- 1Weda - Kitab Suci Agama Hindu
- 1.1Bahasa Veda (Weda)
- 1.2Isi Weda
- 2Jaman / Sejarah Turunnya Veda (Weda)
- 2.1Penduduk India pada zaman Kuno
- 2.2Berbagai Peninggalan India dari Zaman Kuno
- 2.3Waktu Turunnya Wahyu Weda
- 2.3.11. Ric (Reg / Rg) Veda
- 2.3.22. Sama Veda
- 2.3.33. Yajur Veda
- 2.3.44. Atharwa Veda
- 2.4Keagamaan Pada Zaman Turunnya Veda
- 2.1Jaman Kaum Brahmana
- 2.1Pendidikan dan Kebudayaan di Jaman Weda
- 3Zaman Aranyaka Dan Zaman Upanisad
- 3.11. Dharma
- 3.22. Artha
- 3.33.Kama
- 3.44. Moksha
- 3.5Ajaran dan Pandangan Tentang Atman - Brahman
- 3.5.11. Pandangan Secara Vedanta
- 3.5.22. Pandangan Secara Visista-Dwaita
- 3.5.33. Pandangan Secara Yoga
- 3.5.44. Pandangan Secara Samkya
- 4Kebudayaan Zaman Hinduisme
- 5Bagian–Bagian Kitab Suci Veda (Weda)
- 5.11. SRUTI
- 5.1.11.1. Rg. Weda Samhita
- 5.1.21.2. Sama Weda Samhita
- 5.1.31.3. Yajur Weda Samhita
- 5.1.3.1Sukla Yajur Veda (Putih)
- 5.1.3.2Kresna Yajur Veda (Hitam)
- 5.1.41.4. Atharwa Weda Samhita
- 5.12. SMRTI
- 5.1.12.1. Wedangga
- 5.1.1.12.1.1. Siksa (Phonetika)
- 5.1.1.22.1.2. Wyakarana (Tata Bahasa)
- 5.1.1.32.2.3. Chanda (Lagu)
- 5.1.1.42.2.4. Nirukta
- 5.1.1.52.2.4. Jyotisa (Astronomi)
- 5.1.1.62.2.5. Kalpa
- 5.1.12.2. Upaweda
- 5.1.1.12.2.1. Itihasa
- 5.1.1.22.2.2. Purana
- 5.1.1.32.2.3. Arthasastra
- 5.1.1.42.2.4. Ayur Weda
- 5.1.1.52.2.5. Gandharwa Weda
- 5.1.1.62.2.6. Kama Sastra
- 5.1.1.72.2.7. Kitab Agama
- 6Fitur dan Rincian Singkat Catur Veda (Weda)
- 6.1.1Fitur Rig veda
- 6.1.2Fitur Sama veda
- 6.1.3Fitur Yajur veda
- 6.1.4Fitur Atharva veda
- 7Sapta Maha Rsi Penerima Wahyu Weda
- 7.11. GRTSAMADA
- 7.22. WISWAMITRA
- 7.33. WAMADEWA
- 7.44. ATRI
- 7.55. BHARADWAJA
- 7.66. WASISTA
- 7.77. KANWA
- 8Weda Sebagai Sumber Hukum Hindu
- 8.1Manawa Dharmasastra
- 8.2Sejarah Perkembangan Hukum Hindu
- 8.1Hubungan Catur weda dengan Hukum Hindu
- 9Enam Filsafat Hindu (Sad Darśana)
- 9.11. Nyaya Darsana
- 9.1.11.1. Pokok-pokok Ajaran Nyaya
- 9.1.21.2. Epistemologi Nyaya
- 9.1.31.3. Catur pramana
- 9.1.3.11.3.1. Pratyakasa Pramana
- 9.1.3.21.3.2. Anumana Pramana
- 9.1.3.31.3.3. Upamana Pramana
- 9.1.3.41.3.4. Sabdha Pramana
- 9.12. Waisesika Darsana
- 9.1.12.1. Pokok ajaran Waisasika
- 9.1.22.2. Padartha
- 9.1.2.12.2.1. Drawya (Substansi)
- 9.1.2.22.2.2. Guna (Kualitas)
- 9.1.2.32.2.3. Karma (TinDakan)
- 9.1.2.42.2.4. Samanya (Sifat umum)
- 9.1.2.52.2.5. Wisesa (Keistimewaan)
- 9.1.2.62.2.6 Samawaya (Pelekatan)
- 9.1.2.72.2.7. Abhawa (Ketidakadaan)
- 9.1.32.3. Cara Mendapatkan Pengetahuan Menurut Waisasika
- 9.1.42.4. Terjadinya Alam Semesta menurut Waisasika
- 9.1.52.5. Etika dalam Waisasika
- 9.13. Samkhya Darsana
- 9.1.13.1. Pemahaman Samkhya
- 9.1.23.2. Pokok Ajaran Samkhya
- 9.1.2.13.2.1. Purusa
- 9.1.2.23.2.2. Prakerti
- 9.1.2.33.2.3. Tri Guna
- 9.1.2.43.2.4. Penciptaan alam semesta
- 9.1.2.53.2.5. Etika Samkhya
- 9.1.33.3. Tujuan Akhir Ajaran Samkhya
- 9.14. Yoga Darsana
- 9.1.14.1. Pandangan Yoga Darsana
- 9.1.1.14.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.24.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.34.1.3. Maya
- 9.1.1.44.1.4. Moksa
- 9.1.24.2. Pokok Ajaran Yoga Darsana
- 9.1.34.3. Epistimologi Yoga Darsana
- 9.15. Mimamsa Darsana
- 9.1.15.1. Pandangan Purva Mimamsa
- 9.1.1.15.1.1. Tentang Brahman
- 9.1.1.25.1.2. Tentang Atman
- 9.1.1.35.1.3. Maya
- 9.1.1.45.1.4. Moksa
- 9.1.25.2. Pokok Ajaran Mimamsa Darsana
- 9.1.35.3. Metafisika Mimamsa Darsana
- 9.1.45.4. Epistimologi Purva Mimamsa
- 9.1.4.15.4.1. Pratyaksa
- 9.1.4.25.4.2. Anumana
- 9.1.4.35.4.3. Sabda
- 9.1.4.45.4.4. Upamana
- 9.1.4.55.4.5. Arthapatti
- 9.1.4.65.4.6. Anupalabdi
- 9.1.55.5. Aksiologi Purva Mimamsa
- 9.1.5.15.5.1. Kedudukan Weda di dalam Agama
- 9.1.5.25.5.2. Kewajiban yang Mendasar
- 9.1.5.35.5.3. Kebaikan yang Tertinggi
- 9.16. Wedanta Darsana
- 9.1.16.1. Pokok Wedanta - Brahma Sutra
- 10Tentang Upanishad
- 10.1.1Apa itu Upanishad ?
- 10.1.1.1Apa itu pengetahuan
- 10.1.1.2Kesalahpahaman Tentang Upanishad
- 10.1.2Tema Sentral dari Upanishad
- 10.1.1Apakah Upanishad Lebih Baik Dari Psikologi Modern ?
- 11Konsep Keberadaan Diri (Atman) Dalam Agama Hindu
- 11.11. Mengetahui Diri sejati
- 11.22. Apakah Jiwa, Atman dan Diri Sama ?
- 11.2.12.1. Jiwa dan diri sendiri
- 11.2.22.2. Diri Individu dan Diri tertinggi
- 11.2.32.3. Berbagai jenis diri
- 11.13. Kesadaran Murni
- 11.24. Spiritualitas dan Transformasi Diri
- 11.15. Mengapa Brahman tidak disembah Langsung Melalui Ritual Hindu
- 11.1.15.1. Alasan Brahman tidak disembah secara ritual
- 11.1.25.3. Pemujaan Dewa - Dewi dalam Weda
- 11.1.2.15.3.1. Dewa dalam makrokosmos dan mikrokosmos
- 11.1.2.25.3.2. Mengapa para dewa disembah
- 11.1.2.35.3.3. Jumlah dewa-Dewi Hindu
- 12Konsep Pembebasan (Moksha atau Nirvana) Dalam Hindu
- 12.1.1Pembebasan fisik
- 12.1.2Pembebasan mental
- 12.1.3Pembebasan rohani
- 13Keanekaragaman dan Pluralitas Agama Hindu
- 13.11. Pluralitas Hinduisme
- 13.1.11.1. Satu Tuhan dan Tidak Ada Tuhan
- 13.1.21.2. Satu Tuhan dan banyak dewa
- 13.1.31.3. ritual, seremonial dan praktik spiritual
- 13.1.41.4. Penyembahan Melalui Wujud dan Tanpa Wujud
- 13.1.51.5. Banyak jalan Menuju pembebasan
- 13.1.61.6. Iswara dan Shakti
- 13.1.71.7. Purusha dan Prakriti
- 13.1.81.8. Dualisme dan Non-dualisme
- 13.22. kontradiksi dalam Hinduisme
- 14Catur Ashrama - Empat Tahapan untuk Pembebasan
- 14.1empat Tahap dalam Hidup
- 14.1.11. Brahmacarya
- 14.1.22. Grihasta Ashrama
- 14.1.33. Vanaprastha Ashrama
- 14.1.44. Sanyasa Ashrama
- 15Konsep Karma dan Kewajiban dalam Hindu
- 15.11. Jenis-jenis karma
- 15.22. Sebab dan akibat - Nasib dan karma
- 15.33. Solusi Pembebasan Untuk Masalah Karma
- 15.3.13.1. Jnana yoga
- 15.3.23.2. Karma yoga
- 15.3.33.3. Raja Yoga
- 15.3.43.4. Bhakti yoga
- 15.44. kesalahpahaman tentang karma
- 15.4.4.14.1. Karma bukanlah takdir
- 15.4.4.24.2. Dewa dan Karma
- 15.4.4.34.3. Karma bukan hanya tindakan fisik
- 15.4.4.44.4. Karma bukan tentang berbuat baik atau buruk
- 15.4.4.54.5. Karma tidak tercatat di surga atau neraka
- 16Ilmu Politik Agama Hindu dalam Veda (Weda)
- 16.11. Canakya dan Arthasastra
- 16.22. Ajaran Politik Negara dalam Arthasastra
- 16.2.12.1. Teori Saptanga
- 16.2.22.2. Teori Mandala
- 16.2.32.3. Teori Sadgunya - Enam Kebijakan Luar Negeri
- 16.13. Asta Brata - Wujud Ideal Praktik Teologi Politik
- 17Pengukuran dalam Matematika Weda
- 17.1Satuan Ukuran
- 17.1.3.1A. Satuan turunan
- 17.1.3.2B. Satuan waktu
- 17.1.3.3C. Ukuran Panjang
- 17.1.3.4D. Ukuran Empat Persegi
- 17.1.3.5E. Ukuran Untuk Daya Muat/Isi
- 17.1.3.6F. Timbangan
- 17.1.3.7G. Ukuran Waktu
- 17.1Yuga dan Siklus Tahun Kosmik
- 17.1.3.1A. Chatur yuga
- 17.1.3.2B. Alam Semesta dan Seterusnya
- 18Link Referensi Tentang Weda
Ilmu Politik Agama Hindu dalam Veda (Weda)
Hindu tidak memisahkan pemikiran politik dari agama dan negara, melainkan sebagai bagian utuh dari seluruh peradaban. Sejarah pemikiran politik Hindu bahkan dapat dilacak pada teks tertua di dunia Ṛgveda, kemudian Dhanurveda, turunan dari Yajur Veda yang berisi pengetahuan politik, perang dan persenjataan. Selanjutnya Rāmāyaṇa dan Mahābhārata. Selain itu terdapat pustaka Manusmṛti dan Arthaśāstra yang merupakan compendium politik dan tata pemerintahan Hindu. Seperti yang telah bahwa Manava Dharma Shastra memegang posisi sentral dan penting dalam literature Hindu. Manusmṛti merupakan smriti tertua yang merupakan gudang informasi mengenai kehidupan sosial, peradilan dan politik hindu.
Sementara itu, Kauṭilya atau sering pula disebut Cāṇakya atau Vishnugupta merupakan Mahatma, filsuf, ahli strategi, dan diplomat ulung yang terkenal melalui karya karya seperti Arthaśāstra, Cāṇakya Niti, Cāṇakya sūtra, Vṛddha Cāṇakya dan Laghu Cāṇakya. Arthaśāstra adalah karya beliau yang paling monumental. Sebagai seorang Perdana Menteri dari Raja Chandragupta, dinasti Maurya, Ide-ide politik dan administrasi yang dituangkan oleh Cāṇakya memberikan focus perhatian kepada Raja dan Kerajaan, sebagai bentuk representasi negara pada masa itu. Berdasarkan Filosofi yang dipegangnya, demi kelancaran administrasi negara serta demi terciptanya kesejahteraan rakyat, seorang Raja harus fasih dan menguasai betul Veda serta empat ilmu pemerintahan (Ānvīkṣikī, Trayī, Vārtā dan Daṇḍanīti).
Meskipun ada spekulasi bahwa politik di India kuno lebih tua dari Manusmṛti dan Arthaśāstra, tetapi karena tidak adanya catatan tertulis, sulit untuk melacak ide-ide politik dan administratif dari para pemikir periode pra Manu dan pra Kauṭilya. Jadi, Terlebih lagi hasil karya para Mahatma sebelum masa mereka telah hilang dan hanya sebagaian kecil referensi yang tersisa dari karya para mahatma tersebut ditemukan dalam Mahabharata dan Arthaśāstra. Hal yang kemudian tidak dapat dipungkiri adalah Kauṭilya Arthasahstra telah menjadi sebuah ringkasan yang paling komprehensif (walau susunanannya tidak berurutan) dari semua Arthaśāstra sebelum masa ditulisnya Arthaśāstra oleh Kauṭilya atau Cāṇakya.
1. Canakya dan Arthasastra
Arthaśāstra disusun oleh Cāṇakya berdasarkan sejumlah buku politik Hindu kuno, tradisi politik, dan pengalaman hidupnya. Arthasashtra karya Cāṇakya terdiri dari 32 bagian, 15 adikarana dengan 150 bab dan 600 sloka. Dengan demikian Arthaśāstra dapat pula dikatakan sebagai sebuah kompedium tentang bagaimana mengelola suatu Negara secara lengkap dan detail. Atas karya yang begitu monumental ini, Cāṇakya dianggap sebagai tokoh politik Hindu yang legendaris, sehingga kejeniusannya sering disepadankan dengan para filsuf dan negarawan barat seperti Plato, Aristoteles, dan Machiavelli.
Menurut Max Weber dalam kuliah politiknya yang terkenal yaitu “Politics of Vocation”, pemikiran Machiavelli justru bukanlah pemikiran yang brutal melainkan moderat, jika dibandingkan dengan pemikiran Sun Tzu dalam “The Arts of War” dan pemikiran Kauṭilya dalam “Arthahastra”. Kedua pemikiran ini juga berisikan anjuran dalam statecraft (seni memerintah) yang bahkan lebih kejam dengan menggunakan konsep penggunaan mata-mata, membunuh seorang musuh politik, penggunaan tentara bayaran, bahkan penyiksaan. Bahkan sebenarnya konsep penggunaan tentara bayaran sudah dikenal oleh Aristoteles (tentang tirani Pisistratus) dan Tacitus (tentang penguasa Tiberius) namun Machiavelli baik dalam kedua tulisannya tidak menganjurkan pemimpinnya untuk melakukan hal demikian. Machiavelli bahkan terkesan lebih lunak hanya dengan menganjurkan paham oportunisme politik yang berlandaskan pada sikap tamak, kejam, tidak dapat dipercaya, congkak dan keras kepala.
Secara Garis besar Arthaśāstra merupakan sebuah kompendium, sebuah risalah mengenai tata pemerintahan sebuah negara. Risalah yang sangat komprehensif ini membahas berbagai hal yang berkaitan dengan masalah serta fungsi-fungsi yang dibutuhkan pada administrasi dalam negeri sekaligus hubungan luar negeri sebuah negara. Kompendium ini memberikan pendidikan kepada penguasa negara tentang cara untuk mencapai tujuan nasional negara seperti perluasan pengaruh dari kerajaannya. Kompendium ini tidak hanya luas, namun juga terperinci. Bagaikan sebuah panduan praktis yang tak terlalu mengikat dan baku untuk dapat menghadapi kondisi lingkungan strategis yang selalu berubah-ubah dari sebuah negara.
Arthaśāstra disusun dengan latarbelakang sistem internasional yang anarki, tanpa adanya supremasi yang lebih tinggi dari negara. Keadaan ini diperparah dengan ketiadaan kesepakatan bersama mengenai penghormatan atas kedaulatan dan batas-batas suatu negara, selayaknya yang berkembang pada masa modern saat ini. Pada masa dinasti Candragupta, sistem yang ada mengembangkan apa yang disebut sebagai pandangan realisme, yang mengedepankan self-help, upaya negara untuk terus mengakumulasi power agar sustainability negara tetap terjaga. Pandangan yang berkembang antar negara adalah pilihan hanya ada dua, antara menaklukkan atau ditaklukkan. Pengembangan power atau growth negara bisa terjadi ketika negara berhasil mengakuisisi wilayah kerajaan tetangganya atau kerajaan lainnya. Karena dengan akuisisi ini kerajaan mendapat tidak hanya penambahan wilayah, namun juga perbendaharaan yang diperoleh melalui upeti dari raja yang telah dikalahkan, dan juga sumber daya alam yang terdapat pada kerajaan yang telah ditaklukkan tersebut.
Fokus pemikiran politik Acharya Cāṇakya berada pada tataran bahwa Negara adalah institusi tertinggi yang wajib dan harus dijaga keberlangsungannya. Dalam hal ini Raja sebagai pimpinan negara memiliki kuasa dan tanggung jawab dalam menjalankan roda negara. kekuasaan rasa memang absolut, namun bukan bearti Raja dapat bertindak semena-mena. Karena tujuan utama dari raja adalah kebahagiaan serta kesejahteraan rakyatnya. Ini merupakan hal yang paling ditegaskan oleh Cāṇakya kepada seorang pemimpin negara. Sebagaimana kutipan inilah yang digunakan sebagai pembuka kitab Cāṇakya Arthaśāstra yang di transliterasi oleh L.N. Rangarajan.
प्रजा.सुखे सुखं राज्ञः प्रजानां च हिते हितम्
prajā.sukhe sukhaṃ rājñaḥ prajānāṃ ca hite hitam
Dalam kebahagiaan rakyatnya disanalah terletak kebahagiaan raja; dalam kesejahteraan rakyatnya disanalah letak kesejateraan raja.
(Arthaśāstra 1.19.34)
Upaya membahagiakan dan mensejahterakan rakyat merupakan tugas utama seorang raja. Karena bagi Cāṇakya, sumpah suci seorang raja adalah kesediaannya utnuk bekerja secara aktif guna memajukan kesejahteraan negara dan rakyatnya. Tugas raja/penguasa tidak hanya untuk mencari kesenangan pribadinya, namun juga bagaimana mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan rakyatnya. Bila penguasa sejahtera namun rakyatnya tidak, maka sesungguhnya penguasa tersebut telah gagal untuk mewujudkan salah satu tujuan negara, yaitu kesejahteraan rakyat. Pemimpin negara harus berusaha mencegah gangguan timbul, mengatasi ancaman yang sudah muncul, serta menghancurkan dan menghentikan bahaya yang mengancam keselamatan dan kesejahteraan negara.
2. Ajaran Politik Negara dalam Arthasastra
Ācārya Cāṇakya selalu menekankan bahwa dalam menjalankan diplomasi, raja/pemimpin negara selayaknya selalu berpedoman pada beberapa hal. Pertama adalah keadaan internal negara yang tercermin dari elemen elemen pembentuk negara yang dijabarkan dalam teori saptāṅga. Hal penting berikutnya adalah teori Maṇḍala yang membahas mengenai konstelasi geopolitik negara yang akan diajak bekerjasama atau akan ditaklukkan. Pasca menentukan posisi dari negara yang ditargetkan tersebut, langkah selanjutnya adalah kebijakan apa yang akan diambil untuk menghadapi negara tersebut yakni ṣāḍguṇya atau six fold foreign policy. Berikutnya, baru diputuskan upaya apa yang akan ditempuh sebagai bagian integral dari kebijakan luar negeri tersebut (catur upaya), apakah sama, dama, bedha dan atau danda. Tetapi, yang perlu ditekankan adalah sifat dari kebijakan dan arahan dari Cāṇakya ini tidak bersifat kaku dan harus sama dengan yang tertulis. Justru kalau dipandang dan diaplikasikan demikian, filsafat politik dari Cāṇakya ini akan mudah usang dan termakan zaman. Maka dari itu, fleksibilitas dan dinamisme-nya harus tetap dijalankan sesuai dengan perkembangan zaman dan perubahan konstelasi perpolitikan internasional yang terjadi.
2.1. Teori Saptanga
Negara dalam Arthaśāstra dianalogikan sebagai organisme yang berkembang dan prakritis adalah bagian tubuhnya. Tujuh bagian ini, antara lain
- Swamin (Pemimpin negara)
- Amatya (mereka yang mewakili institusi negara)
- Janapada (sumber daya negara, termasuk wilayah dan penduduk)
- Durg (entitas berdaulat yang dibentengi)
- Kosa (Perbendaharaan)
- Danda/Bala (Militer dan penjagaan ketertiban)
- Mitra (teman dan sekutu negara)
Cāṇakya meggambarkan ketujuh elemen pembentuk negara itu sebagai eksposisi dari teori Maṇḍala (circle of state) yang kemudian membentuk dasar dari kebijakan luar negeri di lingkungan yang didominasi oleh ekspansionisme teritori atau penaklukkan teritori. Maka dari itu, sebelum melanjutkan sebuah ekspedisi untuk menaklukkan wilayah lain, raja atau pemimpin negara harus menggunakan langkah-langkah preventif dan defensif untuk menghalau bahaya/ancaman yang mungkin melemahkan salah satu unsur penyusun negaranya sendiri. Menurut Cāṇakya, raja harus selalu berusaha dengan sangat gigih untuk melakukan tugas dan tanggung-jawabnya terhadap rakyat negaranya. Tugas dan tanggung jawab tersebut meliputi memberikan perlindungan, melayani administrasi dan menjamin kesejahteraan rakyatnya.
Konsep Saptāṅga teori ini tidak hanya dipandang sebagai tujuh elemen yang harus dimiliki negara yang menginginkan kekuatan yang mumpuni bagi bangsanya. Dalam interpretasi yang lain Konsep Saptāṅga juga dimaknai sebagai Elements of Sovereignty. Di mana sebuah negara selayaknya menjaga ketujuh elemen ini dari ancaman yang bisa melemahkan salah satunya. Karena pelemahan salah satu elemen dalam Saptāṅga ini dapat memicu kelemahan pada elemen-elemen lainnya. Dengan demikian, untuk mencapai kekuatan nasional yang komprehensif negara selayaknya mampu menjaga dan bahkan memperkuat kualitas ketujuh elemen Saptāṅga ini.
Tujuh prakritis bersama-sama termanifestasi menjadi Shakti atau kekuatan bagi negara. Arthaśāstra mengidentifikasi tiga shakti: Prabhava-shakti, Mantra-shakti dan Utsaha-shakti.
Prabhava-shakti dimaknai sebagai kekuatan untuk menghasilkan “efek” yang menguntungkan negara yang berkaitan dengan ekonomi dan juga kekuatan militer suatu negara. Dengan demikian, dalam pendekatan ilmu Hubungan Internasional saat ini, dapat diasosiasikan dengan konsep hard power. Mantra-shakti dimaknai sebagai kekuatan untuk mempengaruhi, memberi nasihat, dan mendorong negara lain untuk dikooptasi oleh sang vijigīṣu.
Cāṇakya melayani dimensi lain utsahashakti untuk memberikan kekuatan pendorong untuk mengarahkan dua lainnya bersama dengan energi yang terfokus dan kokoh.
2.2. Teori Mandala
Teori ini menjabarkan konstelasi geopolitik dari sebuah negara, merujuk kepada Vijigisu/raja/negara penakkluk, yang diposisikan berada ditengah negara-negara lain dalam konstelasi percaturan politik internasional dunia yang berupaya saling menaklukkan/memengaruhi satu sama lain. Teori Maṇḍala ini menyertakan setidaknya 12 kategori negara dalam lingkaran negara, yaitu
- Vijigīṣu atau negara yang berhasrat untuk menaklukkan negara lain
- Ari, musuh utama negara penakluk
- Mitra, sekutu dari sang vijigīṣu
- Arimitra, sekutu dari musuh
- Mitramitra, kawan dari sekutu sang vijigīṣu
- Arimitramitra, kawan dari sekutu sang musuh
- Parsnigraha, musuh di garis belakang sang vijigīṣu
- Akranda, sekutu dari sang vijigīṣu di garis belakang
- Parsnigrahasara, sekutu dari musuh di garis belakang sang vijigīṣu
- Akrandasara, sekutu dari akranda
- Madhyama, negara tengah yang berbatasan dengan vijigīṣu serta aria tau musuh
- Udasina, negara netral/acuh tak acuh, berada diluar dari lingkaran, biasanya lebih kuat dari vijigīṣu, ari dan juga madhyami.
2.3. Teori Sadgunya – Enam Kebijakan Luar Negeri
Ṣāḍguṇya merupakan enam kebijakan yang diterapkan oleh negara sesuai dengan keadaan lingkungan strategis dari negara tersebut terhadap negara-negara lain dalam lingkup percaturan politik internasional. Keenam kebijakan itu antara lain: saṃdhi, vigraha, asana, yana, samsraya dan dvaidibhava.
Teori Ṣāḍguṇya atau enam kebijakan politik luar negeri, menurut Cāṇakya merupakan penentuan (kebijakan) dari sebuah negara apakah akan mundur, stabil/berdiam diri atau maju pada sebuah keputusan terkait dengan hubungan luar negeri. Keenam kebijakan politik tersebut adalah membuat perdamaian (saṃdhi), melakukan peperangan (vigraha), tinggal diam/netral (asana), mempersiapkan diri untuk perang atau siaga (yana), mencari dukungan atau aliansi (samsraya), dan kebijakan ganda (dvaidibhava) yaitu membuat perdamaian dengan negara satu sementara itu juga mengadakan peperangan dengan negara lainnya.
Sebuah negara bisa menjalankan lebih dari satu kebijakan di saat yang bersamaan dengan beberapa negara sekaligus. Karena konsep aplikasi dari ṣāḍguṇya ini tidak berlaku secara kaku sesuai urutan. Namun sesuai perkembangan kondisi lingkungan strategis negara saat itu. Dengan demikian, kondisi yang sedang berlangsung akan menentukan kebijakan apa yang sebaiknya akan digunakan.
Cāṇakya sendiri berpendapat bahwa ada dua acara yang dapat ditempuh oleh vijigīṣu guna mencapai tujuannya, yaitu perang atau diplomasi. Tentang vijigīṣu, Kauṭilya menjangkarkan idenya pada konsep Raja sebagai vijigīṣu (orang yang ingin menaklukkan), sebuah istilah teknis yang merujuk pada arti seorang penguasa yang menginginkan dan berkomitmen penuh untuk menaklukkan.
Namun jika kita arahkan pada pengertian kekinian dengan situasi percaturan politik internasional vijigīṣu kemudian dapat dimaknai sebagai sebuah negara yang menginginkan untuk memperluas pengaruhnya (power) ke negara-negara lain secara terus-menerus. Ada beragam strategi diplomasi yang dijabarkan oleh Cāṇakya dalam Arthaśāstra, salah satunya adalah atisaṃdhāna yang merujuk pada pembuatan pakta atau perjanjian dengan pihak lain (negara lain) dan menggunakan perjanjian-perjanjian ini untuk mengecoh dan mengungguli pasangan potensial mereka. Bentuk sederhana dari istilah ini kemudian dikenal dengan saṃdhi yang tergabung ke dalam bagian pertama dari ṣāḍguṇya atau enam kebijakan politik luar negeri.
Istilah saṃdhi sendiri merujuk kepada pembuatan pakta atau aliansi dengan penguasa lain (negara lain) untuk mencapai tujuan bersama, seperti misalnya menyerang pihak ketiga. Bahkan jika ditelusuri lebih lanjut, Cāṇakya juga menginstruksikan untuk menggunakan aliansi sebagai peluang untuk tidak hanya mengalahkan musuh bersama dan mencapai tujuan bersama. Namun juga sebagai sebuah proses untuk melemahkan atau mengalahkan sekutu vijigīṣu itu sendiri. Strategi ini kemudian terlihat seperti membunuh dua burung dengan satu batu. Ini merupakan bagian dari “Mantrayuddha” atau “perang kecerdasan”.
Cāṇakya menempatkan Mantra shakti (diplomasi) sebagai sebuah kemampuan terkuat yang harus dimiliki dengan cakap oleh sebuah negara. Dalam ketiga shakti, mantra shakti ini paling penting dan paling kuat. Dengan demikian dapat dipastikan kecenderungan untuk menggunakan kekuatan narasi (menasehati, mempengaruhi, menarik dan mengkooptasi) negara-negara lain dalam kancah hubungan internasional seharusnya tidak luput dari perhatian negara. Cāṇakya mengibaratkan hal ini dalam sebuah ungkapan:
anak panah yang dilepaskan oleh seorang pemanah bisa saja membunuh satu orang atau bahkan justru tidak membunuh seorangpun. Namun kecerdasan yang dijalankan oleh orang bijak bahkan bisa membunuh anak yang ada di dalam kandungan
Arthaśāstra karya Cāṇakya sesungguhnya memberikan penekanan yang lebih kepada peranan diplomasi namun tidak memberikan preferensi atas perang. Hal ini kemungkinan besar karena sistem sosial masyarakat kerajaan Dinasti Maurya saat itu, yang menitikberatkan pengelolaan negara pada kaum Ksatria, yang seolah-olah dilahirkan dan ditakdirkan untuk “berperang”. Diplomasi bagi Cāṇakya dijalankan untuk mencapai beberapa hal seperti menarik sekutu, menunda perang jika sebuah negara itu lemah dan mudah diserang dan untuk membuat post war arrangements for a new order.