Tuhan dalam keadaan sejati-Nya tanpa wujud, nama, pekerjaan, dll disebut Paramashiva. Ciri-ciri pemujaan adalah tiga jenis bentuk, yang diambil Tuhan dalam posisi umum berdiri berhubungan dengan dunia. Keadaan yang tidak terlihat oleh mata, keadaan yang dilihat oleh orang bijak melalui kebijaksanaan, adalah yang tidak berwujud. Natarasara, Dakshinamurti, Mathoru Bagan dll., yang terlihat oleh semua orang di dunia, adalah gambarannya.
Dalam susastra Hindu di Bali banyak dijumpai ajaran Shaiva siddhanta. Ajaran Shaiva Siddhanta di Bali merupakan kelanjutan dari ajaran Sekte Siwa Gama yang masuk ke Indonesia sekitar abad ke 4. Namun dengan perpaduan antara konsep-konsep Siwa, Tantra, Buddha Mahayana, Trimurthi dan juga paham Waisnawa maka lahirlah konsep Siwa Siddhanta Indonesia. Adapun konsep ajaran Shaiva Siddhanta Indonesia lebih banyak berpedoman pada konsep ajaran lokal serta ajaran yang telah berkembang sebelumnya seperti konsep Siwa, konsep Waisnawa, konsep Tantra, konsep Tri Murthi, bahkan konsep Buddha Mahayana yang kesemuanya dipadukan sehingga menghasilkan konsep-konsep yang dituangkan ke dalam lontar-lontar yang kemudian menjadi dasar konsep Saiva Siddhanta Indonesia, konsep-konsep yang dimaksud adalah Bhuwana kosa, Wrhaspati tattwa, Tattwa Jnana, Ganapati tattwa, bhuwana Sang Ksepa, Siwa Tattwa Purana, Sang Hyang Maha Jnana, dan sebagainya. Dari sekian banyak susastra Hindu di Bali, sesuai dengan sumbernya; maka sangat kaya dengan nilai-nilai filsafat Hindu, terlebih lagi dengan ajaran Shaiva Siddhanta.
Shaiva Sidhhanta menempatkan Siwa sebagai realitas tertinggi, jiva atau roh pribadi adalah intisari yang sama dengan Siwa, walaupun tidak identik. Juga ada Pati (Tuhan), pacea (pengikat), serta beberapa ajaran yang tersurat dalam tattva sebagai prinsip dalam kesemestaan yang realita.
Salah satu sekte yang termasuk dalam sekte Siwa adalah sekte Pasupata yang juga menempatkan Siwa sebagai realitas tertinggi. Sekte ini memiliki perbedaan dengan Shaiva Siddhanta, tetapi ia merupakan bagian dari Shaiva Siddhanta itu sendiri karena Shaiva Siddhanta itu merupakan gabungan atau peluruhan dari semua sekte yang ada di Bali. Bedanya dengan Shaiva Siddhanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya/bersthananya Dewa Siwa.
Jadi, penyembahan linggam sebagai lambang Siwa adalah merupakan ciri khas sekte Pasupata yang merupakan sekte pemuja Siwa dengan menggunakan linggam sebagai sarana dalam pemujaan kepada Sang Hyang Siwa.
Makna Siwa Lingga
Shiva Lingam adalah penyebab dari bentuk yang tidak terlihat dan bentuk yang terlihat.
Shivam + Lim + Gum = Shiva Lingam.
Shivam juga berarti Mangalam. Lim – lyam, mengembun. Kam – datang, muncul. Sebuah tanda yang menyebabkan kondensasi dan munculnya. ‘Karena bentuk-bentuk yang tak terlihat.
Linggam yang berarti tanda, ciri, isyarat, sifat khas, bukti, keterangan, petunjuk, lambang kemaluan laki-laki, terutama lingga Siwa dalam bentuk tiang batu, Patung Dewa, titik tuju pemujaan, titik pusat, pusat, poros, sumbu .
Sedangkan pengertian yang umum ditemukan dalam Bahasa Bali, bahwa lingga diidentikkan dengan: linggih, yang artinya tempat duduk, pengertian ini tidak jauh menyimpang dari pandangan umat beragama Hindu di Bali, dikatakan bahwa lingga sebagai linggih Dewa Siwa.
Petunjuk tertua mengenai lingga terdapat pada ajaran tentang Rudra Siwa telah terdapat di hampir semua kitab suci agama Hindu, malah dalam berbagai penelitian umat oleh arkeolog dunia diketahui bahwa konsep tentang Siwa telah terdapat dalam peradaban Harappa yang merupakan peradaban pra-weda dengan ditemuinya suatu prototif tri mukha yogiswara pasupati Urdhalingga Siwa pada peradaban Harappa. Kemudian pada peradaban lembah Hindus bahwa menurut paham Hindu, lingga merupakan lambang kesuburan. Perkembangan selanjutnya pemujaan terhadap lingga sebagai simbol Dewa Siwa terdapat di pusat candi di Chennittalai pada sebuah desa di Travancore, menurut anggapan orang Hindu di India pada umumnya pemujaan kepada lingga dilanjutkan kepada Dewa Siwa dan saktinya.
Dalam Lingga Purana, lingga merupäkan yang erat kaitannya dengan konsep wujud alam semesta yang tak terhingga dan kemaha-kuasaan Tuhan. Lingga pada Lingga Purana adalah simbol Dewa Siwa (Siwa lingga). Semua wujud diresapi oleh Dewa Siwa dan setiap wujud adalah lingga dan Dewa Siwa.
Kitab Lingga Purana dan Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung semakin memperkuat kenyataan bahwa pada mulanya pemujaan terhadap lingga pada hakekatnya merupakan pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam wujudnya sebagai Siwa.
Kitab-kitab Purana banyak memberikan gambaran tentang cerita maupun keutamaan yang diperoleh dari Sivalingga, Oleh karenanya Sivalingga dijadikan sarana sebagai objek pemujaan.