Tata Cara Mendem Sawa dan Pelaksanaan Ngaben Sederhana


3. Ngaben SAWA Pranawa

Nyan tingkahing Ameanawa Sawa puput ring setra, yadyan wong pejah, yadyan sawa sampun mapendhem, olihe ring smasana, muah sane asekah, yang harep amranawa, wenang yeki pala kwanya. Prateka ika, tanpa larungan, tan pancet gantung, tanpamaya dhipa, tan hanang gagutuk; mwang pisang jati, tanpasalu pindha, monbinresihan juga rumuhan. Wus asuci, tiwaki tirtha pamanah, mwah kajang, wus mangkana ginawa muring pangesengan, tiniwaken tirtha pangentas, tandwa geseng. Wus bhinasmi hasti ika inguyeg, winadhahan klungah nyuh gadhing kinasturi, wastra pinge, Ivan saka rika, rineka ikang hasti, muring pangastriyan, Iwir widhana nya nasi angkeb, bubuh pirata, nasin rare, plok katampi, hunter-hunter, dengdeng, bandeng, mwah kasturyan. Guru soda panganten, putih kuning, pros, lis, daksina, mwah panjang hilang, Nora mwah mabanten teben. Ring sanggar sui asoroh, wus pinyos hanyut riug samudra, ring walahar, wenang

(Padma Udadi, lb. 12-13).
Artinya:

Ini perihal Amranawa Sawa. Selesai di setra. Walaupun baru meninggal, walaupun sawa sudah ditanam, di setra. Juga yang memakai perwujudan (pengawak), kalau mau memranawa, boleh. Ini pelaksanaannya: Upakara itu tidak memaka, “pelarungan”, tidak memakai “paccet gantung”, tidak memakai “mayadhipa”, tidak ada gagutuk dan pisang jati. Tidak memakai “salu pindha ”, Harus dibersihkan juga dahulu, setelah demikian dibawa ketempat pembakaran diciprati tirtha pangentas, lalu bakar. Setelah lumat, tulang itu di “uyeg”, ditempat pada kelungah kelapa gading yang sudah dipotong pantatnya, dikasih pakaian putih. Lain dari sana, diwujudkan tulang itu dibale pangastriyan. Setelah selesai diangkat bebanten sekar pamugpug, bablonyoh, kwangen pangrekan, bebantennya, nasi angkeb, bubur pirata, nasi rare, plok katampil. unter-hunter, dengdeng, bandeng, dan kasturyan, guru, soda pengenten, putih kuning, pras, lis, daksina, dan panjang hilang. Tidak ada lagi banten teben, di Tutuwan suci 1 soroh, setelah dipuja, dibuang di laut, di sungai boleh.

A. Untuk Sawa yang baru Meninggal (Amranawa Sawa)

  1. Dibersihkan sebagaimana biasa, seperti sawa akan dipendhem (lihat di muka).
  2. Dilelet dengan lante dan kain putih ditutup dengan rurub kajang, kereb sinom tujuh helai dan ditaburi bunga harum serta minyak wangi.
  3. Sawa diusung ke setra. Yang berjalan paling di muka mereka yang membawa sundih, tah mabakang-bakang, dan mereka yang menaburkan sekarura. Setelah itu baru sawa, dibelakangnya para keluarga dan masyarakat desa.
  4. Tiap-tiap melalui simpang empat, sawa diputar kekiri 3 kali ini prasawya namanya, sepanjang jalan sekarura ditaburkan.
  5. Setelah sampai di setra, sawa diputar lagi 3 kali kekiri (prasawya), dan berhenti dimuka pemasmia. (pancaka). Anak cucu membersihkan pemasmian itu dengan ujung rambutnya. Setelah itu diletakkan di atas pemasmian. Kajang dan Kereb sinom diambil dan dijunjung di belakang tirtha. Lante, tikar dan kain rurub bagian atas di buka.
  6. Kemudian sawa itu diperciki tirtha yakni tirtha pangelukatan, tirtha pemanah, dan tirtha Pangentas lalu diikuti dengan tirtha dari sanggah Pamrajan dan dalem Mrajapati.
  7. Rurub kajang, kereb Sinom dipasang kembali.
  8. Setelah itu Sawa dibakar dengan api yang disebut: Citta Gni, yang dapat dimohon pada pendeta, atau mohon dipura Mrajapati.
  9. Dalam pembakaran mayat ini dipergunakan kayu api yang harum seperti majegau, manengen dan lain-lain. Lante dan pengulungan dapat dibuka dan ditaruh pada kayu api dibawah sawa.
  10. Setelah basmi, semua terbakar lalu dihaturi saji “geblangan”. Apinya disiram dengan “toya panyeheb”. Menyiram api pemasmian dengan mantram:

    om gangasanta, gariga angamijilaken sakaton sakarengo, amijilaken manik astagina, amijilaken Srisedhana, srisadhana amijilaken pala bogha, tan sah ring awak sarinrankun, angwruhaken lekasing asamhidana, Orh ang atma tattwa atma sudhamam swaha, Orh ksama sampuma ya namah swadha, Om ang ah swadha.
    sarana: Air pada tempayan.

  11. Ngasti wedhana (mengupakarakan tulang), terdiri dari:
    1. Memungut galih (tulang).
      Mempergunakan sepit. Pekerjaan ini disebut “inupit” dan nyumput areng. Memungut galih yang telah disiram dengan air, mempergunakan tangan kiri, dari bawah ke atas, (Upeti) lalu diganti dengan tangan kanan atas ke bawah (sthiti), dilanjutkan dengan tangan kiri lagi dari bawah ke atas (Pralina). Galih-galih itu ditaruh pada sebuah “Senden”. Setelah terkumpul disirati air kumkuman 3x, ditaburi sekarura 3x. Dengan mantranya:

      om ang ati sunya ya namah, om ang Parama Sunya ya namah, Om ang Parama nirbhana ya namah.

    2. Nguyeg (menggilas) galih yang telah terkumpul pada senden setelah diisi wangi-wangian, lalu digilas (uyeg). Alas penggilasnya adalah tebu ratu, dilakukan juga dengan tangan kiri. Pekerjan ini dilakukan pada bale Pengastrian.
    3. Ngreka (mewujudkan). Bagian-bagian yang halus dari galih itu, diambil dengan “sidu” dan dimasukkan pada kelungah nyuh gading yang telah dikasturi. Klungah Nyuh Gading itu lalu dikasi pakaian putih (udeng sekah) dibuatkan prarai dengan kwangen.
      Bagian galih yang kasar, direka dengan kwangen pangrekan. Di bawah disertakan lalang kalau laki-Iaki. 54 biji, kalau perempuan 27 biji, disusuni dengan sekar sinom dan canang wangi, pakaian baru setumpuk dan tigasan putih kuning. Galih yang telah direka ini ditaruh di atas jempana (penganyutan).

    4. Narpana.
      Setelah selesai ngereka lalu Pendeta memujakan tarpana. Sajen Tarpana terdiri dari:
      1. Nasi angkep
      2. Bubuh pirata
      3. Panjang ilang,
      4. Nasinrare
      5. Plok katampil, huter-huter, dengdeng bandeng, dan kasturyan (pesucian)
      6. Guru
      7. Pras
      8. Soda panganten putih kuning, daksina, lis (satu soroh eedan).
      Di Sanggar surya dipersembahkan:
      Suci asoroh. Dalam pelaksanaannya dilengkapi dengan: Penyeneng, Jerimpen, sayut 1 pasang, jajan 4 warna yang dikukus, dan tigasan saperadeg. Di Sanggar Surya dipersembahkan suci satu soroh.
      Upakara di pawedaan (dimuka Pendeta memuja) :
      Suci, pras, daksina, periuk, kuskusan dan cedok pepek, lis, prayascita, durmanggala Sekarura, kwangen pangrekan dan uang kepeng 66 biji. Bunga dan kwangen pebhaktian.

    5. Ngirim (nganyut).
      Setelah selesai narpana yang diakhiri dengan sembah dari sanak keluarga, lalu dilanjutkan dengan upacara ngirim (nganyut). Sebelum berangkat pendeta memujakan pengiriman ini yang disertai pawisik kepada Sang Atma, dengan pawisik Mantra asti wedhana sebagai berikut.

      “pakulun Sang Dewa pitara, mangke sira linepasaken, muliha sira maring swarganira, aywa sira anuhutaken dalan ring airiti, dalan maring ka patala ika, dalan maring Airsanya tutaken, denira, teka ta sira ring Suraweyan, ring bale pangenangenan, ika tanggonya areren, apan parerenan hyang Dewa pitara kabeh, sah pwa sira Bale pangenangenan, teka pwa sira ring Banjaran Santun, aywa sira ametik kambang, manawa kadenda sire de sang Widhyadara-widhyadari, den lumaris lampahira, liwat po sira ring wot-wot gonggang, teka pwa sira ring babahan sanga, aywa sira ka gedong lawang, panca lukita lawang ring hyang Dorakala, tuten denira dalan maring Wisnu loka. teka pwa sira ring Wisnu padha. Lumaris ta sira maring kadewatan, anuli ta sira maring purwa, maring kahyangnira Hyang Wisesa, teher tinakon patin ira denira hyang Wisesa. Warakna patinira, eling sira ring samayanira, tinuduhaken sira riaring Wisnubhuana, denira bhatara wisesa. Madumunang pwa sira irika, apan dunungan hyang Dewa pitara kabeh, teka pwa sira ring swarga.

      Setelah selesai memberikan pawisik itu, lalu jempana sebagai pengusungan sekah dan galih yang direka diangkat, lalu mengelilingi pemasmian 3x (mapurwa daksina).
      Di dalam perjalanan menuju sungai atau laut, setiap menjumpai pura sekah dipamitkan dengan sembah. Perjalanan hendaknya diikuti dengan kakawin atau kidung. Setelah sampai di sungai atau laut, kain dan perhiasan lainnya diambil.

    6. Mapepegat sama dengan mapepegat ketika pada mendhem Sawa.

 

B. Untuk Sawa yang Telah Dipendhem

Tiga hari sebelum pengabenan diadakan upacara Ngeplugin atau Ngulapin.

Pejati dan Pengulapan di jaba pura Dalem dengan sarana bebanten:

Untuk pejati antara lain :

Satu soroh bebanten dengan sesantun, dan segehan.

Untuk Pengulapan terdiri dari :

Pengulapan. Pengambeyan, Jerimpen, Sayut, Peras dengan guling itik, Daksina serta segehan.

Bagi mereka yang ditanam belum mencapai satu tahun dibuatkan banten “penebasan” yang terdiri dari: 

Suci, Peras, Daksina, Jinah 800 kepeng, Beras sepuluh kulak.

Sajen untuk Dewa Yama dan untuk Sedahan Aweci, masing-masing:

Pangkonan dengan dagingnya daging babi.

Piuning ke Prajapati bantennya:

Satu soroh peras penyeneng dengan sesantun.

Ketika ngulapin, jemek dan penuntungan disertakan. Dan setelah selesai ngulapin dapat dibawa ke rumah.

Menggali tulang
  • Pada hari pengabenan, di pagi hari, tulang sawa yang telah dipendhem digali.
  • Tulang itu dibersihkan dengan air boning dengan mempergunakan ujung alang-alang.
  • Setelah bersih dikumpulkan, lalu disiram dengan air kumkuman.
  • Selanjutnya digulung dengan kain putih dan tikar kelasa, kemudian ditutupi lagi dengan kain putih.
  • Selanjutnya ditaruh pada rompok keeil, dipersembahkan dahar. Gulungan tulang juga dibungkus dengan daun telunjung.
  • Tulang lalu dijaga baik-baik.
Pembakaran tulang
  1. Ketika hari pengabenan, jemek dan tulangnya dipersatukan pada pemasmian. Tulangnya dibawah jemeknya di atas.
  2. Kemudian berlaku ketentuan seperti Amranawa Sawa yang baru meninggal.
  3. Ngasti sampai ngirim juga sama dengan ketentuan Amranawa Sawa baru meninggal, seperti telah diuraikan dimuka.


Sumber Buku Ngaben

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga