukur keberhasilan suatu kegiatan tetapi juga ketika akan mengukur keberhasilan implementasi SMM di PT tersebut. Karena ketidaktersediaan rekaman ini maka pengukuran keberhasilan menjadi sulit untuk dilakukan. Pada dasarnya untuk mengukur tingkat keberhasilan implementasi SMM dapat dilakukan dengan 2 (dua) metode yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif.
1. Metode Kualitatif
Metode ini membandingkan suatu kondisi secara diskriptif keadaan dan kejadian secara penggambaran dan disajikan dalam bentuk kualitatif bukan dalam bentuk kuantitatif. Misalnya, mendiskripsikan kemudahan dalam pengambilan dokumen sistem mut, atau kemudahan menelusuri baik dokumen mutu maupun rekaman dari proses kegiatan.
2. Metode Kuantitatif
Metode ini membandingkan suatu kondisi sebelum dan sesudah implementasi SMM dengan menyajikan data dan fakta dalam bentuk angka kuantitaitif. Semua kegiatan, keadaan dan kejadian digambarkan dan disajikan bukan dalam bentuk kualitatif tetapi dalam bentuk angka-angka dengan analisis kuantitatifnya.
Untuk mengukur keberhasilan implementasi SMM di PT, tidak sama dengan indikator-indikator di perusahaan manufaktur, karena core-businessnya jelas berbeda. Untuk dapat mengukur tingkat keberhasilan implementasi SMM ini rekaman data dan fakta harus tersedia. Indikator-indikator ukuran keberhasilan ini dapat dilihat dari sisi produktifitas pemblejaran mahasiswa, produktifitas karyawan dan dosen, efisiensi proses internal, dan efektifitas pendanaan.
a. Produktifitas Pembelajaran Mahasiswa
Produktifitas merupakan sebuah konsep yang menggambarkan hubungan antara hasil dan sumber daya yang digunakan. Produktifitas adalah mengukur efektiftas penggunaan sumber-sumber produktif. Misalnya:
- Berapa persen MK yang jumlah pertemuan tatap mukanya sesuai dengan standar yang telah ditetapkan (misal standar pertemuan 16 kali, termasuk 2 kali ujian).
- Berapa persen bahan ajar yang tersedia dari jumlah MK yang diselenggarakan.
- Berapa persen Satuan Acara Perkuliahan yang tersedia dari jumlah MK yang diselenggarkan
- Berapa persen dosen yang hadir sesuai dengan standar pertemuan yang telah ditetapkan
- dan lain sebagainya (masih banyak yang bisa dikembangkan).
b. Produktifitas Karyawan dan Dosen (Indeks Kinerja Karyawan dan Dosen)
- Berapa persen karyawan yang IKK-nya di atas 3.
- Berapa persen dosen yang IKD-nya di atas 3
- Berapa persen unit satuan kerja yang IKSK-nya di atas 3
- Berapa persen karya tulis ilmiah dosen yang di publikasikan
- dan lain sebagainya (bisa dikembangkan lebih lanjut)
c. Efisiensi Proses Internal
- Berapa persen mahasiswa yang kuliah tepat waktu
- Berapa persen mahasiswa yang mengambil Tugas Akhir tepat waktu
- Berapa persen unit satuan kerja yang Indeks Kinerjanya di atas 3
- Berapa persen unit satuan kerja yang mampu melayani tepat waktu
- dan lain sebagainya (bisa dikembangkan lebih lanjut)
d. Efektifitas Pendanaan
- Berapa persen alokasi biaya untuk proses pendidikan yang bersumber dari SPP
- Berapa persen alokasi biaya untuk pengembangan karyawan dan dosen
- Berapa persen alokasi biaya untuk dana penelitian dan pengabdian masyarakat
- Berapa persen alokasi biaya untuk pengembangan fasilitas pendidikan
- dan lain sebagainya (bisa dikembangkan lebih lanjut)
Selain indikator-indikator produktifitas, bisa juga digunakan indikator yang berkaitan dengan perangkat SMM-nya, misalnya :
a. Ketersediaan Dokumen
Ukuran keberhasilan dapat juga, menggunakan indikator keberadaan dan ketersediaan dokumen sistem mutu beserta rekaman mutu di tempat yang terkait. Dokumen dan rekaman mutu ditentukan dengan jelas dan diterapkan secara konsisten. Indikator sederhananya, jika ketersediaan dokumen dan rekaman mutu belum dijamin mudah diambil dan disajikan ketika dibutuhkan maka dapat dikatakan bahwa program implementasi SMM di PT tersebut, belum berhasil.
b. Kemudahan Telusur Dokumen
Ketersediaan dokumen dan rekaman mutu saja, tidaklah cukup, tapi isinya juga harus mudah ditelusur. Penelusuran dokumen dan rekaman mutu diperlukan untuk melihat urutan kronologis proses dan bagian yang mengerjakannya. Bila terjadi masalah akan mudah diketahui dan dengan cepat mudah diatas atau dicari solusinya. Kemudahan telusur dokumen dan rekaman ini akan menghindari saling lepas tanggungjawab.
c. Mutu Jasa
Karena semua proses terekam dan terdokumentasi dengan teratur dan konsisten, maka dengan menggunakan SMM ini kualitas jasa yang dihasilkan akan menjadi lebih baik dan terkendali. Hal ini akan mengurangi tingkat kesalahan dan ketidaktepatan dari jasa yang dihasilkan. Bila tingkat kesalahan dan ketidaktepatan dari jasa yang dihasilkan masih tinggi maka implementasi SMM di PT tersebut belum berhasil.
d. Keluhan Pelanggan
SMM ditujukan untuk memberikan kepuasan kepada mahasiswa dan stakeholders lainnya, sehingga keluhan ketidakpuasan mahasiswa dan stakeholders merupakan indikator keberhasilan program. Bila setelah menerapkan SMM ini, keluhan mahasiswa dan stakeholders lainnya dapat dikurangi, maka implementasi SMM di PT tersebut berhasil. Namun demikian, keluhan-keluhan pelanggan tersebut perlu dikaji dan dianalisis dengan menggunakan metode kuantitatif.