Sehubungan dengan Perkawinan Beda Kasta menyangkut tentang pribadi, dan perasaan seseorang dan faktor eksternal lingkungan, dimana baik buruknya pengaruh lingkungan akan mempengaruhi karakter atau kepribadian seseorang, serta perjodohan yang dilakukan oleh kedua pihak orang tua yang menyebabkan terjadinya perkawinan beda kasta tersebut. Kendala-kendala yang dihadapi pelaku perkawinan beda kasta umumnya ialah kendala restu dari orang tua, sebagaimana diketahui restu orang tua merupakan hal yang paling penting dalam suatu perkawinan dan tanpa restu tersebut suatu perkawinan tidak akan bisa dikatakan sah.
Perkawinan perkawinan pepadikan dan perkawinan ngerorod. Pada dasarnya kedua pelaksanaan perkawinan ini sama saja, terbukti dilakukannya upacara-upacara seperti upacara biakaonan, patiwangi/masepuh, maprayascita, dan pekala-kalaan, namun yang membedakan ialah tahap awal perkawinan tersebut. Bila perkawinan pepadikan diawali dengan meminang atau melamar calon mempelai serta pertemuan kedua belah pihak keluarga, sedangkan perkawinan ngerorod tahap awal yang dilakukan ialah melarikan calon mempelai tanpa sepengetahuan orang tua mempelai wanita.
Sampai di sini muncul kesan kuat, bahwa tidak mudah memahami makna “perkawinan nyerod”. Untuk memudahkan dalam memamahi perkawinan nyerod dengan segala konsekuensi dan implikasi yang menyertainya dalam ke-hidupan keluarga dan masyarakat adat sesudah perkawinan dilangsung-kan, ada dua hal yang perlu dipahami lebih awal, yaitu “masyarakat adat Bali” dan “kasta” di Bali. Masyarakat adat di Bali dikenal dengan sebutan “desa adat” atau “desa pakraman”, merupakan kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan tempat.
Sementara ada bentuk perkawinan Nyentana (dikenal dengan sebutan kawin kaceburin atau yang laki ikut ke perempuan), ini sesungguhnya jalan alternif yang dapat dilewati oleh pasangan suami istri yang hanya dikarunia anak perempuan saja dan tidak dikaruniai keturunan laki-laki.
Pertanyaannya, bentuk perkawinan apa yang harus dipilih apabila ada keluarga yang hanya dikaruniai satu anak laki- laki, bermaksud melangsungkan perkawinan dengan seorang perempuan yang kebetulan juga anak tunggal dalam keluarganya? Atau dalam hal satu keluarga dikaruniai beberapa orang anak tetapi diyakini bahwa hanya seorang diantara anak-anaknya yang mungkin mengurus dan meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu.
Berdasarkan beberapa kasus yang ditemui di beberapa desa adat di Bali, keadaan seperti ini diatasi dengan memilih bentuk perkawinan parental/negen dadua ( Pade Gelahang), yang berarti duwenang sareng atau “miliki bersama”.
Type perkawinan jenis beda klien / wangsa harus melalui proses pelaksanaan upacara Patiwangi. Upacara Patiwangi adalah suatu upacara penyamaan status untuk menghilangkan atau membunuh harumnya seseorang sehingga status kedua mempelai berada pada posisi yang sama sehingga dapat melaksanakan upacara mawidi-widana.
Patiwangi dalam perkawinan Hindu menguraikan tentang Perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal. Dalam hubungannya ini, perkawinan tersebut sebagai aktivitas manusia yang berdimensi ritual tidak terlepas dari pengaruh tatanan sistem kekerabatan/ wangsa. Hal ini dengan adanya suatu upacara pernikahan dalam perkawinan seorang laki-laki Sudra/Jaba mengawinni gadis yang berwangsa Brahmana atau wangsa Ksatria upacaranya dikenal dengan upacara Patiwangi.
Dalam Lontar Sastra Purwana Tatwa Pariksa dinyatakan bahwa:
upacara Patiwangi merupakan suatu upacara penyamaan status, kedudukan atau wangsa guna tercapainya kesamaan dan keseimbangan dalam kehidupan suami istri secara lahir dan batin. Juga supaya Sang Sadaka atau Sulinggih/ Rohaniawan yang menyelesaikan upacaranya tidak melanggar ketentuan-ketentuan sesana (sastra Agama) yang telah diamanatkan.
Tujuan upacara Patiwangi, adalah untuk menyamakan status dan kedudukan di samping seandainya di kemudian hari meninggal agar bisa diberikan tirta pengentas.
Sedangkan di dalam lontar Lebu Guntur dijelaskan bahwa:
Nihan kramaning Sang Tri Wangsa amejah wangsa Kang ingaranan patita anasar kang wenang kalungsur wangsanya, tekaning krama basaning wang kabeh
Artinya:
Yang disebut Patiwangi adalah cara sang tri wangsa meninggalkan atau menurunkan derajatnya dan bahasanya sama dengan orang biasa
Pada hakekatnya upacara Patiwangi merupakan suatu upacara pernikahan yang dilakukan sebagai persyaratan oleh mempelai sebelum dilangsungkan upacara mewidi-widana atau upacara pernikahan. Patiwangi merupakan suatu yang mutlak dilaksanakan oleh setiap mempelai yang tergolong melakukan perkawinan antar wangsa seperti tersebut di atas. Di samping itu, upacara Patiwangi ini merupakan suatu prasyarat sebagai suatu kepercayaan yang diatur dalam tatanan sosial kemasyarakatan, sehingga seorang pemangku bersedia untuk menghaturkan upacara pernikahannya.
Setelah upacara Patiwangi dilakukan, serta merupakan keharusan moral menurut awig-awig atau undang-undang lokal yang kalau dilanggar akan dikenakan sanksi.
Upacara Patiwangi merupakan suatu ketentuan agar sulinggih tidak melanggar ketentuan atau sesana yang telah diamanatkan oleh nabe-nya di dalam melaksanakan upacara perkawinan, jika yang bersangkutan meninggal dunia agar bisa diberi tirta pengentas. Mengingat upacara Patiwangi ini merupakan hal yang unik.
Begitu besarnya arti upacara Patiwangi dalam upacara perkawinan umat Hindu dalam usaha menetralisir kedudukan perkawinan antar wangsa yang merupakan suatu permulaan hubungan sebagai suami istri, yang nantinya diharapkan lahir penerus keturunan dimana kedudukannya tak dibedakan yang membentuk garis kepastian leluhur yang merupakan jalan menuju Pitra dan Ida Sang Hyang Widhi dan juga merupakan dasar hukum kekeluargaan.
Berbicara masalah tujuan upacara Patiwangi, merupakan pesaksian baik kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun kepada masyarakat bahwa orang-orang yang akan melaksanakan perkawinan antara wangsa diturunkan atau disejajarkan derajatnya sehingga menjadi suami istri yang sama posisinya.