Tutur Candrabherawa (Chandra Bhairava) secara tektual merupakan penggalan dari Kuntiyajña Nilacandra. Secara intrinsik tergolong lontar tutur / tattwa, disusun dalam bentuk prosa menggunakan bahasa Sanskerta singkat dan bahasa Kawi sebagai penjelasan. Di dalam tutur Candrabherawa, tentunya terkandung nilai- nilai ketuhanan sebagai pedoman hidup sampai saat ini.
Ringkasan Tutur Candrabherawa
Tokoh sentral yang ditampilkan dalam naskah ini adalah Yudhistira dan Kresna, raja Astina – Dwarawati. Kedua raja ini adalah penganut siwaisme beserta seluruh rakyatnya. Sedangkan Sri Candrabherawa adalah raja kerajaan Dewantara penganut Buddhisme beserta seluruh rakyatnya.
Siwaisme yang dianut oleh Yudhistira – Kresna menekankan pada aspek ajaran karma sanyasa. Sedangkan Buddhisme yang dianut oleh Candrabherawa menekankan pada aspek ajaran yoga sanyasa. Kedua aspek ajaran itu dijadikan bahan diskusi oleh pengawi dikemas dalam bentuk ceritera Candrabherawa. Hal ini menjadikan naskah ini menjadi menarik dan tidak membosankan untuk dibaca. Dalam naskah disebutkan bahwa ajaran Karma Sanyasa berpusat pada pembangunan tempat suci, persembahan sesaji yang dikenal dengan Panca Yajña, dan penyembahan kepada Dewa. sedangkan ajaran Yoga Sanyasa adalah sebaiknya, tidak ada tempat suci, tidak ada persembahan, tidak ada penyembahan kepada Dewa. Yang dipuja adalah Sang Hyang Adhi Buddha dengan mempelajari bajradhara. Tidak ada Dewa di luar ( tempat suci ) tetapi ada dalam diri dan banyak persembahan yang ada neraka. Maka itu Dewa dalam badan harus dipuja, agar lepas dari sorga dan neraka, tidak terlahir kembali.
Menurut Yudhistira hal demikian adalah tidak sesuai dengan ajaran Dharma Sasana dan ajaran Panca Yajña. Lebih-lebih dengan adanya peembangunan istana seperti sorga, kahyangan, penobatan dirinya ( Sri Candrabherawa ) sebagai Sri Parama Guru / Bhatara Guru. Para patihnya diberi nama seperti layaknya nama-nama Dewa di Kahyangn. Hal inilah yang menyebabkan Yudhistira – Kresna murka dan menyerbu kerajaan Dewantara.
Dalam peperangan ini, satu persatu para ksatria Pandawa berhasil ditaklukkan oleh Sri Candrabherawa dengan tidak melawannya. Termasuk pula Sri Kresna kalah dalam saling tebak kesaktian. Akhirnya Yudhistira maju menghadapi Sri Candrabherawa mengadu kesaktian, yaitu dengan melepas roh dari raga masing-masing secara bergantian.
Dalam adu kesaktian ini, Yudhistira mendapat giliran pertama melepaskan roh dari dalam raganya. Dengan terdiam Yudhistira menggelar aji kelepasan, maka lepaslah atma Yudhistira dari raganya. Sri Candrabherawa mengetahui hal ini, tidak dibiarkan atma Yudhistira sampai jauh, secepatnya ditangkap kemudian dimasukkan lagi ke raga Yudhistira. Yudhistira hidup kembali.
Kemudian giliran Sri Candrabherawa melepaskan atmanya dari dalam raganya. Dengan ajiannya Sri Candrabherawa melepaskan atmanya dari dalam raganya, kemudian langsung menghadap Bhatara Guru memohon agar terus mati dan tidak diberitahukan dimana tempatnya kepada Yudhistira.
Yudhistira kebingungan mencari atma Sri Candrabherawa tidaklah ditemukan setelah dicari kesana kemari. Karena malu tidak mampu menghidupkan sri Candrabherawa, Yudhistira kemudian menghadap langsung kehadapan Bhatara Nilakanta, Bhatara Guru. Disitulah Yudhistira mendapat penjelasan, bahwa Sri Candrabherawa merasa malu jika kesaktiannya diketahui oleh Yudhistira, karena ia hanya mempercayai Yoga Sanyasa sebagai jalan satu- satunya untuk mencapai kesempurnaan tertinggi, dengan mengabaikan Karma Sanyasa. Yudhistira diberitahu bahwa atma Sri Candrabherawa brada di “Anta Sunya”. Setelah mohon diri, kesanalah Yudhistira menuju. Dengan segera atma Sri Candrabherawa ditangkap kemudian dibawa ke Dewantara dimasukkan ke dalam raganya. Setelah itu pula Sri Candrabherawa hidup kembali.
Setelah Sri Candrabherawa hidup kembali, segera menyembah kehadapan Yudhistira. Yudhistira kemudian memerintahkan kepada Sri Candrabherawa agar mengikuti ajaran Dharma Sasana dengan seluruh rakyatnya. Tidak lagi “amada- mada” kahyangan, seperti memberi nama para mantri dengan nama Dewata.
Kesimpulan dari diskusi yang disampaikan dalam naskah ini, bahwasanya baik ajaran Karma Sanyasa maupun Yoga Sanyasa tidak ada yang lebih tinggi salah satu darinya. Keduanya akan dapat mengantarkan seseorang untuk mencapai kesempurnaan tertinggi seperti diperlihatkan oleh tokoh Sri Candrabherawa dan prabhu Yudhistira.