Tata Cara Mendem Sawa dan Pelaksanaan Ngaben Sederhana


Arti Simbolik Upakara dan Bebantenan Ngaben

Dalam upacara Pengabenan sederhana, juga memerlukan Sarana-Upakara, tetapi tidak begitu banyak. Sarana upakara dapat berbentuk banten, maupun upakara yang merupakan simbol-simbol badan manusia, disamping pula sarana upakara yang berfungsi sebagai pembersihan.

 

Awak-awakan

Awak-awakan adalah pengganti badan (sarira) dan sang mati. Awak-awakan ini dibuat khusus untuk sawa yang pernah mependhem. Untuk Sawa Pranawa awak-awakan itu dapat dengan Cendana yang panjangnya 1 lengkat ditambah satu musti, dengan lebamya 4 nyari, berisi sastra dasasara (Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya), Omkara, dan Rwabhineda (ANG, AH) disertai wong- wongan (gambar manusia) sebagai perwujudan orang mati.
Dalam upacara Ngaben Nywasta, awak-awakan ini dibuat dari : Dyun yang berisi air, cendana 18 potong, lalang kalau laki 54 katih, kalau perempuan ‘ll katih, Recadana, dan benang yang diikatkan pada dyun 2 liter. Awak-awakan ini disebut juga jemek.

 

Tirtha

Untuk upacara Ngaben sederhana ini diperlukan beberapa tirtha, yaitu:

  • Tirtha Pembersihan
  • Tirtha Panglukatan
  • Tirtha Pamanah
  • Tirtha Pangentas

Di luar itu masih ada tirtha yang dipergunakan secara tradisi yaitu:

  • Toya Panembak
  • Tirtha dari Sanggah Pamerajan dan Pura Dalem- Prajapati.

Penjelasan masing-masing Tirtha itu adalah sebagai berikut:

 

A. Tirtha Pembersihan

Adalah Tirtha yang dibuat oleh Pandita untuk membersihkan Sawa yang diabenkan, atau akan dipendhem. Tirtha ini akan dipergunakan ketika “mresihin Sawa atau Awak-awakan Sawa”.

 

B. Tirtha Panglukatan

Tirtha ini juga dibuat oleh Pandita, untuk melukat Sawa yang akan diaben. Tirtha panglukatan ini dibuat dengan mempergunakan eteh-eteh panglukatan, antara lain sibuh pepek, kuskusan, priuk, mingmang, duwiduwi, bunga tunjung, padma.

Tirtha ini disiramkan setelah Tirtha pembersihan, fungsinya untuk menghilangkan Trimala, Pancamala, dasamala.

 

C. Tirtha Pamanah

Tirtha ini juga dibuat oleh Pendeta dengan mempergunakan panah sebagai sarananya. Cara mendapatkan tirtha pamanah ini adalah sebagai berikut:

Sarananya adalah sebuah panah dan air pada sangku. Mula-mula panah itu dibersihkan dengan lis, tepung tawar, dan segau, lalu air pada sangku ditulisi dengan Omkara Mreta. Diangkat busur itu, dikasih mantra, lalu air pada sangku itu dipanah.

Fungsi tirtha pamanah ini adalah untuk menentramkan Atma pada upacara Narpana itu. Penggunaan tirtha pamanah ini dilatarbelakangi oleh cerita gugurnya Bhagawan Bhisma di medan perang Kuruksetra. Bhisma dapat tenang menjelang pelepasan rohnya setelah mendapat persembahan air dari sang Arjuna, yang didapatkan dengan memanah.

Tirtha Pamanah ini disiramkan setelah tirtha Panglukatan.

 

D. Tirtha Pangentas

Diantara tirtha yang dipergunakan, tirtha pangentas lah yang paling penting, yang merupakan unsur pokok dan penentu dari upacara pengabenan.

Bagi orang mati yang di pendhem pun harus memakai tirtha pangentas, namanya tirtha pangentas mapendhem.

Menurut tattwa Kepatian tirtha pangentas mapendhem, ini dapat mengantarkan roh sampai pada Batur kamulan. Juga ada tirtha pangentas untuk orang mati kabebeng.

Untuk tirtha pangentas Sawa yang diaben sarananya adalah:

Priuk kecil dan sukla bergambar padma berdaun delapan, berkalung benang putih tujuh lilitan, pripih mas beraksara dasabayu, mirah, kalpika, alang-alang, padhang lepas, dan kertas walantaga, beraksara 16 (sad dasa sara), yaitu :

SANG, BANG, TANG, ANG, ING, NANG, MANG, SING, WANG, YANG, ANG, UNG, MANG, ANG, AH, OM.

Mula-mula priuk diukup dengan asep, tertelungkup menengadah, lalu diisi air, kemudian dimasukkan pripih emas, mirah, kalpika, kedalam priuk, selanjutnya dimasukkan alang-alang dengan sehet mingmang, yang panjangnya satu jengkal kedalam priuk. Berikutnya pada lepas 108 pucuk.

Terakhir walantaga yang berisi aksara 16 seperti tersebut di alas.

Kerias waiantaga ini dijepit dengan lidi halus dua balang putih. Pada ujung lidi ini digantungi kertas putih berbentuk trisula yang berisi huruf ANG UNG MANG.

Sedangkan pangentas untuk orang mati kabebeng, dengan panglukatan Gni Ngalayang, dengan upakaranya :

beras 6 kulak, kampuh 2 paradeg, pisang 4 paha, gula 2 bungkul, kelapa 4 bungkul, raka-raka, ketan, injin, kaeang komak, sudang, taluh 4, pripih emas berat 800, kalau tidak emas uang 9000, 4000 kepeng.

Memperhatikan bahan-bahan yang dipergunakan dalam membuat tirtha pangentas itu, jelaslah tirtha itu berfungsi pensucian dan panglepasan. Lalang mingmang, adalah sarana pensucian. Sedangkan padang lepas, aksara kalepasan adalah untuk melepaskan sang Atrna dari ikatan badan duniawi, serta mengantarkannya di dunia bebas (lepas).

Ketika menyiramkan tirtha pangentas ini, Kajang harus diangkat. Sawa dilengkapi dengan wastra pakebah anyar.

Menyipratkan tirtha Pangentas ini dengan mempergunakan ilalang dan mingmangnya dan mengenai Sawa bagian mukanya. Wulantaga- nya dibuka, dan ditaruh pada bagian muka Sawa atau awak-awakan Sawa.

Setelah tirtha pangentas, diikuti dengan tirtha dari sanggah Pamrajan dan Pura Dalem Mrajapati.

Dalam pelaksanaannya di masyarakat, juga dipergunakan toya panembak, yaitu toya tukad (sungai) yang dicari sendiri oleh pretisantananya pada tengah malam.

Toya ini disiramkan paling dahulu, sebelum tirtha pamanah, atau tirtha pangentas.

Toya panembak ini sebagai simbolik dari kesungguhan dan keikhlasan hati pretisantana terhadap leluhumya. Toya panembak artinya toya yang berfungsi untuk menembakkan Atma leluhumya ke alam pitara. Memang pretisantananyalah yang mempunyai kewajiban itu.
Kemudian dipakai tirtha dari sanggah pamrajan dan Pura Dalem Mrajapati, adalah berfungsi sebagai keterangan bahwa mereka telah dilepas dari ikatan-Nya secara individual dengan sesuhunan-nya.

Demikianlah arti simbolik dari tirtha-tirtha yang dipergunakan pada upacara ngaben itu.

Papaga

Papaga adalah bale dimana Sawa itu dibersihkan.
Bale ini juga disebut bale pandyusan, bale tempat mandi. Bale tempat Sang Pitara mendapatkan Kunapa Bhiniseka dalam upacara Ngaben pranawa, disebut Papaga panimbal, Papaga ini lantainya diikat dengan kawat pancadatu yaitu kawat emas, selaka, tembaga dan besi.

Papaga ini berfungsi sebagai tumpang salu, sebagai pelinggihan Pitra ketika disamskara.

 

Jempana

Bentuknya seperti kursi. Jempana ini berfungsi sebagai usungan hasti yang telah direka, serta sekah sebagai bagian dari badan yang telah dibakar, kemudian untuk dilarung ke laut atau ke sungai.

 

Bale Pangastryan

Adalah bale yang dibuat dari bambu, bertiang empat beratapkan ilalang. Bambunya diusahakan bambu gadhing.

Bale ini sebagai tempat upacara “Hasti wedhana”. Tempat ngyuyeg galih, ngreka galih dan lain-lainnya. Ketika ngasti Widhana bale ini dihias, dihamburi bau-bauan yang wangi- wangi.

 

Tatukon Pengiriman

Adakalanya Upacara Ngaben sederhana ini dilengkapi dengan sebuah tatukon yang disebut tatukon pangiriman. Dilihat dari isinya, tatukon ini adalah merupakan kelengkapan badan manusia. Kelengkapan badan sang Mati, disimbolkan dengan tatukon ini.

Isinya dihubungkan dengan bagian-bagian badan manusia, seperti halnya;

Arak sebagai darah, paya tanduk 2, tuhung bulan, nangka, timbul, baliga, papare, botor, kacang- kacangan, temu-temu, bija ratus jangkep, batu kasumba sebagai “seranduning badan”. Ketimun sebagai betekan batis, piling-piling sebagai anak-anakan mata dan seterusnya.
Kelengkapan badan ini dibuat untuk mengganti badan yang sebenamya, yang tidak berfungsi lagi.

Dan inilah simbol dari kelengkapan badan itu yang diupacarakan.

 

Ganjaran serta penyertanya

Adakalanya juga upacara Ngaben sederhana itu di masyarakat dilengkapi dengan ganjaran dengan pengikutnya.

Kulambi pinaka kulit, Wangsul sebagai dalamakan kaki, tatopong sebagai lutut, Gaganjar sebagai lengan, sangku sebagai kembungan air kemih, ilih sebagai nafas, kotak mata isi, Tiga sampir sebagai wat gagending, dan tabla sebagai kepala.

 

Kajang

Kajang artinya selimut. Adalah kain putih yang bertuliskan Sad Dasa Aksara (16 Bijaksara). Kajang ini berjenis-jenis. Masing-masing menurut apa yang diperintahkan dalam Prasastinya. Kajang adalah simbol dari pada kulit. Semua aksara menandai bagian tubuh manusia, tertulis disana.
Di samping Kajang gede yang merupakan selimut sawa, juga ada Kajang “Alit” yang ditutupkan pada bagian-bagian sawa yaitu:

  • Patrang ditutupkan pada kelapa.
  • Angkeb rai adalah penutup muka.
  • Don byu ikik adalah penutup bagian dada.
  • Plasa adalah pembungkus pung gung.
  • Kakumul adalah penutup badan bagian bawah.
  • Kekuyang adalah penutup bagian kaki. Baik Kajang Gede, maupun Kajang Alit di atas juga ditulis dengan aksara kalepasan, yaitu Aksara yang digunakan untuk melepaskan Sanghyang Atma dari kurungannya.

 

Kereb Sinom

Kerep artinya krudung bunga. Kereb sinom ini dibuat dari ulatan daun rontal. Gunanya sebagai kerudung. Kreb Sinom juga artinya Krudung muda atau krudung bunga. Disebut juga kreb sari. Kreb ini dibuat dari ulatan daun rontal. Peralatan ini berfungsi sebagai krudung.

 

Angkep Rai

Angkep rai adalah kain putih yang beraksara yang dipakai menutupi muka Sawa.

 

Pengulungan

Dibuat dengan tikar dan kain putih (kasa). Kain putih bertuliskan Padma dengan aksara Walung Kapala. Aksara Walung Kapala adalah aksara kulit manusia. Jadi pangulungan adalah simbolik dari kulit itu sendiri.

 

Lante atau Rante

Dibuat dari sebitan (serpihan) penyalinan atau rotan. Penyalin ini digulungkan dengan tali ketikung yang dibuat dari penyalin atau bambu.

Ketekung adalah perubahan dari ulat menjadi kupu-kupu. Demikianlah diibaratkan manusia mati, yang merupakan proses untuk lahir kembali menjadi manusia.

 

Selepa

Adalah jenis peti mati lahap pertama. Selepa ini biasanya dibuat dari pohon enau, dimana pada pusarnya (bagian tengahnya) dibuatkan peloncor yang masuk ke dalam tanah. Peloncor ini adalah tempat pembuangan air-air pembusukan Sawa itu.

 

Bandusa

Adalah peti mati tahap kedua. Bentuknya lebih halus. Adalah tempat sawa yang akan dinaikkan ke “Tumpang Salu”, guna mendapatkan eteh-eteh pembersihan tahap kedua, Kuanapa Bhiniseka, tarpana dan Iain-lain.

Bagian alas, lengah dan bawah dari bandusa ini ditulisi aksara kalepasan. Dengan demikian Bandusa merupakan sarana, untuk melepaskan unsur-unsur Sawa kepada asalnya.

Disamping itu bentuk Bandusa adalah menyerupai perahu bercadik. Jadi sama dengan Sarkopag (peti mayal nenek moyang).

Bentuk menyerupai perahu adalah simbol kendaraan penyeberangan. Penyeberangan dari alam nyata ke alam tidak nyata atau kembali kepada asalnya (di alam niskala).

 

Tumpang Salu

Adalah tempat dimana sawa yang ada dalam peti Bandusa mendapatkan Samskara (Penyucian) alau kunapa bhiniseka oleh Pandita.

Tumpang Salu ini dibuat dari bambu gading. Balainya diikat dengan kawat Panca Datu yailu emas, perak. tembaga, timah dan besi. Dengan demikian. balainya merupakan simbol dari bumi. Dinding belakangnya atau parbanya bertumpang.

Oleh karenanya bale ini disebut Tumpang Salu. Tumpang salu merupakan Pelinggihan bagi Sawa dan rohnya. la diibaratkan Naga Tatsaka yang akan menerbangkan roh.

 

Tatindih

Adalah penutup Bandusa. Kain sutra putih yang dikerudungkan pada Sawa, adalah merupakan simbolik dari pada selimut.

 

Wukur

Wukur dibuat dari uang kepeng. Ada menyerupai deling (orang-orangan) yang disebut Wukur deling. Ada yang menyerupai baking (tuiang) yang disebut wukur balung.

Wukur ini diletakkan pada dada Sawa. Wukur berfungsi sebagai tempat tidurnya roh (atma). Disebutkan wukur pakoleman Atma.

 

Sawa Karsian

Bagi Sawa yang telah pernah dipendhem, sebagai penggantinya dibuatkan Sawa Karsian. Bahannya dari kayu majegau yang panjangnya 1 lengkat 1 musti, dengan lebarnya 4 nyari. Digambari orang-orangan dengan recadana dasa aksara. Di bawah Sawa karsian ini ditempatkan lalang, kalau laki-laki 54 batang, kalau perempuan 27 batang.

Sawa karsian adalah simbolik dari badan manusia sawa.

 

Pangrekan

Adalah Kumpulan kwangen sebagai simbol Padma. Terdiri dari 22 kwangen dengan masing-masing berisi uang kepeng. Sebuah diisi lima (paling di atas) yang lainnya masing-masing 2.

Pangrekan ini simbol dari Padma atau bumi. Dimana Bhuana Alit (badan manusia) juga sama. Jadi pengrekan sama dengan badan manusia. Direka artinya dipolakan seperti manusia.

 

Adegan (Pisang Jati)

Adegan artinya perwujudan. Perwujudan dari orang mati. Adegan ini terdiri dari ortnan daun rontal dengan dihiasi dengan kertas sedemikian rupa, lengkap sampai dengan rambutnya. Pada ortnan daun rontal ini ditancapkan lukisan orang- orangan, yang dilukis pada sebilah kayu cendana atau majagau. Lalu dihadapannya ditaruh anak pisang. Karnanya upakara ini disebut juga Pisang Jati.

Pisang Jati mrupakan simbolik dari swadharma manusia utama. la tidak akan berhenti “nangun yasa kerti” atau jasa. Bagaikan si pisang, tidak akan mati seblum dapat mempersembahkan buahnya yang lezat. Pisang jati ini ditaruh pada bagian hulu (luanan) dari pada Sawa. sebagai perwujudan manusia utama.

 

Angenan

Dibuat dengan kelapa yang dihaluskan kulitnya, ditancapkan bingkai yang dilingkari benang tridatu. Didalamnya dibuatkan damar (suluh) minyak kelapa dari kulit telur ayam. Siginya dibuat dari kapas.

Angenan ini adalah simbol jantung manusia. Nyala lampunya adalah Sanghyang Atma. la bersthana pada pucuking hati dan jantung. la berupa sinar yang memberikan hidup semua organ tubuh. la yang menyebabkan mata bisa melihat. la yang menyebabkan telinga bisa mendengar, dan sebagainya.

Angenan ini ditaruh di atas hulu hati Sawa.

 

Sok Bekel

Adalah merupakan bekal bagi orang yang akan kembali kepada asalnya.

Isi sok bekel ini antara lain: Sanggar Surya, Cennin, jinah 200, isi ceraken lengkap. berisi tiuk atau pengutik. Sok bekel ini dihias kain pulih, suntage disebut ponjen, beralaskan bokor bersama gagutuk. Sok bekel ini diletakkan di alas perut Sawa.

Seperti namanya sok bekel. peralatan ini merupakan bekel bagi Savva untuk kembali keasalnya.

 

Lis Pering

Adalah sepasang lis yang dibuat dari ron jaka. Ron ini lidak boleh jaluh ke lanah. Memetiknya dengan cara diulur. Lis pering ini adalah simbol dari Bhumi dengan isinya. Lis ini diletakkan pada kaki Sawa dengan berdiri.

Hal ini merupakan simbolik, bahwa ia tetap berdiri di atas bhumi.

 

Kesi-kesi deling / Jemek

Dibuat dari daun rontal berupa deling, ditaruh pada sebuah wakul kecil yang berisi beras 3 genggam dan uang kepeng 200, benang satukel. Deling dengan wakulnya diberikan pakaian, diisi daun ancak beringin. Dikasi muka (prarai) dari cendana. Dan dikasi rambut.

Kesi-kesi deling ini adalah simbol dari Atma (Preta). Kesi-kesi deling ini diletakkan dilepitan bagian hulu tempat Sawa.

Peralatan yang menyertai Kesi-kesi deling / Jemek :

  • Mameri maguling sebagai papucuk.
  • Geganjar sebagai lengan.
  • Kulambi sebagai kulit.
  • Sangku sebagai kanlung air kemih (kenibungan).
  • Wangsul sebagai alas kaki.
  • Kipas (ilih) sebagai nafas (ambek).
  • Tatopong sebagai lutut.
  • Kotak sebagai isi mata.
  • Tiga sampir sebagai otot gagending.
  • Tabla sebagai hulu.
  • Canang Sari/Canang rebong (dadulangan), sebagai sarana berhias.
  • Tigasan (Dadulangan),juga sebagai kain (wastra) untuk berhias/ pesalinan.
Iber – Iber

Berupa ayam atau burung. Binatang ini diterbangkan ketika sawa mulai dibakar, sebagai simbol perginya Atma dari badan kembali keasalnya.

 

Tah mabakang-bakang

Sabit ini berfungsi untuk merabas apa saja yang merintangi perjalanan Atma untuk kembali keasalnya.

 

Penuntun

Sarananya terdiri dari tulup, yang ditancapkan pada beruk yang berisi: jijih. Beruk ini dialasi wajan yang dilengkapi habanten pras dan penyeneng, lalu dibungkus dengan kain putih. Beruknya dialasi dengan daun lunjung dan dibungkus dengan kaping. Pada tulup memakai singel uang kepeng 225 lalu dihubungkan dengan benang tiga tukel (tridatu).

Benang ini nantinya disambung dengan tali dihu­bungkan dengan sawa pada bandusa. Bersama tulup ini juga disertai guling panjer (guling babi).

Penuntunan ini berfungsi untuk menuntun roh orang yang sudah meninggal agar kembali ke asalnya. Tulup digunakan sebagai penuntun, karena tulup bisa mengarah kepada tujuan yang ingin dicapai.

 

Sanggah Cucuk dan Damar kurung

Adalah jenis Sanggah yang dipakai untuk persembahan kepada bhutakala. Sanggah ini ditancapkan pada pintu keluar pekarangan. Sanggah ini untuk memper-sembahkan upakara bebanten kepada bhutakala yaitu energi dari benda-benda material, termasuk benda-benda material badan manusia, yang sekarang ini telah menjadi Sawa, guna segera kembali kepada sumbernya Panca Maha-bhuta.

Di bawah sanggah cucuk digantung Damar kurung yang dibuat dari kelapa yang dibagi dua. Yang dipakai bagian bawah, lalu dikurung dengan bingkai bambu dan upih. Damar kurung berfungsi menyuluhin marga sanga artinya menyinari jalan sembilan — yakni jalan yang akan dilalui Atma menuju Sorga.

 

Kaki Patuk dan Dadong Sempret

Adalah orang-orangan yang berwujud laki dan perempuan, yang disebut kaki patuk dan dadong sempret. la adalah Purusa- Pradana. Simbol benih yang menjadikan tubuh manusia.

la adalah simbolik dari Kama petak benih laki-laki dan Kama bang benih wanita. Kama petak dan Kama bang berasal dari Sad Rasa. Sad Rasa berasal dari unsur Panca Maha bhuta. Inilah yang menjadi badan manusia.

Kaki Patuk menghadapi sebuah guling. Ini merupakan lukisan bertemunya kama petak dan kama bang, yang menjadikan badan manusia.

 

Wadah / Bade

Adalah pengusungan sawa untuk pergi ke setra. Menurut perlengkapannya wadah ini dibagi tiga, yaitu:

  1. Wadah dengan dasar babogeman.
    Wadah ini sangat sederhana. Tidak memakai bhoma, tidak memakai paksi. Demikian juga hiasannya hanya dengan kertas tanpa kapas. Sanan (pemikul) nya hanya satu gulung.
  2. Wadah dengan dasar bade
    Dasarnya adalah bade, yakni dasar yang mempergunakan Badawang Nala atau hanya palihnya saja. Jenis ini memper­gunakan bhoma dan paksi. Perhiasannya mempergunakan kapas turut pitu (tujuh warna).
    Badawang Nala artinya penyu moncong api. Penyu moncong api adalah simbol dari magma, sumber api dan bumi. Badawang Nala ini dililit oleh Naga. Naga adalah simbol lapisan kulit bumi. Jadi dasar Bade dengan Badawang Nala dan Naga adalah simbolik dari perut dan lapisan kulit bumi. Bhoma pada wadah umum disebut Barong Capluk. Ia tidak bertangan seperti bhoma pada candi, namun mukanya sama saja. Hal ini kiranya hanya semata-mata untuk membedakan antara palinggih Atma dengan palinggih Dewa.
    Bhoma dalam mithologi adalah putra dewi Prathiwi (bhumi) yang dikawini Dewa Visnu dalam wujud sebagai Celeng (Waraha). Bhoma adalah simbol dari hutan atau kayu yang besar- besar. Kayu yang besar-besar digambarkan sebagai Banaspati Raja Hutan. Banaspati memang diwujudkan dalam bentuk Barong. sehingga wajarlah kalau Bhoma disebut Barong Capluk. Paksi adalah Manuk dewata. la tidak lain Garuda. Burung ini adalah wahananya Dewa Visnu, yang dalam Pustaka Suci Veda, dilukiskan menerbangkan Sang Pitara menuju Sorga. Ia dalam kepustakaan lain disebut Sang Kakejering Rat” la yang mengantar Atma menuju alam kalepasan.
  3. Bade
    Adalah wadah dengan papalihan lengkap, serta atapnya bertingkat-tingkat yang disebut tumpang. Bilangan
    tumpang umumnya ganjil, yakni 11, 9, 7, 5 dan 3. Bilangan tumpang melambangkan kekuasaan. Makin besar kekuasaan seseorang atau leluhurnya, maka tumpangnya akan lebih tinggi. Bilangan tumpang menunjukkan arah mata angin. Tumpang liga melambangkan kekuasaan atas tiga dunia, bawah, tengah dan atas. Bilangan lima melambangkan kekuasaan atas utara-selatan, timur-barat dan tengah. Bilangan tujuh melambangkan kekuasaan atas utara-selatan, timur-barat, serta bawah, tengah dan atas. Bilangan sembilan melambangkan kekuasaan alas sembilan penjuru mata angin. Bilangan sebelas melambangkan kekuasaan atas sembilan penjuru mala angin ditambah alas dan bawah: Bade mantan seorang penguasa tunggal, mempergunakan Naga Banda. Naga Banda adalah Naga Tatsaka yang melilit dasar bade itu. Panjang Naga ini meneapai 80 depa, ada 60 depa, dan ada 40 depa. Naga Banda melambangkan keinginan. Betapa besar dan panjangnya keinginan alau cila-cita sang penguasa tunggal (raja). Kalau ini tidak dibunuh ia akan menjadi penghalang bagi rohnya untuk pergi ke Sorga.
    Keinginan yang besar ini disimbolkan dengan Naga Banda. Yang dalam upacaranya, ia dimatikan dengan panah oleh Pendheta Sakti.
    Memanah Naga Banda berarti membunuh keinginan- keinginan sang raja agar jangan merintangi perjalanan roh menuju sorga. Penggunaan wadah atau bade diatur dalam prasasti warga masing-masing yang didasarkan atas penugrahan Dalem atau Raja Bali pada zaman dahulu.

 

Tragtag

Adalah wadah unluk menaikkan Sawa ke wadah. Tangga ini melambangkan undagan yang menuju Sorga. Tragtag ini dibuat dari bambu. Besar kecil dan tinggi rendahnya, tergantung tinggi rendahnya wadah.

 

Ubes-ubes

Adalah sejenis papecut yang mempergunakan bulu merak pada ujungnya. Ubes-ubes ini berfungsi mengarahkan jalannya roh dalam perjalanan.

 

Pemanjangan

Adalah sekarura, yakni bunga kwangen bercampur uang kepeng, yang ditaburkan sepanjang jalan. Sekarura ini merupakan persembahan kepada siapa saja terutama para Bhutakala agar tidak menghalangi perjalanan roh.

 

Cegceg

Adalah beberapa butir padi yang dimasuki uang kepeng. Sepanjang jalan cegceg ini diletakkan begitu saja dipinggir jalan. Cegceg ini berfungsi sebagai oleh-oleh bagi Atma untuk kembali keasalnya.

 

Bale Gumi

Adalah Bale yang berundag tiga dengan lantainya tanah. Bale Gumi adalah tempat Sawa yang akan dibakar. Oleh karenanya juga disebut bale pamuhun atau bale pemasmian. Seperti namanya Bale Gumi berfungsi sebagai bumi.

 

Bale lunjuk / Bale Salunglung

Bale ini ditancapkan pada Bale Gumi. Bale Lunjuk bertiang 4 dan beratap. Bale ini dibuat dengan bambu gading. Pada atapnya “meringring” dengan hiasan warna-warni. Bale salunglung artinya Bale keindahan atau keasrian. Di bawah bale inilah Sawa itu dibakar.

 

Bale Pering

Adalah Bale bersaka empat yang dibuat dari bambu gading. Bale pering ini berfungsi sebagai tempat menghaluskan abu tulang yang telah dibakar (Asli Widhana), dan tempat Ngajum sekah yang merupakan perwujudan Pitra.

 

Patulangan

Adalah tempat untuk membakar Sawa. Bermacam-macam jenisnya, sesuai dengan penugrahan mereka dalam Prasastinya. Ada yang mempergunakan tabla atau peti. Ada gagunungan, ada jenis ikan, sampai ikan terbesar yaitu Gajah Mina. Ada yang mempergunakan binatang seperti Singa, Singa Ambara. Dan ada yang memper­ gunakan Lembu sampai Lembu cemeng.

Penggunaan petulangan ini juga menunjukkan kekuasaan leluhurnya. Petulangan ini berfungsi untuk membakar Sawa atau tulang. Penggunaan jenis petulangan juga diatur dalam Prasasti masing-masing warga.

 

Jempana

Adalah wahana untuk menghanyut atau melarung sekah atau tulang yang telah dihaluskan. Jempana menyerupai tumpang Salu, berfungsi sebagai kendaraan. Juga merupakan tempat “Ngreka” tulang yang tidak lumat. Jempana juga berfungsi sebagai Tumpang Salu. Jempana juga tempat Sekah dalam menerima tarpana. 

 

Bale Pawedaan

Adalah bale tempat Pendeta memuja.

 

Sanggar Surya

Adalah sanggar untuk mempersembahkan banten upasaksi kepada Surya. Pada Sanggar ini disertakan byu lulung dan udu peji.

Byu lalung simbol dari keikhlasan Sang Yajamana. Dalam beryajna ia bersih tidak membutuhkan buahnya atau hasilnya. Juga fungsi sanggar adalah tempat pangubaktian (Sanggar Agung Pangubhaktian). Masih ada sarana yang penting sekali dalam kaitannya dengan Ngaben Sarat yaitu Tirtha Pebersihan, Pamanah, Panglukatan, dan Pengentas. Tentang Tirtha ini telah dijelaskan di depan.

 


Sumber Buku Ngaben

Drs. I Nyoman Singgin Wikarman



Beryadnya dengan Sharing

Tak akan Mengurangi Pengetahuan

Baca Juga