Perayaan tumpek pengatag (Tumpek Wariga) mengandung makna bahwa manusia sebagai manajerial alam semesta terutama untuk mengolah secara bijaksana seluruh isi bumi, dengan menggunakan pendekatan kesadaran kosmis.
Umat Hindu berkeyakinan bahwa dunia beserta isinya diciptakan oleh Tuhan Hyang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya. Hubungan relasi yang bersifat timbal balik antara manusia dan alam diciptakan oleh Tuhan harus selalu dijaga, Salah satu cara yang dipakai untuk menjaga hubungan timbal balik ini adalah dengan upacara Tumpek Wariga, menyembah kehadapan Ida Hyang Widhi dengan manifestasi Beliau sebagai Dewa Sangkara sebagai dewa kesuburan.
Dalam Asta Sakti-Nya (delapan kemahakuasaan-Nya) yang membentang ke delapan penjuru (Asta Dala) Pulau Bali, berada di Barat Laut bersemayan (bertempat) di Pura Puncak Mangu dengan symbol bijaksara ‘Si‘. Di Pura Puncak Mangu inilah Dewa Sangkara bersemayam dan diperingati atau dirayakan pada Hari Turnpek Wariga.
Tumpek Wariga disebut juga Tumpek Pengatang, Tumpek Pengarah atau Tumpek Uduh atau Tumpek Bubuh yang jatuh pada hari Sabtu kliwon wuku wariga yaitu pada wuku ke-7 dari 30 wuku. Tumpek Wariga datanganya tiap 6 bulan sekali. Tumpek Wariga ini menjadi sangat penting karena masih terkait dengan hari raya Galungan dan Kuningan, yang jatuhnya tepat 25 hari sebelum hari raya Galungan atau 35 hari sebelumn hari raya Kuningan.
Tumpek Wariga berdasarkan yadnya adalah untuk menjaga harmonisasi antara alam dan manusia dari hukum alam yang disebut Rta. Harmonisasi Bhuwana Agung dan Bhuwana Alit dalam konteks ini adalah keadaan yang selaras itu dapat mendatangkan kerahayuan atau kesuburan. Terwujudnya harmonisasi yang serasi antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan alam yang disebut Tri Hita Karana.
Makna dalam melaksanakan upacara yadnya yang dilaksanakan pada tumbuh-tumbuhan, bukan berarti umat Hindu tatkala itu sedang menyembah tumbuh-turnbuhan atau menyembab berhala, tetapi menyembah asfek Tuhan yang bersembayam pada tumbuh-tumbuhan sebagai Dewa kesuburan. Tuhan berada dalam semua mahluk dan semuanya adalah Tuhan.
Dalam kitab Sveta Svatara Upanisad 11.17 dinyatakan Tuhan yang bersemayam di kayu-kayuan disebut Vanaspati yang di Bali disebut Banaspati, kekuatan Tuhan yang bersemayam dalam kayu-kayuan, disebutkan :
यो देवोऽग्नौ योऽप्सु यो विश्वं भुवनमाविवेश।
य ओषधीषु यो वनस्पतिषु तस्मै देवाय नमो नमः॥yo devo’gnau yo’psu yo viśvaṁ bhuvanamāviveśa |
ya oṣadhīṣu yo vanaspatiṣu tasmai devāya namo namaḥ ||
Artinya
Sujud pada Tuhan yang ada di dalam api, yang ada di dalam air, yang ada di tumbuh-tumbuhan, yang ada di pepohonan, yang telah meliputi seluruh alam semesta.
Upakara Tumpek Pengatag (Tumpek Wariga)
Tradisi Ritual Tumpek Wariga merupakan produk dan praktek budaya warisan leluhur yang sarat dengan nilai-nilai budaya dan filosofis sebagai pedoman dalam bertingkah laku terhadap pelestarian lingkungan.
Adapun bentuk banten khas di hari tumpek wariga seperti canang pesucian, banten a cau berisi bubuh (bubur) yang beraneka warna : seperti bubur warna putih, bang (merah), hijau, dan kuning dan jenis banten lainnya, biasanya di depan pohon kelapa sebagai perwakilan. Dalam kaitan ini, bukan berarti banten atau sesaji itu semata-mata ditujukan kepada tumbuh-tumbuhan atau pepohonan tetapi dihaturkan kepada Sanghyang Sengkara sebagai manifestasi Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta segala jenis tumbuh-tumbuhan untuk kesejahtraan umat manusia dalam menunjang kehidupannya di dunia seperti bahan sandang pangan.
Banten / Upakara secara umum seperti dibawah ini :
- Banten Prass
- Banten Nasi Tulung Sesayut
- Banten Tumpeng Agung
- Bubur Sumsum
- Banten Tumpeng Agung
- Ulam itik (diguling), banten penyeneng
- Tetebusan, dan canang sari, ditambah dupa harum
Makna warna pada bubur :
- Bubur putih yang dipersembahkan itu sebagai simbolisasi dari tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan umbi. Umbi ini jika diolah dapat dijadikan bubur seperti misalnya ketela rambat, ketela pohon, umbi keladi, dan ubi.
- Bubur merah adalah simbol bersyukur atas diciptakannya jenis padang-padangan (padi-padian dan palawija), seperti padi, jagung, godem, dan lain sebagianya.
- Bubur hijau sebagai simbolisasi jenis tumbuh-tumbuhan pepohonan yang berbuah melalui penyerbukan (bunga putik), dan
- Bubur kuning sebagai rasa bersykur atas diciptakannya tumbuh-tumbuhan berbuah yang buahnya keluar dari batang.
Pelaksanaan dan bentuk upakara telah disebutkan dalam kitab Sundarigama sloka 15 :
Saniscara kliwon wariga ngaran Tumpek panguduh puja wali Sanghyang Sangkara, apan sira amerte aken sarwa tumuwuh, kayu-kayu kunang widhi widanania. Pras tulung sesayut, tumpeng, bubur mwang tumpeng agung iwaknia guling bawi, itik wnang saka raka, penyeneng saha tetabuh. Kalingania anuduh ikang awoh mwang godong, dadia pemertaning uring ring manusia, sesayut cakra gni. Kalingania anuduh kna adnyana sandhi
Artinya
Hari sabtu kliwon wariga disebut Tumpek Panguduh, hari (baik) untuk memuja Dewa Sangkara sebab Beliaulah yang menciptakan tumbuh-tumbuhan termasuk kayu-kayuan adapun upakaranya adalah peras, tulung sesayut, tumpeng bubur, dan tumpeng agung dengan babi atau itik guling, baik juga disertai dengan raka-raka (jajan atau buah-buahan), penyeneng tetabus dan cakragni. Adapun banten tersebut diatas adalah : Mendoakan semoga atas karunia Hyang Widhi maka segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur, lebat buahnya bersusun-susun dan dapat dimanfaatkan untuk kehidupan manusia dalam ketentraman hati serta kesejahteraan lahir batin.
Mula-mula upacara dilaksanakan ditempat suci, sanggah /merajan, umat memohon tirta. Selesai upacara di tempat suci barulah dilanjutkan dengan upacara khusus pada tumbuh-tumbuhan dan dengan upakara pras pejati dan bubur (bubur sumsum), seterusnya doa atau seha menghaturkan dikenal dengan nama sesapan menggunakan bahasa Bali lumrah.
Banten dihaturkan menghadap ke arah Kaja Kauh (Barat Laut) sesuai dengan arah dalam Dewata Nawa Sanga Sanghyang Sangkara. Lalu sasap, dan gantungannya di diikatkan ke batang pohon dan dihaturkan bubur sumsum sambil di “Atag“, diketok-ketok 3x dengan pisau tumpul (tiuk puntul) sambil mengucapkan doa (seha) :
Dadong.. dadong.. kaki dija? Ia jumah, ia ngudiang jumah? ia gelem kebus dingin ngetor, ngeed ngeed ngeed, buin selae galungane mangda mabuah nged, nged, nged.
Artinya
nenek.. nenek.. kakek kemana? Ia di rumah, Ia ngapain di rumah? Ia sakit panas dingin mengigil lebat lebat lebat, lagi dua puluh lima hari upacara galungan supaya berbuah lebat, lebat, lebat.
Atau
Kaki.. kaki.. dadong dija? Dadong jumah, ia gelem kebus dingin ngetor, ngeed, ngeed, ngeed, ngeed. Ngeed kaja, Ngeed kelod, Ngeed kangin, Ngeed kauh, buin selae lemeng galungane mabuah pang ngeeed.
Artinya
Kakek… kakek…, nenek di mana? Nenek di rumah, ia sakit panas menggigil. Menggigil lebat, lebat lebat lebat, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan agar berbuah lebaaat.
Atau
Kaki-kaki, buin selai lemeng rerahinan Galungan mabuah nged-ngednged.
Artinya
Kakek… kakek…, nenek di mana? Nenek di rumah, ia sakit panas menggigil. Menggigil lebat, lebat lebat lebat, lebat utara, lebat selatan, lebat timur, lebat barat, lagi dua puluh lima hari hari raya galungan agar berbuah lebaaat.
Setelah itu kayu-kayu tersebut diperciki Tirta Pinunasan.
Ungkapan penyebutan kaki dan dadong, kakek dan nenek, adalah orang yang sudah tua, dalam kaitan ini dengan tujuan untuk memuliakan tumbuhan-tumbuhan yang jauh lebih dahulu ada dari pada manusia seperti pohon kelapa, pohon manggga dan lain sebagainya.
Ungkapan gelem kebus dingin ngetor ngeed ngeed ngeed. Ini ungkapan metaforis jika kita sakit panas dingin sampai menggigil tentu badan kita akan berbuah.
Ungkapan tersebut adalah sebuah harapan agar tumbuhan berbuah lebat dan mendapatkan hasil yang melimpah sebagai sumber kehidupan dan kemakmuran manusia seperti terlihat pada kutipan di atas yakni kata ngeed.
Proses upacara ini aplikasinya selain menggunakan sehe yang sangat sederhana seperti diatas, juga dapat menggunakan bahasa dalam bentuk mantra dan doa-doa. Mantra adalah komposisi aksara atau huruf-huruf yang diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai kekuatan dan mampu memberi akibat sebagaimana yang diharapkan. Mantra yang digunakan dalam ritual tumpek wariga menggunakan bahasa Sansekerta.
Om śaṅkara deva mūrtiṇam,
Vāyavye ca pratiṣṭhaṇam,
Sarva jagat pavitraṇaṁ,
Mṛta bhūmi nugrahkam.
Artinya
Sujud pada Hyang Sengkara berwujud kedewaan,
Kesucian berkedudukan di barat-Laut,
Seluruh dunia disucikan,
Memberi kehidupan bumi penuh kasih.
Om bhuh loka manṇḑala purṇaṁ
śaṅkara deva nugrāṇam
Dīrghāyu bhvana sa pūrṇaṁ
Sarvamaraṇamokṣaṇnam
Artinya
O Sang penguasa dunia keduaniawian
Sangkara sang dewa kasih
Umur panjang bumi diisi sepenuhnya dengan baik
bebaskan dari semua wabah penyakit
Dewa Sangkara adalah manifestasi Tuhan sebagai pemujaan pada hari raya tumpek wariga memiliki kekuasaan untuk memberi sumber kehidupan pada tumbuha-tumbuhan sebagai penopang kesejahtraan umat manusia. Penggunaan bahasa ritual seperti itu diyakini memiliki kekuatan dan kekuasaan karena mengandung unsur magis dengan pemberian nama dan atribut adjektiva yang menggambarkan sosok Tuhan sebagai hakikat tertinggi sesuai kerangka konseptual masyarakat Hindu Bali.