- 1Weda - Kitab Suci Agama Hindu
- 1.1Bahasa Veda (Weda)
- 1.2Isi Weda
- 2Jaman / Sejarah Turunnya Veda (Weda)
- 2.1Penduduk India pada zaman Kuno
- 2.2Berbagai Peninggalan India dari Zaman Kuno
- 2.3Waktu Turunnya Wahyu Weda
- 2.3.11. Ric (Reg / Rg) Veda
- 2.3.22. Sama Veda
- 2.3.33. Yajur Veda
- 2.3.44. Atharwa Veda
- 2.4Keagamaan Pada Zaman Turunnya Veda
- 2.1Jaman Kaum Brahmana
- 2.1Pendidikan dan Kebudayaan di Jaman Weda
- 3Zaman Aranyaka Dan Zaman Upanisad
- 3.11. Dharma
- 3.22. Artha
- 3.33.Kama
- 3.44. Moksha
- 3.5Ajaran dan Pandangan Tentang Atman - Brahman
- 3.5.11. Pandangan Secara Vedanta
- 3.5.22. Pandangan Secara Visista-Dwaita
- 3.5.33. Pandangan Secara Yoga
- 3.5.44. Pandangan Secara Samkya
- 4Kebudayaan Zaman Hinduisme
- 5Bagian–Bagian Kitab Suci Veda (Weda)
- 5.11. SRUTI
- 5.1.11.1. Rg. Weda Samhita
- 5.1.21.2. Sama Weda Samhita
- 5.1.31.3. Yajur Weda Samhita
- 5.1.3.1Sukla Yajur Veda (Putih)
- 5.1.3.2Kresna Yajur Veda (Hitam)
- 5.1.41.4. Atharwa Weda Samhita
- 5.12. SMRTI
- 5.1.12.1. Wedangga
- 5.1.1.12.1.1. Siksa (Phonetika)
- 5.1.1.22.1.2. Wyakarana (Tata Bahasa)
- 5.1.1.32.2.3. Chanda (Lagu)
- 5.1.1.42.2.4. Nirukta
- 5.1.1.52.2.4. Jyotisa (Astronomi)
- 5.1.1.62.2.5. Kalpa
- 5.1.12.2. Upaweda
- 5.1.1.12.2.1. Itihasa
- 5.1.1.22.2.2. Purana
- 5.1.1.32.2.3. Arthasastra
- 5.1.1.42.2.4. Ayur Weda
- 5.1.1.52.2.5. Gandharwa Weda
- 5.1.1.62.2.6. Kama Sastra
- 5.1.1.72.2.7. Kitab Agama
- 6Fitur dan Rincian Singkat Catur Veda (Weda)
- 6.1.1Fitur Rig veda
- 6.1.2Fitur Sama veda
- 6.1.3Fitur Yajur veda
- 6.1.4Fitur Atharva veda
- 7Sapta Maha Rsi Penerima Wahyu Weda
- 7.11. GRTSAMADA
- 7.22. WISWAMITRA
- 7.33. WAMADEWA
- 7.44. ATRI
- 7.55. BHARADWAJA
- 7.66. WASISTA
- 7.77. KANWA
- 8Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu
- 8.1Manawa Dharmasastra
- 8.2Sejarah Perkembangan Hukum Hindu
- 8.1Hubungan Catur weda dengan Hukum Hindu
- 9Enam Filsafat Hindu (Sad Darśana)
- 9.11. Nyaya Darsana
- 9.1.11.1. Pokok-pokok Ajaran Nyaya
- 9.1.21.2. Epistemologi Nyaya
- 9.1.31.3. Catur pramana
- 9.1.3.11.3.1. Pratyakasa Pramana
- 9.1.3.21.3.2. Anumana Pramana
- 9.1.3.31.3.3. Upamana Pramana
- 9.1.3.41.3.4. Sabdha Pramana
- 9.12. Waisesika Darsana
- 9.1.12.1. Pokok ajaran Waisasika
- 9.1.22.2. Padartha
- 9.1.2.12.2.1. Drawya (Substansi)
- 9.1.2.22.2.2. Guna (Kualitas)
- 9.1.2.32.2.3. Karma (TinDakan)
- 9.1.2.42.2.4. Samanya (Sifat umum)
- 9.1.2.52.2.5. Wisesa (Keistimewaan)
- 9.1.2.62.2.6 Samawaya (Pelekatan)
- 9.1.2.72.2.7. Abhawa (Ketidakadaan)
- 9.1.32.3. Cara Mendapatkan Pengetahuan Menurut Waisasika
- 9.1.42.4. Terjadinya Alam Semesta menurut Waisasika
- 9.1.52.5. Etika dalam Waisasika
- 9.13. Samkhya Darsana
- 9.1.13.1. Pemahaman Samkhya
- 9.1.23.2. Pokok Ajaran Samkhya
- 9.1.2.13.2.1. Purusa
- 9.1.2.23.2.2. Prakerti
- 9.1.2.33.2.3. Tri Guna
- 9.1.2.43.2.4. Penciptaan alam semesta
- 9.1.2.53.2.5. Etika Samkhya
- 9.1.33.3. Tujuan Akhir Ajaran Samkhya
- 9.14. Yoga Darsana
- 9.1.14.1. Pandangan Yoga Darsana
- 9.1.1.14.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.24.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.34.1.3. Maya
- 9.1.1.44.1.4. Moksa
- 9.1.24.2. Pokok Ajaran Yoga Darsana
- 9.1.34.3. Epistimologi Yoga Darsana
- 9.15. Mimamsa Darsana
- 9.1.15.1. Pandangan Purva Mimamsa
- 9.1.1.15.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.25.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.35.1.3. Maya
- 9.1.1.45.1.4. Moksa
- 9.1.25.2. Pokok Ajaran Mimamsa Darsana
- 9.1.35.3. Metafisika Mimamsa Darsana
- 9.1.45.4. Epistimologi Purva Mimamsa
- 9.1.4.15.4.1. Pratyaksa
- 9.1.4.25.4.2. Anumana
- 9.1.4.35.4.3. Sabda
- 9.1.4.45.4.4. Upamana
- 9.1.4.55.4.5. Arthapatti
- 9.1.4.65.4.6. Anupalabdi
- 9.1.55.5. Aksiologi Purva Mimamsa
- 9.1.5.15.5.1. Kedudukan Weda di dalam Agama
- 9.1.5.25.5.2. Kewajiban yang Mendasar
- 9.1.5.35.5.3. Kebaikan yang Tertinggi
- 9.16. Wedanta Darsana
- 9.1.16.1. Pokok Wedanta - Brahma Sutra
- 10Tentang Upanishad
- 10.1.1Apa itu Upanishad ?
- 10.1.1.1Apa itu pengetahuan
- 10.1.1.2Kesalahpahaman Tentang Upanishad
- 10.1.2Tema Sentral dari Upanishad
- 10.1.1Apakah Upanishad Lebih Baik Dari Psikologi Modern ?
- 11Konsep Keberadaan Diri (Atman) Dalam Agama Hindu
- 11.11. Mengetahui Diri sejati
- 11.22. Apakah Jiwa, Atman dan Diri Sama ?
- 11.2.12.1. Jiwa dan diri sendiri
- 11.2.22.2. Diri Individu dan Diri tertinggi
- 11.2.32.3. Berbagai jenis diri
- 11.13. Kesadaran Murni
- 11.24. Spiritualitas dan Transformasi Diri
- 11.15. Mengapa Brahman tidak disembah Langsung Melalui Ritual Hindu
- 11.1.15.1. Alasan Brahman tidak disembah secara ritual
- 11.1.25.3. Pemujaan Dewa - Dewi dalam Weda
- 11.1.2.15.3.1. Dewa dalam makrokosmos dan mikrokosmos
- 11.1.2.25.3.2. Mengapa para dewa disembah
- 11.1.2.35.3.3. Jumlah dewa-Dewi Hindu
- 12Konsep Pembebasan (Moksha atau Nirvana) Dalam Hindu
- 12.1.1Pembebasan fisik
- 12.1.2Pembebasan mental
- 12.1.3Pembebasan rohani
- 13Keanekaragaman dan Pluralitas Agama Hindu
- 13.11. Pluralitas Hinduisme
- 13.1.11.1. Satu Tuhan dan Tidak Ada Tuhan
- 13.1.21.2. Satu Tuhan dan banyak dewa
- 13.1.31.3. ritual, seremonial dan praktik spiritual
- 13.1.41.4. Penyembahan Melalui Wujud dan Tanpa Wujud
- 13.1.51.5. Banyak jalan Menuju pembebasan
- 13.1.61.6. Iswara dan Shakti
- 13.1.71.7. Purusha dan Prakriti
- 13.1.81.8. Dualisme dan Non-dualisme
- 13.22. kontradiksi dalam Hinduisme
- 14Catur Ashrama - Empat Tahapan untuk Pembebasan
- 14.1empat Tahap dalam Hidup
- 14.1.11. Brahmacarya
- 14.1.22. Grihasta Ashrama
- 14.1.33. Vanaprastha Ashrama
- 14.1.44. Sanyasa Ashrama
- 15Konsep Karma dan Kewajiban dalam Hindu
- 15.11. Jenis-jenis karma
- 15.22. Sebab dan akibat - Nasib dan karma
- 15.33. Solusi Pembebasan Untuk Masalah Karma
- 15.3.13.1. Jnana yoga
- 15.3.23.2. Karma yoga
- 15.3.33.3. Raja Yoga
- 15.3.43.4. Bhakti yoga
- 15.44. kesalahpahaman tentang karma
- 15.4.4.14.1. Karma bukanlah takdir
- 15.4.4.24.2. Dewa dan Karma
- 15.4.4.34.3. Karma bukan hanya tindakan fisik
- 15.4.4.44.4. Karma bukan tentang berbuat baik atau buruk
- 15.4.4.54.5. Karma tidak tercatat di surga atau neraka
- 16Ilmu Politik Agama Hindu dalam Veda (Weda)
- 16.11. Canakya dan Arthasastra
- 16.22. Ajaran Politik Negara dalam Arthasastra
- 16.2.12.1. Teori Saptanga
- 16.2.22.2. Teori Mandala
- 16.2.32.3. Teori Sadgunya - Enam Kebijakan Luar Negeri
- 16.13. Asta Brata - Wujud Ideal Praktik Teologi Politik
- 17Pengukuran dalam Matematika Weda
- 17.1Satuan Ukuran
- 17.1.3.1A. Satuan turunan
- 17.1.3.2B. Satuan waktu
- 17.1.3.3C. Ukuran Panjang
- 17.1.3.4D. Ukuran Empat Persegi
- 17.1.3.5E. Ukuran Untuk Daya Muat/Isi
- 17.1.3.6F. Timbangan
- 17.1.3.7G. Ukuran Waktu
- 17.1Yuga dan Siklus Tahun Kosmik
- 17.1.3.1A. Chatur yuga
- 17.1.3.2B. Alam Semesta dan Seterusnya
- 18Link Referensi Tentang Weda
3. Kesadaran Murni
Secara sederhana, kesadaran murni adalah kesadaran yang bebas dari semua kotoran, yang mencegah kita menjadi dan mengetahui siapa kita. Apa saja pengotornya? Mereka adalah pikiran, perasaan, emosi, gangguan, memorial dan pengetahuan persepsi, modifikasi, keinginan, keterikatan, egoisme, kualitas, atribut, persepsi, kognisi, delusi, ketidaktahuan, keadaan, dualitas, pembagian, objektivitas, dan sebagainya. Mereka muncul dari bidang (kshetra) pikiran dan tubuh, yang mewakili Alam (Prakriti) dalam mikrokosmos kita.
Mengapa mereka penting?
Mereka adalah penyebab penderitaan dan ikatan pada siklus kelahiran dan kematian. Kita dapat melacak setiap masalah dalam hidup ke ketidakmurnian atau ketidaksempurnaan yang ada di dalam diri. Mereka tidak membiarkan mengalami kedamaian dan stabilitas, atau menjadi sadar diri dan puas diri. Singkatnya, mereka tidak membiarkan menjadi diri sejati, yang mengetahui tercerahkan (Jina) atau pelihat yang kesepian (Kevala). Jika kita mengeluarkan semuanya dari kesadaran atau keberadaan, yang tersisa adalah Diri yang murni subjektif, diam, menyaksikan (atma-sakshi), yang dijelaskan dalam Veda sebagai lautan kesadaran murni dan kebahagiaan tanpa batas.
Kesadaran murni adalah seperti air murni, yang tidak dapat dibedakan dan benar-benar diam, tanpa gerakan dan polusi. Itu tanpa rasa, kualitas, bentuk atau perbedaan. Sama seperti air memiliki banyak tingkatan menurut kemurniannya, kesadaran juga memiliki banyak tingkatan. Kesadaran manusia seperti air yang tercemar di kolam atau di badan air mana pun, di mana dapat menemukan kotoran, lumpur, rumput liar, dan berbagai jenis bentuk kehidupan, termasuk serangga, burung, dan hewan seperti buaya, hiu, ular berbisa, katak, dll. Air di dalamnya juga tunduk pada ketidakkekalan dan gerakan karena aktivitas air, matahari, pantulan cahaya, gelombang, pusaran, arus, dll.
Tidak ada analogi atau contoh yang lebih baik daripada air murni untuk menjelaskan kesadaran murni. Oleh karena itu, saya telah menggunakannya di sini. Purana melakukan hal yang sama. Mereka menggambarkan seluruh keberadaan sebagai air saja. Itu ada di dalam air, ciptaan bermanifestasi.
Air di kolam dapat dibersihkan dan dimurnikan, sama seperti kita dapat membersihkan pikiran dan tubuh untuk membiarkan kesadaran murni bersinar melalui Diri. Dalam latihan spiritual, kita melakukannya dengan menggunakan beberapa teknik dan metode seperti Yoga. Ketika pikiran dan tubuh murni dan dipenuhi dengan Sattva, mereka memantulkan cahaya kesadaran murni jiwa dan menyucikan segala sesuatu yang menyentuh mereka. Dalam keadaan itu akan menyatu dengannya dan mencerminkannya dalam pemikiran dan tindakan.
Contoh bagus lainnya adalah lampu. kita dapat membandingkan kesadaran murni dengan cahaya dalam lampu, dan jelaga pada kaca dengan kotoran yang menghalanginya. Jika tubuh ditutupi dengan kotoran, cahaya jiwa tidak memancar dalam diri orang tersebut. Di hadapan jiwa yang murni, kita merasakan keilahian karena kemurniannya terpancar, sedangkan di hadapan jiwa yang tidak murni kita merasakan kegelapan atau ketakutan, karena kesadaran dipenuhi dengan selubung jiwa.
Jika pikiran tidak murni atau diam, kesadaran murni berada di luar jangkauan. Dengan kata lain, sampai kita menjembatani kesenjangan antara kesadaran murni dan tidak murni kita, memadamkan semua objektivitas, dualitas atau keberbedaan yang ada dalam diri kita, kita tidak bisa menjadi jiwa yang murni. Bahkan jika kita memiliki sedikit objektivitas atau dualitas dalam kesadaran kita, kita tidak dapat berada di alam kesadaran murni. Ketika kita mencapainya, kita menjadi sadar diri, yang berarti pengetahuan kita tidak bergantung pada sumber atau dukungan eksternal apa pun, karena kita menjadi saksi atas segala sesuatu yang terjadi pada kita dan di dalam diri kita.
Pengetahuan tentang kesadaran murni penting untuk kebaikan spiritual kita dan untuk pelestarian yang terbaik dan paling murni dalam diri kita. Secara konseptual dan pengalaman, kita perlu mengetahui dan memahami apa yang dimaksud dengan kesadaran murni dan mengapa kesadaran itu penting, karena itu seharusnya menjadi tujuan akhir (parandhama) atau tujuan tertinggi dalam hidup kita.
Kita tidak benar-benar bebas. Ini adalah kenyataannya. Untuk benar-benar bebas dari semua kendala yang dikenakan kehidupan kepada kita, kita perlu memurnikan pikiran dan tubuh kita dan menjadi mapan dalam aspek paling murni dari keberadaan kita dan juga kesadaran. Penderitaan kita tumbuh sejauh kita terlantar dan jauh darinya atau sejauh kita terlibat dengan ketidakmurnian kehidupan.
Kesadaran murni adalah tempat perlindungan, dari mana kita dapat menarik kekuatan dan energi. Kita mungkin melihatnya sekilas dalam meditasi mendalam atau ketika kita diam dan penuh perhatian. Ini memelihara dan mendukung kehidupan dan menjaga pikiran tetap segar. Itulah mengapa kita perlu tidur dan istirahat. Dalam tidur kita memasuki wilayah kesadaran murni dan pulih dari kelelahan dan keausan yang disebabkan oleh ketidakmurnian Alam. Ketika kita damai, kita lebih dekat dengan keilahian dan kemanusiaan kita. Oleh karena itu, kita harus mencari kedamaian sebelum kita mencari hal lain.
Pemikiran dan sikap kita dapat membantu kita atau menghalangi kita untuk menjadi kesadaran murni sebagaimana adanya. Para empu memberitahu kita bahwa setidaknya seseorang harus mencoba untuk mencapai kedekatan (samipyam) dengannya melalui pengabdian dan penyerahan diri kepada Tuhan batiniah. Kedekatan berarti, menjadi lebih seperti apa yang ingin kita capai. Kita harus berhati-hati dengan siapa kita ingin mengidentifikasi diri kita di dunia. Jika kita ingin meniru bintang film atau politisi atau mengidentifikasi penyebab mereka, hidup kita akan hancur saat kita mengumpulkan kotoran serupa.
Sama seperti matahari bermanifestasi dengan sendirinya ketika awan disingkirkan, kebenaran tentang terwujud dengan sendirinya ketika kita membersihkan semua kepalsuan dari keberadaan. Tidak ada waktu ketika Diri tidak ada, juga tidak akan pernah ada kesempatan ketika Diri tidak ada. Diri selalu terjaga. Itu selalu ada di sana, memancarkan cahayanya ke bidang Alam, di balik lapisan materialitas kasar dan alam fisik, seperti matahari bersinar di langit di balik lapisan tebal awan gelap.
Tulisan suci menegaskan kebenaran ini. Upanishad menyatakan bahwa pelihat (yang melihat) tetap terjaga, ketika dunia tertidur. Kita tidak melihatnya, karena itu tidak dapat dilihat; kita tidak mendengarnya karena tidak dapat didengar dan kita tidak dapat mengalaminya, karena kita tidak dapat memilikinya secara objektif. Kita hanya bisa menjadi itu.
Kita mengidentifikasi kesadaran murni dan kesadaran ego tidak murni dengan Purusha dan Prakriti. Mereka dipersonifikasikan dalam kitab suci sebagai Dewa (Mahadewa) dan Dewi Ibu (Mahadevi), yang diyakini sebagai dua entitas utama dan abadi, yang bertanggung jawab atas penciptaan.
Seperti yang dinyatakan oleh Bhagavadgita, ketika mereka berkumpul, kehidupan terwujud di bumi dan di tempat lain. Dengan kata lain, hidup adalah campuran terang dan gelap atau murni dan tidak murni. Pikiran dan tubuh adalah sumber ketidakmurnian. Jiwa (atman) itu murni selamanya. Mereka adalah dua diri yang dijelaskan dalam kitab suci. Mereka bisa menjadi teman atau musuh satu sama lain.
Bahkan sains mengakui keberadaan materi dan energi secara universal. Semuanya di sini adalah permainannya. Melalui tahapan penyebab, efek, modifikasi dan transformasi yang berurutan, materi inert dan inconscient yang ditemukan di dunia unsur api, air, bumi, dll., akhirnya berkembang menjadi entitas sadar diri yang memiliki kesadaran dan kecerdasan.
Namun, menurut ilmu pengetahuan, kesadaran adalah aspek energi atau Alam. Ia tidak berbicara tentang kesadaran Tuhan atau kesadaran jiwa karena ia tidak dapat menerapkan metodenya untuk membedakannya. Juga, ia tidak mengakui pencipta mana pun sebagai sumber dari semua, atau pola yang pasti dan dapat diprediksi dalam evolusi kehidupan. Sebaliknya, ia menelusuri penyebab kemungkinan matematis dari tatanan dan pola yang dapat diprediksi yang muncul secara acak dari kekacauan yang tidak dapat diprediksi dan tidak dipetakan.
Namun, dalam agama Hindu kita percaya bahwa kesadaran Alam adalah kesadaran ego, dan di balik itu adalah kesadaran murni abadi yang tidak tunduk pada hukum fisik atau alam mana pun.
4. Spiritualitas dan Transformasi Diri
Dalam proses mengetahui, yang mengetahui tidak hanya subjek tetapi juga penghalang dan batasan untuk proses mengetahui itu sendiri. Tanpa yang mengetahui, mengetahui tidak mungkin, tetapi dengan yang mengetahui, mengetahui menjadi terganggu, karena pada manusia instrumen pengetahuan seperti pikiran dan indera tidak sempurna atau sepenuhnya mampu. Pembebasan adalah perjalanan pemurnian diri di mana pencari berkembang dari keadaan ketidaksempurnaan ke kesempurnaan yang di luar itu tidak ada lagi yang harus dicapai. Dalam pengertian sederhana, pembebasan berarti pembebasan dari apa pun yang membatasi kita, membuat kita memenuhi syarat atau mengikat kita ke dunia ini dan membatasi kebebasan kita untuk menjadi.
Pengetahuan dan persepsi tergantung pada orang tersebut, keadaan pikirannya, pembelajaran, kesadaran, kemurnian, kecerdasan, keinginan, keterikatan, kepercayaan, keakraban dengan objek yang dirasakan dan sebagainya. Karena itu, jika kita ingin mengetahui apa pun secara murni tanpa filter mental, kita harus mengatasi semua ketidaksempurnaan dan menjadi sempurna atau lengkap. Kepribadian yang sehat, harmonis, tanpa cacat yang biasa, dan di mana kebalikannya terintegrasi adalah keadaan ideal yang mengarah pada kebebasan abadi.
Veda mengidentifikasi keadaan itu sebagai Purnam (lengkap), yang merupakan ciri pembeda dari makhluk kosmik (Purusha). Tidak ada yang bisa diambil darinya atau ditambahkan untuk membuatnya tidak lengkap atau untuk memperbaikinya. Bahkan jika kita melakukannya, itu masih tetap lengkap. Kelengkapan juga berarti kebebasan dari penilaian, ketertarikan dan penolakan dan dualitas lainnya. Tidak ada yang dikecualikan oleh pilihan dan tidak ada yang mendambakan. Pikiran menyerah pada kontradiksi kehidupan sebagai kehendak Tuhan dan menarik diri ke dalam ketenangan Diri untuk mengalami kedamaian dan keseimbangan batin.
Kesempurnaan pikiran dan tubuh tidak mungkin tanpa pemurnian dan transformasi di mana seseorang harus mengembangkan ketidakmelekatan, kesamaan, kesadaran tidak menghakimi dan keseimbangan. Pikiran harus stabil dan bebas dari kekeruhan dan indera harus bebas dari gangguan. Hanya dengan demikian seseorang dapat melihat segala sesuatu sebagaimana adanya dan memahami sifat esensialnya, yang sebaliknya tetap tersembunyi dari pandangan biasa.
Pikiran dan indera memiliki potensi tersembunyi. Mereka muncul ke permukaan hanya ketika mereka bebas dari gangguan dan gangguan biasa yang disebabkan oleh egoisme, keinginan, dan keterikatan. Itulah sebabnya pemurnian diri (atma suddhi) ditekankan dalam semua praktik spiritual Hindu, Buddha, dan Jainisme.
Keberadaan dipenuhi dengan kotoran Alam. Tak seorang pun yang hidup di bumi ini bebas dari pengaruh mereka. Ketidakmurnian itu dimaksudkan untuk menjaga agar makhluk-makhluk itu terikat pada siklus kelahiran dan kematian dan memastikan perkembangan dunia yang teratur. Oleh karena itu, hanya sedikit dari jutaan orang yang berhasil melampaui keterbatasan mereka dan mencapai pembebasan.
Pentingnya pemurnian diri ditekankan dalam Yoga klasik. Tiga guna terutama bertanggung jawab atas perubahan dan penderitaan pikiran dan penderitaan yang mengikutinya. Delapan anggota badan Yoga dimaksudkan untuk menghilangkan ketidakmurnian pikiran dan tubuh melalui praktik kasar dan halus sehingga pikiran dipenuhi dengan keunggulan sattva dan kesempurnaan dicapai baik dalam persepsi maupun kognisi.
Orang-orang spiritual perlu menyadari pentingnya kesucian. Praktik apa pun yang dipilih seseorang, dalam beberapa hal harus berkontribusi pada tujuan ini. Kesadaran orang biasa sangat tidak diperlengkapi untuk memahami sifat esensialnya sendiri yang dilambangkan dalam kitab suci sebagai Diri atau Isvara.
Diri hanyalah kita dalam aspek kita yang paling murni, tanpa formasi yang menciptakan identitas kita yang berbeda. Ketika perbedaan itu digabungkan ke dalam keheningan kesadaran murni dan batas-batas ego terhapus, seseorang mencapai tujuan tertinggi realisasi diri. Bunga teratai melambangkan kesadaran murni dan tanaman teratai melambangkan kebajikan ketidakmelekatan dan kesamaan yang harus ditanami seseorang di bumi agar tetap tidak tersentuh oleh ketidakmurnian dunia fana.